Esai
Absurditas dalam Secuil Narasi Kematian

Absurditas dalam Secuil Narasi Kematian

Berita kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. yang belakangan menggema di ruang publik menggiring ingatan saya menuju kisah kematian dua polisi muda dalam cerpen berjudul Perdebatan Sebelum Senja karya Indah Darmastuti. Cerpen ini tergabung bersama 13 cerpen lain dalam sebuah buku kumpulan cerpen (kumcer) bertajuk Pengukur Bobot Dosa (Marjin Kiri, 2020). Cerpen Indah Darmastuti–sekurang-kurangnya dalam Perdebatan Sebelum Senja–jamak menonjolkan absurditas dalam narasi-narasi yang terasa begitu dekat, nyata, dan akrab dengan manusia, tak kecuali kematian.

Sebelum saling tembak, kedua tokoh–polisi muda berwajah bulat dan polisi muda berwajah lonjong–terlibat dalam sebuah perdebatan yang alot dan sentimental. Pemicunya ialah sekawanan burung kecil yang bertengger di sebuah kawat listrik dekat warung kopi tempat keduanya beristirahat. Cerita ini menghadirkan serentak dua subjek paradoks: manusia dan burung pipit. Ironi muncul kala makhluk kecil tak berakal budi dalam wujud sekawanan burung kecil bisa mendatangkan tragedi bagi ens rationale bernama manusia. Dalam hal ini, penulis melakukan dekonstruksi struktural tatanan kosmis dalam mana subjek yang kecil (burung kecil) bisa meruntuhkan eksistensi manusia. Sebuah keajaiban di tengah narasi besar peradaban manusia yang menakjubkan. 

Perdebatan bermula ketika sementara menyaksikan burung-burung bertengger di kawat listrik, polisi berwajah lonjong bergumam, apakah burung-burung itu merasakan jatuh cinta atau tidak. Pertanyaan ini memantik rangkaian percakapan selanjutnya yang terasa ganjil, di mana burung-burung dikaitkan dengan aneka fenomena antropologis semisal perasaan jatuh cinta dan kehilangan, mengurus perkawinan, memiliki rumah bordil, memikirkan perkara moral, masuk surga, dan meributkan agama.

Ketegangan menanjak seiring membiasnya percakapan kepada soal profesionalitas dalam mengurus perkara. Pada saat yang sama, unsur-unsur visual semisal gestikulasi dan mimik wajah berandil besar dalam menentukan gerak cerita. Penulis mempertegas ironi dengan menghadirkan lebih banyak burung yang kemudian tak kunjung mati, sementara di bawah mereka, perdebatan dua polisi muda itu kian intens dan bertransisi menuju puncak ketegangan: saling tembak. Cerita pun berakhir saat kedua polisi menjelma mayat terbujur kaku, tak lama setelah burung-burung kecil terbang meninggalkan hiruk pikuk manusia di sekitar tempat mereka bertengger.

Kematian dua polisi tersebut menjadi semacam antitesis atas kematian tokoh-tokoh dalam beberapa cerpen lain. Dalam cerpen-cerpen tersebut, pembaca bisa menemukan narasi kematian dengan nada dasar yang sama: heroik. Meskipun hadir sebagai pelengkap tema utama dalam cerita, kisah-kisah kecil seputar kematian para tokoh seolah menegaskan bahwa sebaik-baiknya mati ialah demi kebenaran, demi tanah air, demi transformasi sosial, demi ideologi, dan demi cinta. Dari cerpen-cerpen ini pun pembaca bisa memungut serpihan-serpihan absurditas.

Mari menilik beberapa cerpen. Dalam Pohon Kelelawar, pencerita (sudut pandang orang pertama tunggal) mengisahkan kembali kepada saudaranya tentang kematian ayah dan ibu mereka. Dikisahkan bahwa orangtua mereka mati karena dimangsa Revolusi. Revolusi hadir sebagai subjek impersonal. Meskipun demikian, ia digambarkan seperti manusia atau binatang buas yang bisa memangsa, dan keganjilan justru tampak di sini. Mungkinkah seseorang mati karena sesuatu yang impersonal? Gugatan tentatif ini akan menemukan jawaban jika pembaca berusaha bernalar lebih jauh. Katakanlah, gerakan revolusi itu dianggap subversif oleh sebuah rezim politik yang hegemonik dan anti-kritik, sehingga buah pahitnya ialah kematian. Di sini, bahasa bermain dalam berlapis-lapis makna dan penulis berhasil menarik pembaca–sekurang-kurangnya saya–pada ruang imajiner yang dirancangnya agar terlibat dalam merekonstruksi teks.

Absurditas dalam cerpen tersebut muncul ketika sekumpulan tak terbilang kelelawar keluar dari kuburan ibunya, terbang menuju sebuah pohon mangga di depan rumah dan hinggap di ranting-ranting pohon itu setiap malam. Pohon mangga itu konon ditanam ibunya dan si pencerita meyakini bahwa sekawanan hewan malam itu tak lain jelmaan ibunya. Keyakinan itulah yang membuat ia enggan berpindah rumah demi mengikuti permintaan adiknya. Kematian ayah ibu pencerita pun menyuratkan absurditas dalam arti yang lebih sempit. Idealnya, sesuatu yang diperjuangkan patut mendatangkan keuntungan bagi si pejuang. Dalam cerpen ini, tokoh pejuang revolusi–ayah dan ibu si pencerita–justru mati dibunuh revolusi itu sendiri. Sungguh sebuah perjuangan yang absurd.

Sementara Pohon Kelelawar, cerpen lain yang cukup menggelitik saya ialah Portal. Cerpen ini berlatar permukiman lereng Merapi pada malam hari. Dikisahkan seorang supir truk dan keneknya terlambat keluar dari tempat galian tanah bekas muntahan Merapi. Masalah menghadang di depan mata saat mereka mendapati portal telah ditutup lima menit sebelum mereka tiba di tempat itu. Cerita bergerak maju dalam eskalasi ketegangan suasana, di mana masing-masing tokoh dihadapkan pada persoalan lain andaikata mereka tak pulang malam itu. Maka jalan pintas pun ditempuh. Dengan bantuan seorang warga, mereka mengeroyok pemegang kunci portal  hingga korban tergeletak tak bergerak (mati). Pada akhirnya, perjuangan supir dan kenek itu berujung sia-sia sebab mobil yang tadinya dalam keadaan sangat baik mendadak tak bisa melaju, seperti ada puluhan banteng menahannya. Masalah lain menimpa saat mereka mencengkeram pintu hendak keluar (mau melarikan diri) tetapi pintu mobil pun tak bisa dibuka. Suatu peristiwa yang sulit dimengerti.

Cerpen yang lain, Pengukur Bobot Dosa, berkisah tentang seorang penggali kubur bernama Sukur. Dikisahkan bahwa banyak atau sedikitnya dosa seseorang yang meninggal dapat ditentukan oleh gampang atau sulitnya proses penggalian liang kubur oleh Sukur. Cerpen ini menunjukkan kesegaran imajinasi dan kepiawaian penulis dalam mengelaborasi nilai-nilai moral dan bahkan religius dalam merangkai cerita. Meskipun terasa ganjil, keanehan dalam cerpen ini menyajikan pesan moral yang kuat, bahwa hidup adalah momen terbaik untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan dari pada keburukan.

Absurditas tampak sangat kuat dalam cerpen ini. Seluruh rangkaian cerita seumpama alun-alun lurus yang mengantar pembaca pada klimaks yang menohok dan di luar dugaan–kematian Sukur. Pada bagian pembuka, pembaca langsung diteror secara tidak langsung melalui kalimat pertama: “Tak seorang pun berani sembrono kepada Pak Sukur si penggali kubur, apalagi sampai menyakiti hati atau tubuhnya sekalipun hanya dalam angan.” Di bagian ini, pembaca langsung berhadapan dengan superioritas tokoh utama. Penulis kemudian secara konsisten menggambarkan keunggulan tokoh utama: ia setia menggali kubur siapa pun (bahkan kubur musuhnya dalam percintaan), setia pada istri meskipun istrinya berselingkuh, ia tak mau menaruh dendam, dan masih banyak lagi. Sampai pada kalimat terakhir cerita, konsep “Manusia pengampun” yang dalam Hinduisme disebut Tat Twam Asi runtuh tanpa bekas. Tepat pada waktu ia selesai menguburkan istrinya, Sukur tersungkur bersimbah darah. Di atas kematian yang sia-sia ini, pembaca dipacu untuk mempertimbangkan kembali konsepsi “Manusia kuat” atas tokoh.

Tindakan Sukur mengafirmasi pernyataan Albert Camus dalam karyanya Le Mite de Sisyphe (1942)–satu-satunya yang filosofis dan benar-benar serius: bunuh diri. Bunuh diri menjadi semacam kristalisasi dari kehampaan makna hidup. Ketiadaan makna hidup terjadi ketika semua yang diperjuangkan tak dapat dimiliki sepenuhnya, ketika segala yang berharga raib tanpa bekas. Sebagaimana Sisyphus tanpa henti mendorong batu ke atas gunung hanya untuk menyaksikannya berguling kembali ke dasar lembah, Sukur (dan para tokoh lainnya dalam cerpen-cerpen Indah) berjuang menyiasati hidup hanya untuk menyaksikan segalanya hilang ditelan waktu, hingga akhirnya tiba giliran mereka masuk dalam kehinaan yang sama: hilang ditelan kematian. 

Hari-hari ini, kita menyaksikan sihir absurditas dalam banyak prosa. Absurditas berkelindan dengan kematian dalam seluruh sebabnya, termasuk bunuh diri Sukur dan aksi saling tembak dua polisi muda. Bagaimanapun, kematian adalah wujud final ketercerabutan eksistensial manusia. Namun, tanpa kematian, kita tak pernah dapat membayangkan sebuah kehidupan atau sekurang-kurangnya suatu spesies bernama manusia. Dan ikhtiar menuliskannya adalah sesuatu yang wajar dan sebuah pilihan kreatif yang adil. Sebab tanpa kematian, manusia tidak pernah hidup. []


Penulis:

Petrus Nandi lahir di Pantar, Manggarai Timur, NTT pada 30 Juli 1997. Ia giat menulis cerpen, puisi, dan esai. Karya-karyanya tersiar di beberapa media seperti Tempo, Basis, Suara Merdeka, Merapi, Mata Puisi, Medan Pos, dll. Buku puisinya berjudul Memoar dan Dari Bane of Sisyphus sampai Via Dolorosa. Saat ini menetap di Pra-Novisiat Claret, Kupang.

1 thought on “Absurditas dalam Secuil Narasi Kematian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *