Cerpen
Kuning, Mahdi, dan Benda Berkilau

Kuning, Mahdi, dan Benda Berkilau

Meskipun tidak pernah ada balasan, lebih-lebih kepulangan seseorang, Kuning tetap menulis surat dan mengirimnya ke beberapa alamat. Tetangga-tetangga perempuan memandangnya dengan kasihan. Sebagian besar memberikan wejangan. Tapi tidak ada yang berakhir mempan.

Man Copros bertamu malam-malam. Bukan yang pertama kali. Beberapa hari sebelumnya, lelaki hitam besar itu juga mengisi bangku ruang tamu. Kuning menemuinya dengan muka masam. Saat itu aku baru pulang dari rumah Puspita, lalu menguping di balik pintu.

“Suamimu itu tak akan pernah kembali.”

“Aku tahu.”

“Jadi, apalagi yang kau tunggu?”

“Aku tidak menunggunya. Aku hanya tidak suka lelaki tidak setia. Kamu pulang saja. Anak binimu menunggu di rumah.”

Aku membuat ulah. Melempar benda-benda di dapur. Panci, ember, wajan, baskom aluminium. Menciptakan bunyi gaduh yang mengganggu. Man Copros duduk tak tenang dan sebentar kemudian meminta izin pulang. Baru Kuning kemudian menemuiku dan memberi hadiah dua jempol. Aku kegirangan.

Dulu sekali, tamu hitam besar yang lain juga diterima Kuning sebagai tamu. Bukan dengan muka masam yang tadi, melainkan layu macam pokok jerami diranggas wereng. Ada segelas kopi dan sepiring pisang goreng dihidangkan. Aku tidak suka keduanya. Tapi tetap memilih tinggal di bangku kayu menemani.

“Aku betul-betul merasa bersalah.”

“Ini bukan salah Abang sepenuhnya.”

“Saat orang tua kami tiada, aku yang ditugasi menjaga, merawat, juga mendidik Mahdi. Tak disangka ia tumbuh menjadi lelaki tak tahu diri. Begitu saja meninggalkan seorang istri yang baik hati dan setia sepertimu.”

Si tamu alias Parno Tumpak alias kakak ipar Kuning, meraih tangkai gelas. Melarutkan apa yang membuat nada suaranya berat tadi, dengan air hitam yang kental. Aku tak hendak membayangkannya. Dari aromanya saja aku tahu tidak akan suka.

“Waktu itu malam-malam, hari sedang hujan…” kenang Kuning.

Aku mengangguk. Membenarkan. Kejadiannya memang tepat tengah malam. Esok harinya Kuning mengadu ke tetangga, suaminya pergi entah ke mana. Mungkin ke rumah salah seorang selingkuhannya. Perempuan-perempuan tetangga memeluknya, menghiburnya. Mereka bahkan secara berebut mengirimkan umpatan kepada Mahdi. Tangis Kuning mereda. Sejak itu ia gemar menulis surat. Setiap hari, tanpa pernah terlewat.

Tidak hanya menulis, Kuning juga gemar mematung. Terkadang di ranjang kayu, setelah lebih dulu memeriksa semua sisinya. Lalu pergi ke kamarku. Tak lama kemudian keluar lagi sambil menutup mulut dan hidung. Dilanjutkan dengan suara orang muntah di kloset. Paling sering termangu di tepian jendela, meski sedang tidak ada titik embun di pucuk-pucuk daun.

Dulu Kuning dan Mahdi memang selalu duduk di bangku dekat jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Setelah Kuning bangun di awal pagi, lalu pergi ke kamar mandi. Ia keluar dalam keadaan rambut basah, badan wangi. Lanjut ke dapur. Menjerang air bakal kopi sambil menanak nasi. Mereka berdua sarapan dengan jendela berpanorama tetes-tetes embun yang disesapi jingga matahari. Aku menunggu dengan tidak sabaran. Tetapi mereka sepertinya sengaja melama-lamakan.

Sebelumnya rumah ini adalah rumah Mahdi. Dibelinya beberapa bulan sebelum menikah, setelah mendapat jatah warisan dengan jumlah wah. Hampir setiap hari ia membawa perempuan berbeda menginap. Perempuan-perempuan itu sebagaimana Kuning kini. Bangun di awal pagi, lalu ke kamar mandi. Keluar dengan rambut basah, badan wangi. Tapi tidak dilanjutkan dengan kisah embun dan kopi. Mahdi selalu mengajak si perempuan makan di luar. Aku betul-betul kesal.

Tidak hanya perempuan, Mahdi juga pernah mengajak teman-teman lelakinya ke rumah. Mereka datang sambil membawa botol-botol minuman berwarna bening berkilauan. Jika tutup botol dibuka, akan muncul letupan buih dengan aroma menyengat. Aku mendadak pusing. Pandanganku berkunang-kunang. Tapi masih cukup mampu kembali ke kamarku dengan langkah sempoyongan. Tawa mereka bergema begitu kerasnya. Mengingatkanku pada tawa makhluk buruk rupa dengan tubuh dikerubuti belatung di layar televisi yang diputar Mahdi malam-malam, sebelum kemudian tertidur sambil mendengkur.

Yang kumaksud kamarku adalah sebuah ruangan kosong. Kelak ruangan itu dijadikan gudang oleh Kuning. Digunakannya untuk menyimpan benda-benda yang jarang atau bahkan sama sekali tak terpakai lagi, termasuk benda berkilau yang di kemudian hari akan menjadi bagian penting dari kisah ini.

Aku memang tidak begitu akrab dengan Kuning, meski juga tidak bisa dikatakan tidak akur sama sekali. Ia hanya tidak suka saat aku menungguinya memasak, atau menjagai meja makan. Tapi Kuning cukup senang kutemani menonton drama atau acara musik. Terkadang ia menirukan suara biduan A. Meski di telingaku terdengar bagai dengungan sekoloni lebah yang kebingungan menemukan sarang pulang. Kadang Kuning bicara sendiri seperti halnya tokoh perempuan dalam alur drama. Entah apa yang digumamkannya. Potongan-potongan kata yang tidak jelas pengucapannya.

“Noda lipstik… “

Kuning mengatakan itu saat perempuan cantik di televisi menemukan kemeja putih dengan noda merah. Lalu tokoh lelaki muncul dan mereka bertengkar. Wajah perempuan itu mengeras. Ada butir-butir kaca di matanya.

“Dasar lanangan nggragas!” maki Kuning sambil melempar remote control.

Aku diam membeku. Karena aku bukan Nabi Sulaiman dan bisa memberitahu Kuning bahwa suaminya pun berperilaku begitu. Meski tidak sesering dulu. Dilakukan saat Kuning menginap di rumah orang tuanya. Menjagai ibunya yang sudah tua dan sedang sakit, bergantian dengan adik perempuannya yang juga telah menikah dan tinggal di rumah berbeda. Hanya malam saja. Pagi-pagi sekali Kuning berjanji sudah akan kembali.

Mahdi melepas dengan wajah keruh. Layaknya berpisah sampai hitungan lustrum, windu, atau abad. Aku mengagumi kesepenuhan penghayatannya. Ketika tubuh lencir kuning istrinya menghilang di ujung jalan, keruh wajah Mahdi berganti dengan binar terang. Ia mengeluarkan ponselnya. Menekan beberapa angka dan panggilan dikeraskan. Aku mendengar suara perempuan di seberang. Juga sejumlah uang, makan malam, lalu ranjang.

Ya, semuanya memang diawali dari apa-apa yang kusebutkan tadi. Istri yang pergi dengan perasaan sedih berpadu wajah suami yang dibuat-buat berat hati.  Tapi celakanya si istri bukan kembali pada pagi di esok hari. Melainkan ambang malam saat lelaki itu tengah bersama perempuan yang diteleponnya. Bergumul di ranjang kamar.

“Jadi lipstik perempuan ini yang ada di kemeja dan kucuci kemarin?” tanya Kuning, meniru dialog tokoh perempuan di layar kaca. Pun pertengkaran mereka. Malam itu aku melihat Kuning tidur menghadap dinding. Tangannya tidak lagi melingkar di tubuh Mahdi sebagai pelukan. Tapi lelaki itu tetap mendengkur dengan kerasnya. Bagai yang baru saja terjadi adalah episode singkat yang selesai dengan permintaan maaf. Pagi nanti kisah mereka akan dilanjutkan dengan siklus biasa. Bangun, bekerja, pulang dengan sambutan uap khas kopi tubruk, dan seterusnya.

Semula, aku pun mengira hal yang sama. Tapi ketika Kuning bangun di tengah malam dengan wajah mengerasnya, aku meyakini sesuatu yang besar bakal terjadi. Perempuan itu berjingkat ke kamarku. Mengambil benda berkilau yang panjang dan sepertinya tajam. Lalu ia kembali ke kamarnya. Mengayunkan beberapa kali benda tersebut ke arah raga Mahdi yang ruhnya tengah berselancar di alam mimpi.

Mahdi tetap diam. Hanya, tidak  ada lagi bunyi dengkuran yang keluar dari mulutnya. Justru isi perutnya yang berhamburan keluar. Oleh tebasan benda berkilau tadi, yang belakangan kutahu bernama samurai. Noda darah memenuhi seprei. Sebenarnya aku ingin berteriak, tapi bagai ada yang mencuri nada dari pita suaraku. Begitu juga langkah dari kaki-kaki kecilku.

Aku tetap berdiri di balik pintu, sebagaimana aku sebelum-sebelumnya. Menyaksikan Kuning menyeret tubuh Mahdi ke kamarku. Menggali tanah semalam suntuk. Mengubur jasad suaminya bersama bukti seprei dan samurai. Membuatku tidak lagi berani menempati sudut kosong di gudang. Aku sering dihantui makhluk buruk rupa seperti yang pernah kusaksikan di layar kaca.

Yang kuherankan, hari-hari setelahnya Kuning tetap bangun pagi seperti biasa. Kecuali rutinitas kamar mandi dan rambut basah. Tapi ia masih memasak, sarapan, menonton drama, mendengarkan lagu dari biduan A, plus menulis surat. Hanya, ia tidak lagi menyisakan sesuatu untukku selesai makan sebagaimana kebiasaannya dulu bersama Mahdi. Kepala ikan beserta duri-durinya. Membuatku terpaksa mencuri sepotong ayam goreng, saat ia tengah lengah. Salah sendiri memasak sambil meliuk-liukkan badan mengikuti irama lagu Sambalado dari radio.

“Sialan!” Kuning mengejarku sambil mengacungkan benda berkilau yang kali ini bernama pisau.

Aku semakin jauh berlari. Aku tidak ingin nasibku sama seperti Mahdi di tangan benda berkilau tadi.

Sejak hari itu, aku tidak tahu lagi kabar tentang Kuning. Apakah masih menangis, sekejap kemudian tertawa riang. Apakah masih membual ke para tetangga. Apakah masih mengirim surat yang sejatinya hanya berupa gambar dan coretan. Tapi aku berjanji akan merahasiakan kebenaran ini. Hanya pada Puspita kekasihku yang berbulu putih dengan mata birunya yang indah, aku berani bercerita. Di sebuah gedung kosong pinggir kota, kami tinggal berdua.(*)


Penulis:

Pasini, mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entri data.Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring, antara lain: Kompas.id, Jawa Pos, Ideide.id, Media Indonesia, Detik, Cendana News, Republika, Femina, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, LP Ma’arif NU Jateng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *