Cerpen
Pertaruhan

Pertaruhan

Kepalan tangan yang menghantam pelipisnya malam itu membuat penglihatan Rama menjadi kabur. Ia bersumpah suatu saat akan membalas dendam kepada mereka. Baginya tidak ada kedigdayaan atas nama pengeroyokan. Sekali pun yang melakukannya adalah mereka yang mengaku sebagai pendekar.

Meski kejadian sudah tujuh hari, Rama masih belum mengerti kesalahan apa yang dilakukannya. Ia hanya mengingatkan orang-orang yang berkonvoi di tengah jam istirahat. Bahkan mereka juga memenuhi jalan yang berlawanan arah, hingga menyenggol motor yang dikendarai Rama. Sebenarnya pada saat terguling ia hanya berdengus kesal, hingga para pengendara yang di belakangnya menolongnya.

Begitu ia melihat tragedi serupa dialami keluarga yang membawa seorang bayi tepat berada di depan matanya. Emosi Rama tersulut. Ia berteriak supaya mereka yang berkonvoi untuk berhati-hati. Namun sepertinya mereka menangkap hal lain. Mereka tidak peduli jika Rama sedang menggendong bayi yang ditolongnya. Kepalan tangan dan tendangan menghantam tubuhnya hingga roboh. Rama tidak peduli dengan teriakan yang memberitahu bahwa mereka adalah pendekar. Peduli setan, ia berusaha sebisa mungkin tetap memberi perlindungan kepada bayi itu. Karena ia tahu, betapa berartinya seorang anak bagi orangtuanya. Tidak peduli bayi itu anak siapa, bagi orang yang mengerti nyawa pun rela dipertaruhkan.

Apa yang Rama pertaruhkan berakhir di dalam bangsal rumah sakit. Keluarga yang ia tolong menunggu hingga matanya yang lebam terbuka. Mereka berterima kasih dan meminta maaf karena peristiwa malam itu harus berakhir tragis. Ia terkejut kala orangtua bayi itu bercerita sedikit pun tidak ada luka yang hinggap pada tubuhnya. Meski ketika berada di dekapan Rama bayi itu terus menangis. Bahkan mereka mengatakan bahwa dekapan Rama bagai pelukan malaikat. Hingga kaki-tangan jahat itu tak dapat menyentuh bayinya.

Bayi itu terus berkelindan di pikiran Rama, meski mereka telah berpisah. Bahkan di antara dendam yang bersarang di kepalanya, ia masih tak menyangka kelakuan para anak muda yang menyebut dirinya seorang pendekar berkelakuan seperti itu. Sama sekali berbeda dengan kisah yang pernah dituturkan mendiang kakeknya di masa kecil tentang kebijaksanaan pendekar sejati.

Menurut kakek, seseorang yang memilih jalan hidup menjadi pendekar bukanlah sesuatu yang mudah. Jika pengertian pendekar hari ini adalah untuk adu kekuatan, terlebih digunakan sebagai alat untuk menyakiti sesama manusia, hal itu sudah sangat menyimpang dengan pemahaman yang ia dapat dari kakek. Sudah seharusnya seorang pendekar tidak menunjukkan diri dalam sebuah pergulatan, karena menurut kakek, kesejatian seorang pendekar ialah mereka yang berkasih dengan sesamanya.

Rama memang tidak meneruskan jalan hidup keluarga besarnya yang dikenal sebagai pentolan dari perguruan silat. Hingga hari ini identitas itu masih melekat di setiap anggota keluarganya. Tetapi karena Rama bekerja di luar kota, mereka yang menyiksa tidak mengerti siapa dirinya. Bila pun sampai terjadi, akan tercipta huru-hara yang mengerikan. Seorang cucu maha guru disiksa murid-muridnya.

Namun sepertinya murid-murid dari kakeknya yang kini berjumlah sangat banyak perlu diberi pemahaman yang lurus. Karenanya ia memutuskan pulang ke kampung halaman, menceritakan kelakuan mereka yang baru saja diangkat sebagai pendekar kepada keluarga besarnya. Tentu Rama tidak akan memberitahu sesuatu yang menimpanya. Sebab hal itu justru bertentangan dengan pedoman yang dipegang teguh keluarga besarnya.

Walau bekas luka yang menimpa Rama sudah hilang, matanya masih belum mampu melihat dengan jelas. Pemandangan persawahan yang biasanya terlihat indah dari dalam kereta hanya buram kehijau-hijauan. Rengekan bayi yang terdengar pun seolah mengantarnya kembali ke peristiwa yang pernah menimpanya. Ia membawa dendam atas kegagalan pengajaran yang diberikan keluarga besarnya.

Hampir dari semua anggota keluarga bersepakat bahwa Rama harus meninggalkan pekerjaan dan menyarankan untuk bergabung dengan perguruan yang didirikan kakek. Hal itu mesti dilakukan Rama sebab ia harus melakukan apa yang disarankannya sendiri secara langsung. Tentu itu bukanlah sesuatu yang mudah, ia pun kembali ke luar kota dengan senyum kecut. Ia meyakini masih ada cara lain yang bisa ditempuh.

Meski begitu, ia terus terbayang kisah-kisah yang diceritakan kakek. Bukan berarti karena ia tidak melanjutkan sesuatu yang dibangun keluarga besarnya, lantas ia tidak mencintai perguruan itu. Ia memilih jalan hidup lain, Rama meyakini akan kesulitan melakoni hidup sebagaimana yang dijalani kakek. Namun entah mengapa, sepulangnya dari kantor, ia ingat sekali perkataan kakek sebelum meninggal, bahwa kakek berharap suatu saat ia mau meneruskan perguruan silat itu.

Akhirnya kata-kata kakek mengantarnya mengikuti perguruan silat itu. Namun ia lebih memilih berlatih di kota tempatnya bekerja. Pun Rama tidak memberitahu keluarga besar perihal keikutsertaannya menjadi seorang murid.

Seminggu dua kali, sepulang kerja, Rama mengikuti latihan di sebuah lapangan sepak bola. Ia termasuk murid yang disenangi gurunya, terlebih soal pengetahuan tentang dunia persilatan. Rama jauh mengungguli teman-temannya. Segala arahan guru mengenai taktik dan jurus ia ikuti dengan baik.

Suatu kali pada saat latihan jurus, ia seperti kenal dengan kepalan tangan yang pernah menghantamnya. Salah satu tanda yang menguatkan dugaannya ketika orang itu terus mendengus dan mengatakan bahwa kuda-kuda Rama kurang begitu kokoh, meski sedikit pun ia tidak merasa bergeser dari tempatnya berdiri. Itulah titik di mana Rama yakin, orang itu merupakan penyakit di perguruan silatnya. Caranya melatih, memberi materi, bahkan mengajari berbagai macam jurus dan taktik berjalan seenaknya sendiri. Bagaimana pun ia tahu siapa orang itu setelah dalam beberapa kali latihan ia menggantikan guru. Tetapi Rama tahu, ia tidak berhak mengguggat cara orang itu dalam melatih.

Satu-satunya jalan keluar yang dapat ia tempuh ialah mengubah hidupnya menjadi lebih disiplin. Cara hidup seorang pendekar ia terapkan di kehidupannya, meski ia belum melewati tahapan akhir mencapai titik itu. Seolah kini ia lebih dekat dengan Sang Pencipta. Bahkan ia memikirkan bagaimana cara kakek menemukan metode tersebut dalam mengarungi kehidupan. Baginya memang sudah selayaknya kehidupan seorang pendekar—termasuk calon—berjalan seperti itu. Di luar tempat latihan memperbanyak wirid, beribadah, dan mencoba mengerti siapa dirinya.

Satu tahap sebelum melewati ujian akhir, para guru mengajak murid-muridnya untuk berendam di sungai semalaman. Guru memberi pengantar di tempat itu, bahwa nantinya jika murid-murid sudah diangkat menjadi seorang pendekar, mereka harus mengerti cara dan kehendak alam bekerja. Latihan itu masih berlanjut dengan mendaki gunung. Dari cakrawala, alam mengajarkan tentang betapa kecilnya seorang manusia. Begitu seterusnya, mereka bermeditasi di bawah terik matahari. Dan yang terakhir mereka diminta bernapas di bawah sebuah pohon beringin besar selama semalam.

Begitu memasuki ujian akhir, Rama dinyatakan lulus sebagai warga perguruan silat kakeknya. Ingar bingar dirasakannya bersama teman-temannya. Setiap tahapan dapat mereka lewati dengan tuntas. Meski juga tidak sedikit yang mundur di tengah jalan karena beban latihan yang begitu berat.

Orang-orang terlihat segan terhadap Rama meski ia tidak melakukan apa-apa, padahal ia hanya menggelengkan kepala ketika mereka mengajak berkonvoi perayaan. Hanya satu orang yang pernah menyepelekan kuda-kudanya yang terus mengajak warga baru itu untuk tetap berkonvoi. Pada saat itu Rama berbisik ke salah satu kawannya supaya sebisa mungkin konvoi ditunda sesaat, lalu ia pergi menemui gurunya.

Segala pertanyaan yang pernah ia pendam, sudah saatnya disampaikan kepada mereka yang lebih mengerti dan berpengalaman. Rama mengangkat kepala, lalu menatap mata gurunya dalam. Kepalan tangan dan tendangan seperti menghantam tulang rusuknya. Apa yang dirasakannya ternyata juga menggelayuti perasaan gurunya. Bahwa benar orang itulah yang kerap membuat onar di lingkungan, bahkan para guru pun kewalahan ketika mengingatkan untuk berhenti melakukan tindakan di luar ajaran.

Ketika Rama mencium tangan gurunya, ia mendengar sebuah tuturan yang sama persis dengan kakeknya: “Satu-satunya ujian yang diberikan untuk mencapai kesejatian seorang pendekar adalah meluruhkan segala dendam yang ada di jiwanya.”

Mendengar hal itu, Rama lekas terbayang menjadi orangtua yang bayinya ia tolong dua tahun tahun lalu. Dan, ia meyakini pembayaran yang patut ialah pertarungan antar pendekar. Satu lawan satu.

Melalui kawannya Rama menyampaikan tantangan kepada orang itu.

Lingkaran besar terbentuk di tengah lautan manusia. Semua terdiam ketika dua orang pendekar bersiap dengan kuda-kudanya. Tak lama setelah pertarungan, semua rencana konvoi dibatalkan. Orang yang terkapar di tengah lingkaran, diangkut menuju rumah sakit. Di depan para guru, orang-orang saling berbisik membicarakan perihal sosok mendiang maha guru.(*)


Penulis:

Rudi Agus Hartanto putra daerah Mojogedang. Merupakan mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret.  Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *