
Puisi Fahrus Refendi
Jokotole
Dewi Retnadi
Kukecup kemalangan yang menetap di netramu, Adinda.
“Tapi mataku yatim, Paduka! Semua yang terpandang, hanya tirai hitam belaka.”
“Naiklah ke damai punggungku, sebab tulang-tulangku disapih dari langkah sapi karapan.”
Di kaki langit kau menyempurnakan doa
Mangkat dan terapung
Bahtera menuju tanah lapang; Madura.
Dan kini ibadahku adalah langkah yang tak kenal lelah
Berjalan ke arah mana saja
Hingga kau terbangun,
Dan bertanya pada tanah yang gersang, bisakah mengulang usia, takdir dan cinta?
Dan di Soca ini, Kekasih!
Tongkatmu menancap
Memancarkan tirta pawitra
Pada teduh batu-batu
Semesta ikut terbenam dalam engkau.
Pamekasan, 2022
Sunan Ampel
Bahkan kesunyian pun tak berani berkunjung di Makam engkau, Raden!
“Jangan bersedih, sebab risau tak ada dalam kamus seorang sufi.”
Dan di sini, kami rapatkan ketabahan
Kami sempurnakan segala perjalanan yang memaksa diri kami melupakan segala kesedihan.
Surabaya, 2022
Melerai Keangkuhan
Dan biarkan masa lalu menyeka keangkuhan dalam dada
Meski kami tahu
Engkau tirai yang tak mampu kami tempuh lewat langkah yang sarat dosa
“Aku beserta harapan dan air mata yang memancar.”
Kemari, dan genggamlah kening mereka sebelum waktu beranjak dewasa.
Sebab di aulamu kami menyuling ribuan doa-doa
Berdiri di hadapan mimbar
Dan sekali lagi
Kami tak kan pernah dapati sesuatu yang membuat kita pulang kembali.
Pamekasan, 2022
Menyusul Subuh
Arus membawa kami berlayar menyusul subuh
Laut adalah gembala tempat segala bingkai keangkuhan harus ditanggalkan
Dan kubiarkan sepasang mata mengapung bebas menuju samudera yang belum terjamah manusia
Menyusuri kedalaman arus
Mengukur jarak tempuh antar bebatuan
Andai saja kebosanan ini dapat kubagi
Tentu akan kusulam kembali perjalanan waktu yang telah pergi.
Sumenep, 2022
Netra Padang Pasir
Aku terpukau pada padang pasir yang terhampar pada kedua matamu.
Membentuk sebuah kafilah dengan lembar salawat puji-pujian.
Kubahku telah tertata rapi menghadap semesta
Sebab ketika usia kutanya perihal cinta, ia menjawab,
“Hanya pada rahim bencana kita akan bisa bersua!”
Sumenep, 2022
Tubuh Musim
Jarak yang membentang
Hanya lihai memukul kita di akhir malam
samar-samar engkau memelukku
Dan berjalan ke arah tawarnya dini hari
Lamunan kian memanjang
pagi masih jauh diraba anjungan
“jika saja rindu membelenggu, sementara kita sudah lama tercatat dalam kitab perpisahan.”
Panggil aku dalam namamu
Sebab dalam langkah yang buta
Kami selalu berlari menyusuri tubuh musim yang kerontang.
Pamekasan, 2022
Damar Wulan
“Ajalku menara gading manakala kepala Minak Jinggo terhidang di hadapanku.”
Maut telah mengecup tengkuk Hayam Wuruk, sementara permaisuri dan selirnya menetaskan satu perkasa dan satu angkara.
Rahim bhre Parameswara telah berputik. Dari balik jubah rekah sebuah tangkai luhur bunga raja; Prabu Kenya Kencana Wungu.
Sementara Minak Jinggo lahir dari getah seorang selir. Diantara puing matanya yang getir, Majapahit selalu membatu diantara dadanya yang bidang.
Perang telah menikam jantung Majapahit
Bencana merangkak tajam
“Gaduh akan kubawa dalam langkahku, kematian akan akrab seumpama luka tetap menganga.”
Damarwulan menyelinap di balik lelap Minak Jinggo
Menghujam gada sakti pada pangkal pahanya yang juntai.
“Prabu Kencana Wungu, semua abadi telah berkemah di hatimu, samudera menggantung di keningmu. Maka, izinkan kepala ini kuserahkan sebagai pengganti mas kawin segala ketamakan.”
Pamekasan, 2022
Penulis:
Fahrus Refendi, merupakan alumnus Universitas Madura prodi Bahasa & Sastra Indonesia. Bergiat di Sivitas Kothѐka dan di Lembaga Seni dan Budaya NU, dan sekarang menjadi salah satu tenaga pengajar di SDI Mabdaul Falah Sumenep Madura.
Mantaaaaaap