Cerpen
Dua Ekor Sapi Milik Ramli

Dua Ekor Sapi Milik Ramli

HARI ini tepat tiga puluh hari kematian ibunya. Ramli tidak ingat lagi kapan terakhir kali dia membuat ibunya tersenyum. Di belakang rumahnya, ada sebuah pohon jati, dengan besar batang yang tidak muat lagi dalam pelukan satu orang dewasa. Pohon jati itu juga sudah mulai kehabisan daun. Di sana, Ramli bersandar sembari memperhatikan dua ekor sapi miliknya. Saat itu juga, dia terkenang kepada ibunya yang telah meninggal akibat stroke.

Diana, saudara satu-satunya sekaligus kakak dari Ramli tidak berhenti mengutuk Ramli. Katanya, “Ini semua karena kamu tidak bisa menuruti permintaan ibu!”

Ramli paham, jika sikap Diana tidak jauh beda dengan ibunya semasa hidup. Emosi yang meluap-luap kadang membuatnya tidak dapat mengendalikan diri. Kata-kata makian dengan mudah terlontar, kutukan, hingga ancaman sudah bersarang di telinga Ramli. Hanya ayah Ramli yang bisa membuat Diana tenang, jika ayahnya tidak ada di rumah dan emosinya meledak, Ramli kerap ditendang dan diludahi. Pasrah, Ramli tidak melawan sama sekali padahal sebelumnya, dia tidak akan membiarkan dirinya ditindas seperti itu. Semua itu terjadi setelah kematian ibunya.

Semasa ibunya masih hidup, dia dengan bebas melawan atau mendebat pendapat dari Diana dan ibunya. “Kau harus cari kerja yang lebih terpandang! Bukan menggembala sapi seperti ini, apa guna kau sekolah tinggi-tinggi? Sarjana? Hah?”

Pertanyaan-pertanyaan serupa kerap kali Ramli dengarkan. Dengan enteng, dia akan menjawab dan menjelaskan jika semua pekerjaan sama saja. Dia tidak peduli dengan konsep terpandang. Baginya, itu hanya pandangan sosial yang keliru dan tidak layak diperhitungkan. Diana pun sependapat dengan ibunya. Diana merasa malu melihat adik semata wayangnya hanya pulang membawa ijazah lalu memilih menggembalakan sapi.

“Apa pula kau hanya ingin menggembala, gilanya lagi kau tidak berniat menjual dua ekor sapi itu? Mau makan dari mana?” ibunya berteriak seakan urat-urat dilehernya sekeras besi. Ramli membuat ibunya pusing bukan main. Ibunya merasa risih dengan tindakan anaknya itu. Setiap kali di pesta pernikahan atau arisan keluarga, kabar Ramli sering diperbincangkan. Biasanya dimulai dengan pertanyaan, “Ramli itu tidak cari pekerjaan di kota? Kenapa dia mau menggembala sapi?”

“Anak-anak sekarang susah diatur, mereka mau bebas, tidak peduli dengan ibu atau ayahnya sendiri” jawab ibunya. Seringkali setiap kali dia menjawab pertanyaan orang sekitarnya tentang Ramli, ada perasaan gamang yang muncul tiba-tiba. Sebentuk rasa kesal yang menumpuk dan membuat tubuhnya kadang berkeringat. Semakin dia mengingat Ramli, emosinya seakan tidak terbendung. “Dulu saya daftar PNS dan membuat ibu saya senang bukan main, ayah saya sampai membicarakan kabar saya di mana-mana. Bapakmu juga seperti itu!” ibu Ramli akan mengenang masa-masa ketika dia diterima jadi pegawai negeri sipil dan jadi buah bibir keluarga. Hidup mereka tenang dan damai dengan jaminan pensiun yang akan selalu ada.

Dua puluh menit sebelum Ramli meninggalkan rumah dan bersandar di batang pohon jati, Diana kembali melontarkan kalimat yang tidak enak didengar.

“Di kantor, ada teman yang ingin beli sapi, jual saja dua sapimu itu! Biar kau juga bisa menghasilkan uang. Kau itu cuma bisa hidup dari gaji orang lain. Dasar anak pembawa sial!”

Ramli hanya diam tapi dalam hati, dia kesal dengan Diana, juga dirinya sendiri. Satu-satunya yang dia harapkan datang adalah ayahnya. Tapi dua hari lalu, ayahnya harus tugas keluar kota dalam kurun waktu seminggu. Diana bekerja di Badan Kepegawaian Daerah (BKD), bagian keuangan, setiap kali memasuki jadwal pengumpulan laporan, emosinya semakin mudah meluap. Ramli paham dengan kondisi kakaknya itu, selepas sarapan Ramli akan selalu bergegas menemui dua ekor sapi miliknya. Jaraknya cukup ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih sekitar tujuh atau enam menit saja.

Di tempat Ramli duduk dan bersandar, penuh dengan daun jati kering berwarna cokelat muda dan tua, ada juga yang masih kuning. Langkah kaki Ramli akan mengeluarkan suara karena mematahkan daun-daun kering yang ada di sekitarnya itu. Dua ekor sapinya melahap rumput yang disediakan Ramli sambil sesekali menatap ke arah Ramli.

“Apa yang sebenarnya kulakukan?” batin Ramli. Di hadapan dua ekor sapi, dia merasakan perasaan sendu yang membuatnya sedikit menyesal setelah dulu dia pernah mengatakan “Saya tidak masalah jika ibu tidak mengakui saya sebagai anak. Saya juga tidak sudi punya ibu yang menjadikan anaknya mesin balas budi” dihadapan ibunya secara langsung.

Saat ibu Ramli mendengar kalimat itu, dia terdiam dan menangis. Tidak lama setelah menangis, saat ibunya ingin bicara, tiba-tiba mulutnya kaku tak bisa berkata-kata. Setelah mulutnya kaku, separuh tubuhnya tidak bisa dia gerakkan lagi. Saat itu ibunya menangis meraung-raung hingga ayah dan Diana melarikannya ke rumah sakit. Ibu Ramli pun dirawat selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal dengan air mata yang keluar bersamaan dengan napas terakhirnya.

Sejak itu pula, Ramli terdiam dan terus mendapat caci maki dari Diana. Dia terus menuduh adiknya adalah pembunuh dan tidak tahu balas budi. Untungnya, ayah Ramli akan selalu menegur Diana dan melarangnya untuk memaksa Ramli bekerja dan mencari uang atau penghasilan lebih. Bahkan, ayahnya berpesan pada Ramli, “Uang ayah cukup untuk kebutuhanmu, kalau butuh uang, langsung ambil saja di dompet!”

Sehari sebelum Ramli mengatakan jika dirinya tidak sudi punya ibu yang menjadikan anaknya mesin balas budi, dia baru saja bercerita kepada dua ekor sapi miliknya, “Apakah tidak ada ibu yang durhaka dengan anaknya sendiri? Kalian tahu, ibu saya selalu menuntut banyak pada anaknya, harus jadi ini, harus punya itu, dan masih banyak harus lainnya, apakah tidak ada ibu yang durhaka pada anaknya sendiri?”

Kedua sapi itu seakan mengerti dengan pertanyaan Ramli dan bersuara dengan cukup panjang dan lama. Melihat ekspresi dua sapi itu, Ramli tersenyum lalu merekamnya di ponsel. Dua ekor sapi itu adalah peninggalan kakeknya tahun lalu, dua ekor sapi itu masih kecil dan bersama kakeknya, Ramli akan ikut memberi makan dua sapi itu. Setiap kali dia memberi makan sapi, dia akan terkenang dengan kakeknya yang penyayang. Sebab itu pulalah dia tidak berniat untuk menjual atau menggantikan kenangannya dengan uang.

Setelah kejadian yang menimpa ibunya, Ramli tidak pernah lagi melihat sapi itu dengan isi kepala yang dipenuhi kenangan bersama kakeknya. Kedua sapi itu bagi Ramli seakan menjadi dewa sekaligus kawan dia berbagi cerita atas kesulitan yang dia hadapi. Dia merasa tenang saat memberi sapi itu makanan dan melihat mata dari sapi membuatnya merasakan ketulusan. Sesuatu yang tidak dia temukan saat melihat kedua bola mata ibunya. Saat bersandar di pohon jati, dia bertanya-tanya, “ataukah saya memang anak pembawa sial?” Dua ekor sapi miliknya mendekat ke arah Ramli, memandang lelaki yang tampak putus asa itu.

Dua ekor sapi ini tidak bersuara selain menatap pemiliknya seperti hari-hari yang telah berlalu. Sapi-sapi itu terus mengunyah rerumputan, hanya suara dari mulut sapi itu yang didengarkan Ramli beberapa waktu ke depan.(*)


Penulis:

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, esai, novel dan menerjemahkan. Buku puisinya, Persinggahan Perangai Sepi (2013), Sajak Penghuni Surga (2017). Aku Mengeong (2021) adalah kumpulan cerpen pertamanya yang diterbitkan Indonesia Tera.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *