Puisi
Puisi Khalilullah

Puisi Khalilullah

Madura Dalam Dua Fragmen

/kesaksian kampung nelayan/
ollè olang paraona alajârâ
ollè olang alajârâ ka Madhurâ

mimpi kita terbuat dari gelombang yang setia
menderu melewati panjang malam juga bentang siang.
tekad kita sekeras batu karang yang menolak lebur
dari keras pukulan ombak berdebur.
baju kita terbuat dari doa anak-istri di rumah
– mungkin doa itu juga bernama air mata.

ketika pagi masih buta dan sabda-sabda – tak bersuara–
saling berlomba-lomba memecah kesunyian,
kita berangkat menuju pusar angin,
di mana sekujur tubuh mengenal maha dingin.
tapi mimpi kita tinggalkan di halaman,
agar ketika matahari muntah dari mulut pagi,
ia menjadi sarapan ayam-ayam
yang hampir kehilangan kokoknya
setelah membangunkan kita dari tidur berkepanjangan.

tiba di depan wajah segara.
kita menapaki butir pasir menguning
yang bertulis nasib masing-masing.
bagi tubuh, embun hanyalah tabir yang mampu
melilit bekas hangat pelukan. juga bisa serupa cemeti Adi Poday
yang gagal mencambuk kulit berwarna tembaga.

ketika fajar kizib hampir selesai melaksanakan tugas,
kita harus bergegas, naik ke sampan, juga mesin dijeritkan.
angin berkidung. kita melewati upacara ombak.
ahoi, harapan-harapan bercahaya dalam gelembung cinta

ollè olang mon nyabâ pon èghebbhârâ
ollè olang èghebbhâr noro’ saghârâ

di gelanggang laut – juga cahaya yang mulai mengusir raba,
di mana layar tak perlu dibentangkan.
mesin kita teriakkan sepanjang tikungan menebak ikan-ikan.
kemudi kita buat menggeliat.
ketika tanda pada ujung jaring kita raih, mesin kita buat sepi.

ahoi, di lengan, urat-urat serupa kawat.
sambatan kita seperti menerka-nerka nasib pada lingkar jaring.
pagi pelan-pelan muntahkan matahari.
embun menyerahkan diri. sedang keringat kata lebih asin dari air laut.

ahoi, petanda pada jaring berjarak tujuh depa.
ikan-ikan seperti pamer menampakkan tubuh silau kaca.
ternyata, ikan-ikan masuk pada perangkap yang kita buat dari doa-doa.
duh, mawar semakin tampak mekar di bibir anak dan istri kita.

/kesaksian kampung cangkul/

dengan sisa kemarau pada mata cangkul,
embun bergelantungan di antara ilalang berjurai.
langkah kaki menuju tanah seterjal rindu,
menepis ambigu. matahari bangkit kuning kunyit.
dan sulit dibedakan lebih luas mana, sawah atau cinta.
lebih biru mana, rumput atau masalalu.

kadang awan yang diracik musim,
gagal menjadi arak yang membendung air mata langit.
sehingga takdir tergambar jelas pada kucur keringat,
meski cangkul tak berhenti diayun sampai tanah berwajah gembur.

samsu beringsut, cuaca menolak kusut.
parabân mengantar kopi nètèr kolènang di pematang
seperti diiringi saronèn. tapi ia tak merasa, biji mata cèng-lancèng
tertubruk pada lesung pipinya. sedang pengerat mayang siwalan,
berkidung merdu di awang-awang, seolah ia merasa bahwa
adakalanya kidung bisa melepaskan jiwa yang terjerat murung.
bahagia yang terkungkung.

dan di tanah ini, di pinggir sungai nira,
tempat padi, jagung, buncis, tembakau,
dan mimpi-mimpi tumbuh bersama cinta.
mata cangkul, mata pembajak, meleburkan nestapa.

Kutub/Yogyakarta, 2022

Parabân : perawan.
Saronèn : alat musik khas Madura.
Nètèr kolènang : pujian untuk seorang wanita Madura yang cara berjalannya sangat indah.
Cèng-lancèng : para perjaka.

Kepada Pelaut Muda

singkap matamu
bagaimana layar itu mengikat angin pada tubuhnya
ketika matahari menjelang merah jambu.

ombak yang pecah dalam tubuhmu,
ledakkan kesepian camar lumpuh
di tepi pelabuhan.

kacong, tubuh kita pantulan derap gelombang
menampung macam bayang-bayang
karang remas diinjaknya.
matahari lamban ditambat lajunya.

kita menerka-nerka
sebelum istana pasir sempurna dibangun ketam:
doa perempuan sudah biru di rahim lautan.

ikan yang terbuat dari daging_tulang_ waktu
digiring tuhan ke dalam lingkar jaringmu
selagi engkau tahu, doa dan peluh lebih bengis dari sembilu.

Kutub/Yogyakarta, 2021

Efirosina

i/
di celah daun kersen, matahari malu-malu
umbar separuh wajah
dengan sisa gigil malam buta:
aku gagal jumpa bulan tanggal empat belas.

pagi dan segala yang bernama pagi
taburi telapak kakiku dengan bulir embun
yang beningnya melebihi air mata

aku ingin menjelma pendeta
kesohor pecahkan terjal jiwa
tumbuhkan bunga dari nganga luka

ii/
pada awalnya tak kutahu
robusta ini hasil dari bulan
yang kau tubruk di lesung pipimu

hingga pada akhirnya
duka lebih leluasa jadikan sepiku
sebagai suaka
jika matahari panasnya melebihi bahasa.

Cabeyan, 2021


Penulis:

Khalilullah, nama lain dari Khalil Satta Elman. Lahir di Sumenep-Madura, 7 Mei. Menulis puisi dengan dwibahasa, Indonesia – Madura. Saat ini bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *