Esai
Puisi Di Antara Kreativitas dan Realitas

Puisi Di Antara Kreativitas dan Realitas

Apa jadinya jika dunia ini tidak lagi membutuhkan puisi?

Tampaknya kita kerap mengabaikan bagaimana puisi bertahan dan terus terjaga hingga hari ini. Puisi hanya menjadi perhatian bagi kelompok-kelompok tertentu saja, sementara dunia sekitar kita sebenarnya sedang membutuhkan puisi untuk tetap bertahan menjalani hari yang kian sulit untuk diprediksi. Masa depan seakan menawarkan banyak ketakutan, tanpa sadar kita pun terseret dalam nuansa yang dikelilingi dengan kebimbangan yang kadang tidak berdasar.

Saat menjadi mahasiswa psikologi, saya tertarik dengan pembahasan jiwa hingga emosi yang ada pada manusia. Semua itu menjadi topik yang menarik hingga membantu saya untuk membangun keyakinan-keyakinan baru dalam menghadapi realitas yang ada. Hingga saya berusaha untuk mencari bagaimana puisi untuk jiwa atau untuk manusia itu sendiri dan kehidupan.  

Robert Romanyshyn, seorang peneliti psikologi dalam salah satu bukunya yang berjudul The Wounded Researcher menjelaskan jika psikolog atau peneliti dapat disebut sebagai “penyair yang gagal” di mana mereka berdiri di celah antara kesadaran dan ketidaksadaran, dan menanggung ketegangan antara mengetahui dan tidak mengetahui. Romanyshyn mengaitkan profesi tersebut dengan penyair lantaran kepercayaannya terhadap puisi. Bahwa puisi menjadi ruang untuk memahami bagaimana jiwa manusia selama ini.

Tentu saja, tidak mudah menjelaskan bagaimana puisi dapat dikaitkan dengan jiwa. Namun, kita bisa melihatnya dari proses seseorang setelah atau saat menyelami makna puisi. Kekuatan yang diberikan puisi juga masih beragam, tidak semua orang dapat memahami dan menerimanya. Sebab itu juga, jarak jangkauan puisi terkadang masih sempit dan terbatas.

Namun di tingkat sosial, puisi menyimpan pengaruh yang besar dalam merespon situasi yang ada di sekitar kita. Bahkan dalam perkembangannya, puisi telah menjadi salah satu terapi psikologis untuk membantu individu dalam memahami eksistensi yang dimiliki. Salah seorang psikolog humanis, Rollo May menjelaskan dalam salah satu karyanya yang berjudul The Courage to Create, bahwa kreativitas seorang penyair merekam kekuatan internal dan eksternal yang ada sehingga membawanya pada kedalaman makna atas kata-kata yang dituliskan.

Pada akhirnya, seorang penyair yang baik akan memperlihatkan intisari kehidupan yang dijalaninya melalui perenungan atau pencarian makna yang dilakukan. Hidup yang penuh kompleksitas, juga membawa individu pada titik-titik yang penuh upaya untuk menangkap peristiwa dalam proses kreatif yang dijalaninya. Cukup banyak temuan yang menjelaskan kekuatan puisi, hanya saja untuk dapat diterima masyarakat awam, masih butuh waktu dan upaya lebih untuk menjelaskan bagaimana puisi dapat membantu seseorang dalam menjalani hidupnya. Sesuatu yang begitu abstrak untuk dijelaskan.

Di tahun 1821, Percy Bysshe Shelley, menuliskan sebuah esai penting berjudul Defence of Poetry untuk menjelaskan bagaimana esensi puisi di tengah kehidupan kita. Baginya, penyair merupakan pembuat undang-undang dunia yang tidak diakui, tetapi penyair juga terus berpikir dalam kerangka kehidupan dan kematian zaman. Maka penyair tidak hanya terobsesi dengan penderitaan atas penuaan biologis atau biografis, tetapi dengan seni sebagai seni zaman, sekaligus pribadi, politik dan kosmik. Penyair memiliki kebebasan intelektual dan mampu menjadikan puisi sebagai kendaraan untuk penaklukan politik dan situasi sosial.

Puisi merupakan produk berpikir yang semestinya kita pahami lebih bijak. “The Philosophical Status of the Poem after Heidegger”, salah satu esai yang ditulis oleh Alain Badiou menjelaskan bahwa puisi mampu membebaskan pemikiran dari logika proposisi di mana kata-kata hanyalah “istilah” penunjukan dalam pemikiran representasional-kalkulatif. Seperti yang dikatakan Heidegger dalam Was Heisst Denken? (1954), “Berpikir memiliki sifat yang penuh teka-teki ini, bahwa ia sendiri dibawa ke cahayanya sendiri – meskipun hanya jika dan hanya selama ia berpikir, dan tetap jelas dari bertahan dalam rasio tentang rasio.”

Lebih jauh lagi, Alain Badiou melihat puisi sebagai unthinkable thought. Seperti halnya dalam potongan puisi Fernando Pessoa:

To think about nothing
Is to fully possess the soul.
To think about nothing
Is to intimately live
Life’s ebb and flow

Ruang berpikir yang ditawarkan dalam puisi bagi Badiou juga memperlihatkan gagasan murni perihal “ada,” dalam penghapusan objektivitas empirisnya. Sejauh ini kita dapat melihat bagaimana puisi mampu hadir dalam bentuk berpikir yang menawarkan ruang kemungkinan lain atas pemikiran tertentu pada individu. Namun terkadang, dalam ketidaktahuan kita atas apa yang “ada” tersebut, kita tengah dibawa pada kemungkinan lain yang dapat dijelaskan lebih jauh.

Memahami atau menyelami dunia puisi barangkali seperti memecahkan realitas yang ada. Kita diajak untuk masuk ke dalam dunia kreativitas sang penyair. Mereka yang menghadirkan kata-kata sebagai buah atas pemaknaan yang dialami atau diamati.

Salah satu penelitian yang menarik dalam psikologi sosial adalah penemuan bahwa sastra dapat menurunkan need for closure pada seseorang sekaligus meningkatkan kreativitas. Need for closure secara sederhana dapat dijelaskan sebagai kebutuhan manusia akan kepastian. Semakin tinggi kebutuhan itu, semakin rentan manusia untuk diserang cemas hingga depresi dalam menerima berbagai kejutan yang ditawarkan dunia.

Tentu kita bisa sepakat bahwa dunia ini bukanlah sesuatu yang mudah ditebak. Dan saat sastra menawarkan realitas atau pengalaman berbeda sebagai tabungan emosi atau perspektif, saat itulah need for closure kita akan diredam. Di saat yang bersamaan, kreativitas kita pun berkembang saat mencoba menganalisis atau memahami apa yang dihadirkan sastra. 

Perlahan kita akan menerima bahwa hidup ini punya alur yang beragam dan tidak mudah untuk ditebak. Pada puisi, kata-kata yang disusun atau dihadirkan sedemikian rupa, menawarkan pemaknaan sekaligus penghayatan mendalam bagi pembaca. Ruang inilah yang mengajak kita untuk lebih sadar bahwa jiwa yang begitu luas, tidak semestinya tertekan dengan realitas dunia yang sejatinya tidak mampu menggoyahkan jiwa yang kokoh dengan pemaknaan. []


Penulis:

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya. Beberapa karyanya, Kumpulan Puisi: Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017), Museum Kehilangan (2021). Kumpulan Cerita Pendek pertamanya terbit Maret 2021 dengan judul “Aku Mengeong” oleh Penerbit Indonesia Tera.

1 thought on “Puisi Di Antara Kreativitas dan Realitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *