Esai
Pathos dalam Karya Cerita

Pathos dalam Karya Cerita

Dari Trauma Ekologis Hingga Baby Blues

Meskipun hadir sebagai terminologi dalam dunia komunikasi berkaitan dengan kecakapan mengolah, merespons, hingga mendayagunakan emosi dalam diri manusia, baik secara personal maupun komunal, pathos memiliki tempat dan pengertian tersendiri dalam dunia cerita. Dalam dunia kepenulisan naratif, phatos adalah luka lama yang mengaliri darah karakter atau subjek.

Dalam ejawantahnya, phatos mewujud roda tak kasat mata yang membuat cerita menggelinding sebagaimana keseruan-keseruan diarahkan premis. Oleh karena itu pula, phatos dapat dikatakan sebagai salah satu unsur wajib yang harus diperhatikan dalam membangun karakterisasi.

Dalam Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini versi film (2019), Jenny Jusuf, Angga Dwimas Sasongko, Mohammad Irfan Ramly, Melarissa Sjarief sebagai penulis skenario mengetengahkan pengalaman tak menyenangkan karena selalu dinomorduakan yang melekat dalam jiwa tokoh yang bernama Aurora berimplikasi pada sikap dan penampilannya. Alam bawah sadar anak kedua itu menjadikan pathos tersebut memproduksi sikap yang dingin terhadap lingkungan (tak terkecuali keluarga) dan warna-warna gelap yang menjadi pilihannya dalam berpakaian dan juga melekat pada karya-karya seni rupanya.

Dalam Parasite (2019), Bong Jong-ho, Kwak Sin-ae, dan Jang Young-hwan, menjadikan  bau lobak basi untuk menggambarkan aroma tak sedap kaum miskin sebagai pathos yang diderita oleh Kim Ki-taek alias sosok ayah dari keluarga miskin yang menjadi protagonik kolektif dari film tersebut. Sehingga ketika sang majikan Park Dong-ik mengeluarkan ungkapan itu, perasaannya menjelma jadi luka basah yang disiram air cuka. Apalagi ketika sang majikan menjadikannya bahan guyonan dengan sang majikan Choi Yeon-gyo ketika mereka hendak bercinta dan sang istri sedikit pun tidak terganggu dengan pilihan kata suaminya untuk menyebut bau badan sopir mereka, ketegangan dalam cerita tersebut perlahan-lahan terus menajam di subteks cerita.

Dalam cerpen “Kurik” (2009) karya Hasan Al Banna, lain lagi ceritanya. Penulis kumpulan cerpen Sampan Zulaiha (2010) itu memberikan Deslima, karakter utama dalam ceritanya, seorang janda miskin dua anak, berupa nganga luka dalam yang bernama kemiskinan. Mewujud dalam bentuk tumpukan utang demi memenuhi kebutuhan hidup, hidup pas-pasan yang mendorongnya melakukan apa saja demi mendapatkan salam tempel dari Sapar, kemenakannya yang sukses di Jakarta, ketika laki-kali itu mudik tiap lebaran. Memotong Kurik, ayam kesayangan putranya, pun ia lakukan demi menambal phatos tersebut. Drama memilukan ini pun sukses membuat pembaca “menikmati” kekalahan bertubi-tubi Deslima karena gagal memilih obat bagi kekalahannya yang bertindihan.

Tidak hanya untuk fiksi, dalam The Moneyless Man (2012), memoar ekologis karya Mark Boyle, pengalaman buruk sekaligus cara pandang kritisnya terhadap bank, plastik, dan minyak bumi, menyulutnya melakukan perjalanan keliling Inggris tanpa uang sepeser pun. Apa yang Boyle lakukan dalam kehidupan nyata adalah sebuah perlawanan idealis. Dan idealisme kerap kali berkarib dengan utopisme. Boyle mengakhiri kisah perlawanan ekologisnya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan memperpanjang eksperimentasi sosialnya. Meskipun pesan penting yang ingin laki-laki kelahiran Ballyshanon itu ketengahkan adalah dunia ini bisa berubah lebih baik asalkan setiap orang, sebagaimana percobaan satu tahunnya, mau menjadi freegan, sebutan untuk mereka bertahan hidup tanpa uang, seperti dirinya.

Tapi, ada yang spesial dalam cerpen “Tak Ada Donut Kentang di Bulan” karya Sasti Gotama. Cerpen pembuka kumpulan cerpen B (Diva Press, 2022) itu mengetengahkan pengalaman baby blues yang mengerikan sebagai pathos. Sepuluh tahun sebelum cerita bergulir, stress sebagai perempuan yang melahirkan anak dari seorang laki-laki yang tak mau bertanggung jawab atas kegagalan mereka berdua mengendalikan hasrat bawah perut ketika remaja, membuatnya menghilangkan nyawa sang bayi dengan tangannya sendiri.

Tapi, karena pathos yang pernah diidap protagonik bernama Nin itu bergeliat dalam dirinya dalam wujud—dalam bahasa Sasti sebagai—cuaca yang terus berubah dan penyiar radio yang gemar merundungnya, sudah berlalu satu dekade, waktu dan peristiwa pun melindas segalanya sehingga kehadiran seorang anak laki-laki sebaya sang anak (seandainya ia masih hidup), justru membuat luka lama menjadi donut yang lezat. Ya, Nin merasakan kebahagiaan tiap kali pertemuannya dengan si phatos melahirkan percakapan demi percakapan yang menggembirakan. Hal itu terus berlangsung dari hari ke hari, peristiwa ke peristiwa, dari ekstase satu ke ekstase yang baru. Sampai kapan? Sasti memberi kesempatan kepada pembaca untuk membentang pita finish-nya.

*

Menemukan jarum pathos dalam lanskap cerita yang tak jarang merupa tumpukan jerami atau daging kweni raksasa yang berserabut,  bukan hanya menerbitkan keseruan tersendiri, melainkan juga menjadi cara jitu untuk menakar mutu sebuah karya cerita, sebab penulis cerita yang baik akan memberikan perhatian pada karakter(isasi). Ini bukan hanya karena karakater adalah tempat bersemayamnya luka lama tersebut, tapi juga untuk alasan lebih prinsip dalam teks naratif: sebab karakter adalah pusat cerita. []


Penulis:

Benny Arnas. Penulis 28 buku.

1 thought on “Pathos dalam Karya Cerita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *