Resensi Buku
Aib Manusia di Tangan Maestro Asia-Afrika

Aib Manusia di Tangan Maestro Asia-Afrika

Judul              : Ular Berbisa dan Buah Delima
Penulis            : 30 Penulis Asia-Afrika
Penerjemah    : Anton Kurnia
Penerbit          : DIVA Press
Cetakan          : Pertama, Oktober 2021
Tebal              : 247 halaman
ISBN               : 978-623-293-539-6

“Ular Berbisa dan Buah Delima” merupakan kumpulan cerita dari Asia-Afrika. Penyusun dan penerjemahnya, Sang Paus Penerjemah Indonesia, Anton Kurnia, tak terbantahkan keunggulannya. Kumpulan ini memuat 30 cerita karangan penulis berkaliber dunia. Mereka yang beberapa diantaranya termasuk nobelis, secara tematik mengungkap aib yang menjengkali kita sebagai manusia beragama.

Cerpen “Kawan Ibuku” sabetan Nura Amin, penulis Mesir tersohor saat ini (kelahiran 1972) begitu gamblang membuka aib perempuan di Mesir sebagai pemeluk Islam. Pasalnya begini: Abla Safa sangat cantik dan menarik. Anehnya dia tak pernah menikah, dan tak pernah jatuh cinta, walaupun para lelaki di sekitar lingkungan tempat tinggal kami tak sanggup melepaskan tatapan terpesona mereka darinya (hal. 28).

Abla Safa digandrungi, lalu dicumbui oleh ibu-ibu muda dan tua. Nahasnya, ada pula yang terlibat hubungan lesbi dengannya. “Safa dan ibuku mengunci pintu kamar hingga malam hari, keluar kembali sebelum ayahku pulang.” (hal. 29). Nura berhasil hanya dengan dua halaman cerita saja. Menulis secara singkat-padat, dan berfokus pada poin-poin penting.

Berbeda dengan cerpen “Aib” karya J.M. Coetzee, laureate Nobel Sastra 2003 asal Afrika Selatan, yang menghabiskan sepuluh halaman. “Bagi lelaki sebayanya, duda cerai berusia lima puluh dua, ia merasa telah menyelesaikan persoalan seksualnya dengan cukup baik. Pada Kamis siang, ia mengendarai mobilnya ke Green Point. Sekitar pukul dua ia menekan bel di gerbang menuju Windsor Mansion, menyebutkan namanya, lalu masuk. Soraya telah menunggunya di apartemen No. 113. (hal. 31). Menjadi aib bagi Soraya, yang bukan nama aslinya, atas apa yang dilakukannya––melacur––memang hal tak biasa bagi seorang wanita muslim.

Pasal aib lain dalam cerpen “Aib Seorang Veteran” karya Hendri Lopes, pengarang kelahiran Kinshasa, Kongo tahun 1937. Selain menulis, ia juga seorang politisi dan pernah menjabat sebagai perdana menteri di negaranya. Tersebutlah seorang veteran yang berperang untuk Prancis. Setelah perang reda, ia berdebat dengan seorang gadis Aljazair, anak sepasang suami-istri pejuang kaum nasionalis Aljazair, Fellahin. Kecamuk dalam jiwa sang veteran tak dapat dihindari. Sebab dialah yang membunuh ayah-ibu sang gadis.

“Nadia, aku tak akan menemuinya lagi. Aku tak bisa melakukan apapun, kecuali percakapan basa-basi dengan orang-orang di negeri ini, karena aku selalu takut berjumpa dengan seorang kerabat atau sahabat dari seseorang yang pernah aku bunuh.” (hal. 100).

Dua cerita lain, “Penangkapan Seorang Sinterklas” karya Jose Eduardo Aqualusa menoreh cerita miris alias aib dalam agama Kristen dan cerpen “Jaring Laba-laba” (Ryunosuke Akutagawa) mewakili aib bagi agama Buddha dengan memunculkan orang jahat di neraka yang mendapat kesempatan masuk surga karena pernah menyelamatkan seekor laba-laba yang sekarat.

Namun karena keegoisannya ia kembali jatuh ke dalam neraka. “Hey kalian para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberi kalian izin naik? Turun! Turun!” Demikian perintah si pendosa kepada ribuan pendosa yang ingin naik keluar dari neraka lewat jaring laba-laba (hal. 23).

Apa bisa dikata, jaring laba-laba putus tepat di titik Kandata, sang tokoh, bergantung. Kandata kembali digoreng dalam kuali panas neraka. Menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya, sang Buddha sangat bersedih. Ini mengingatkan kita pada agama Islam akan syafaat Rasulullah Muhammad SAW. Apakah sang Buddha memilikinya pula?

Cerita yang tergawat, tak lain yang menjadi judul buku, yakni “Ular Berbisa” karya Tahar Ben Fellow dalam upaya menggambarkan betapa pendeknya akal manusia Syirik, kebodohan dan keculasan kaum intelektual diwakili seorang psikiater dalam cerita ini.

Ben memulai cerita dengan suasana di sebuah kapal pesiar yang sedang berlabuh. Orang-orang mengelilinginya dengan antusiasme yang besar. Sang psikiater berkisah tentang Ibrahim, seorang Islam taat mengerjakan salat lima waktu. Berprofesi sebagai pawang ular dengan serulingnya mengajak ular menari. Belakangan profesi yang sudah dilakukan turun temurun ini mandek. Ular-ular ngambek––tak lagi mau menari.

Maka, Ibrahim pun mendatangkan ular muda cantik berwarna biru keemasan. Begitu tiba dirumah, pada malam harinya Ibrahim bermimpi didatangi sosok perempuan jelita bermata ular berbusana biru. Ia memperingatkan Ibrahim agar berhenti memperlakukan dirinya sebagai bahan tontonan, melenggak-lenggokkan dirinya di hadapan para turis.

Esoknya Ibrahim mati disebabkan bisa ular. Mayat Ibrahim dengan racun dimulutnya disimpan dalam peti jenazah nomor 031. Cerita berpindah kepada Fatima, yang mendatangi sang psikiater, karena kecemburuan terhadap suaminya, Ali. Sang psikiater memberi resep kuno peninggalan moyangnya: sepotong roti diselai cairan dari mulut mayat yang masih segar.

Bertautlah adonan roti milik Fatima dengan peti jenazah nomor 031 tersebut. Begitu Fatima tiba di rumah, roti langsung dimasukkan ke mulut Ali yang sedang tidur pulas––baru pulang dari perselingkuhannya. Tubuh Ali menegang karena racun ular dari mulut si mayat. Fatima seketika pingsan.

Dalam pengantarnya, Anton Kurnia menyebut cerpen-cerpen dalam antologi ini sangat beragam. Tema yang diangkat meluas dari soal politik hingga kisah cinta sepasang anak manusia. Namun cerpen-cerpen ini pada dasarnya berkisah tentang lika-liku manusia dalam pergulatannya dengan kehidupan yang sepintas tampak sederhana, tapi ternyata pelik dan kerap membuka ruang-ruang baru yang sebelumnya absen dalam kesadaran kita.

Membaca cerita-cerita “kesakitan” manusia ini, sedikit banyak mengurangi beban sosial kita bertetangga dengan para pecandu narkoba, pencuri ayam, sampai pencuri berdasi yang menghiasi layar kaca. Buku ini bisa dijadikan terapi penyembuhan jiwa. Tak salah mengakui Tuhan masih terlalu jauh dari jangkauan kita. Agama hakikatnya menjadi pembebasan dari yang jahiliah dan maknawiyah. []


Penulis:

Nevatuhella, lahir di Medan, 1961. Alumnus Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara. Buku ceritanya Perjuangan Menuju Langit (2016) dan buku puisinya Bila Khamsin Berhembus (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *