Resensi Buku
Gincu Sang Mumi: Dunia “Di Antara” dan Ruang Bagi Perempuan-Penulis

Gincu Sang Mumi: Dunia “Di Antara” dan Ruang Bagi Perempuan-Penulis

Judul               : Gincu Sang Mumi
Penulis             : Tamura Toshiko
Penerjemah      : Asri Pratiwi Wulandari
Penerbit           : Penerbit Mai
Terbit               : April 2022
Tebal               : 129 halaman
ISBN               : 978-623-7351-93-1

Apa yang mesti dimiliki perempuan yang ingin berkiprah dalam dunia tulis menulis di paruh awal abad 20-an? Pertanyaan ini akan langsung terbayangkan jawabannya manakala kita mengingat satu kuliah Virginia Woolf di hadapan mahasiswi Cambridge yang kelak kita baca dalam buku berjudul A Room of One’s Own (1929). Dalam ceramah itu, Woolf setidaknya menggarisbawahi bahwa bagi perempuan, ruang dan finansial diperlukan untuk menghasilkan mahakarya-mahakarya terbaik. Ruang dapat diartikan kebebasan, yang berarti juga tidak adanya tekanan atau ekspektasi dari dunia luar, sehingga ia berkarya semata-mata dari diri dan untuk diri (si penulisnya). Adapun keadaan finansial, kita bisa mengartikannya dengan keajekan ekonomi yang membuat perempuan menulis dengan fokus, sehingga bisa berkarya sebaik mungkin. Lalu, bagaimana bila perempuan-penulis tidak memiliki kedua hal itu? Apakah ia masih bisa berkarya?

Pertanyaan itu yang secara tak langsung disisipkan Tamura Toshiko dalam mahakaryanya yang berjudul Gincu Sang Mumi (Penerbit Mai, 2022) ini. Kita pun lantas menduga kalau persoalan perempuan-penulis dan ruangnya tampak universal mengingat, kendati Woolf dan Toshiko berada di bawah langit yang berbeda ketika mereka berkiprah sebagai penulis; tetapi ada kesamaan terkait profesi yang mereka jalani: mereka berkiprah di tahun-tahun yang sama dan tantangan yang mereka hadapi pun sama. Khusus untuk Toshiko, novelnya Gincu Sang Mumi menjadi novel semi-autobiografis yang cukup menggambarkan hal itu. Hidup perempuan penulis, terutama dalam konteks di zaman mereka berdua, sedemikian berbeda dengan laki-laki penulis. Ada beberapa hal yang dilekatkan dalam diri mereka, dari mulai standar, tuntutan tertentu, seksisme, sampai pandangan sebagai sang liyan yang tak sebanding dengan laki-laki penulis. Semua hal itulah yang begitu baik direpresentasikan oleh karakter Minoru dalam novel ini.

Di dalam cerita, Minoru hidup bersama suaminya yang bernama Yoshio. Keduanya hidup melarat, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, akibat profesi penulis suaminya yang hampir selalu tak menghasilkan apa-apa. Setiap kali pulang ke rumah dan membawa tangan hampa, keduanya pun jatuh pada pertengkaran kecil. Lontaran kata bahwa mereka sebaiknya berpisah berulang kali dari mulut suaminya mengingat ketidakberdayaan ia menghidupi Minoru. Mendapati situasi sulit itu, Yoshio lantas mendorong Minoru untuk turut mencari pekerjaan. Dan salah satu peluang itu ia lihat ketika mengetahui kalau Minoru pun bisa menulis. Desakkan supaya Minoru menulis makin menguat ketika ia melihat pamflet sayembara novel. Yoshio ingin Minoru mengambil kesempatan itu dan dapat memenangi hadiahnya.

Namun, bagaimana dengan Minoru sendiri? Menulis dengan tekanan dan ekspektasi dari orang lain tentu bisa menghadirkan ketidaknyamanan. Itu pulalah yang dirasakan oleh Minoru: “Kekesalan Minoru menggelegak di perut ketika ia memikirkan Yoshio yang mencoba menggiringnya melakukan seni yang seperti perjudian, sementara lelaki itu sendiri sama sekali tak tahu cara membiarkannya menikmati seni (hal. 50).” Tekanan itu merenggut kedirian Minoru, sebab ia tidak lagi menikmati proses menulis sebagai seni yang membuatnya bahagia melakukannya. Terlebih lagi, tuntutan sayembara itu justru menempatkan dirinya dalam perjudian yang tak diketahui hasilnya. Dari situ, Minoru menulis bukan atas kehendak dirinya, tetapi lebih kepada tuntutan yang diletakkan suaminya di pundaknya.

Situasi itu menempatkan Minoru di ruang “antara” yang sarat. Di satu sisi, Minoru ingin memberontak, hati kecilnya ingin menyerah saja; tapi di sisi lain, ia tidak memiliki keberdayaan untuk melawan suaminya. Digambarkan, “Ia merasa putus asa gara-gara menulis hanya karena dipaksa Yoshio dan cuma melemparkan karya itu ke hadapan sang lelaki (hal. 60).” Kendati begitu, toh pada akhirnya Minoru menyelesaikan naskahnya di hari tenggat sayembara, dan perjudian pertama pun usai. Lantas, apakah segalanya usai? Tentu belum. Sebab, setelah fase menulis itu, Minoru tertarik dengan dunia peran kala melihat pamflet pembukaan aktris untuk pagelaran teater. Babakan inilah yang menggambarkan kehidupan perempuan seniman pada zaman itu.

Terjunnya Minoru ke dunia peran memberi gambaran tak ramah lain terhadap perempuan. Dunia kesenian rupanya sedemikian seksis: “Meski memiliki kekuatan seni bak intan, seorang aktris tidak akan dianggap memesona jika tidak memiliki rupa laksana bunga (hal. 88).” Segalanya tampak melulu berhubungan dengan tampang, dan ketika perempuan tak memenuhi standar kecantikan tertentu, sama seperti yang dialami Minoru, mereka akan diejek oleh masyarakat. Mereka tidak berarti apa-apa, hanya figur yang dilempari cemoohan sepanjang pertunjukkan. Dunia itu menampar Minoru dengan keras, membuat keyakinan berkeseniannya ciut, dan itu membuatnya keluar dari kelompok teater itu.

Apakah ia tak kembali lagi? Biarlah pembaca mendapati sendiri nasib Minoru selanjutnya. Sebab, ada hal lain yang sepertinya lebih pantas dibahas di sini. Sebelumnya, kita telah mendapati sedikit gambaran bagaimana perempuan-penulis menjalani hari-harinya dalam diri Minoru. Gambaran itu begitu pahit, dan itu tidak selesai sampai di sana. Kepahitan juga masih kita lihat ketika naskah Minoru memenangi penghargaan itu. Laki-laki di sekilingnya mendaku kalau kemenangan itu disebabkan oleh mereka, alih-alih atas kerja keras Minoru seorang diri: Suaminya bilang bahwa dialah yang terus mencambuk semangat Minoru, sehingga kemenangan itu berkat dirinya; dan juri yang kelak ditemui Minoru bilang kalau dialah yang berperan memenangkan karya Minoru saat juri lain memberi nilai yang kecil. Kenyataan itu menerbitkan tanda tanya di benak kita: Apakah kepengarangan perempuan-penulis sedemikian ditentukan oleh campur tangan para lelaki itu?

Kedirian perempuan-penulis seperti Minoru benar-benar terenggut. Proses kepengarannya tampak ditumpukan oleh keterlibatan laki-laki di sekitarnya, baik disadarinya atau tidak. Dalam kasus yang lebih ekstrim, mereka pun bisa menentukan siapa yang berhak dibaca dan yang dihilangkan dalam sejarah kesusastraan tertentu. Seperti yang dialami oleh penulis novel ini. Menahun lamanya, pembaca global agaknya asing dengan namanya, sebab kita melulu disuguhkan penulis yang terkesan itu-itu saja. Dan hal ini, percaya atau tidak, memang dibentuk oleh satu tradisi sastra yang patriarkis.

Penulis perempuan dianggap terlalu sentimentil atau melulu bernilai perkara domestik, sehingga dalam tradisi sastra tertentu eksistensi mereka dikaburkan, bahkan dihilangkan. Kedudukan laki-laki itu dalam dunia seperti ini pun jelas: mereka bisa menentukan siapa-siapa saja yang kelak bakal diingat pembaca umum. Dengan demikian, ada yang kurang dalam isi ceramah Woolf bila kita melihat keadaan dalam kisah novel ini. Sebab, apa yang diperlukan oleh perempuan penulis untuk bisa berkarya lebih baik lagi tidak hanya perkara kesediaan ruang dan keadaan finansial mereka, tetapi juga lingkungan (sastra) yang lebih menghargai kedirian mereka. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *