Cerpen
Neraka Para Penulis Fiksi

Neraka Para Penulis Fiksi

SEBELUM terlalu terlambat, sebelum kau keburu bercita-cita menjadi penulis fiksi, kuberi tahu satu hal: ada tempat khusus bagi para penulis fiksi di neraka. Semakin baik fiksi yang ditulis seorang penulis, semakin berat hukuman yang didapatkannya—begitupun sebaliknya: jika fiksinya buruk, hukumannya akan kurang berat, bahkan bisa jadi ia dihina dengan ditendang ke surga. Sudah cukup jelas: janganlah jadi penulis fiksi; jadilah sesuatu yang lebih berguna, semisal polisi atau pelacur atau presiden atau pembunuh bayaran. Agar argumenku lebih meyakinkan lagi, mari, kuperkenalkan kau pada Fixo.

***

Fixo, 25 tahun, mati karena terjatuh dari tangga indekos, dalam keadaan jomblo dan perjaka, tak lama setelah ia menulis paragraf penutup untuk draf pertama manuskrip novel terbarunya. Semasa hidup Fixo telah menerbitkan tiga novel; novel ketiganya mendapat penghargaan sastra nasional, beberapa kritikus sekitar menganggapnya inovatif dalam menggambarkan keadaan psikologis seorang remaja di bawah kaki negara yang otoriter.

Apa yang tubuh Fixo alami adalah terguling-guling di tangga sebelum mendarat di lantai dengan wajah terlebih dahulu. Namun apa yang arwahnya alami adalah, selepas terguling dari tangga, lanjut meluncur menembus lantai, menuju kedalaman yang selama beberapa saat tampaknya tak berdasar, membuat arwah Fixo menjerit sejadi-jadinya, dan tiba-tiba ia mendarat di kursi empuk dalam sebuah studio bioskop, dalam posisi duduk yang baik, seolah-olah ia bersiap menikmati satu hari libur menyenangkan.

Aku serius: kursi bioskop. Di kiri-kanan serta depan-belakang telah mendarat lebih dulu para penulis fiksi lainnya. Aroma brondong jagung tercium dari seluruh penjuru. Terdengar menyenangkan? Di sinilah hukuman pertama dimulai: pada layar lebar, mereka harus menonton hukuman yang dijalani beberapa penulis fiksi pendahulu mereka, hukuman berdasar konflik apa yang penulis-penulis itu jatuhkan ke protagonis di fiksi mereka.

Para penulis terbaik adalah para penulis terjahat: mereka sangat tahu cara menjerumuskan protagonis ke dalam konflik; mereka sangat tahu bagaimana cara membuat konflik seberat-beratnya, tanpa bisa ditolak oleh sang protagonis. Itulah kenapa ada hukuman khusus penulis fiksi di neraka, dan beruntunglah para penulis fiksi yang buruk: mereka tak tahu cara menciptakan konflik yang kuat, protagonis mereka tak seberapa menderita, dan besar kemungkinan mereka lebih cocok di surga.

Tayangan pertama yang muncul di layar: seorang lelaki tua sendiri di tengah laut, di atas perahu kayu. Ia sedang mengikat seekor ikan marlin besar ke tubuh perahu, ikan marlin yang setara perahu itu sendiri, dan sirip-sirip hiu terlihat mendekat, mengitari perahu si Lelaki Tua yang mulai panik. Gambar diambil dari sudut yang tinggi, seolah dari CCTV yang melayang di udara. Fixo segera mengenali si Lelaki Tua: Ernest Hemingway. Napasnya tertahan—begitupun napas para penulis lainnya. Ia menyukai Hemingway, dan karena Lelaki Tua dan Laut-lah ia mulai belajar menulis, dan sekarang ia melihat penulis itu dihukum di neraka, neraka yang Hemingway ciptakan sendiri untuk protagonisnya. Hemingway mengambil sebatang harpun dan menusuk-nusuk permukaan laut, tapi hiu-hiu tak kunjung pergi. Seekor hiu mulai menancapkan gigi-geligi ke tubuh marlin raksasa, Hemingway mengarahkan mata harpun ke mata hiu tersebut—tiba-tiba seekor hiu lain melompat dan menerkam Hemingway ke laut.

Fixo dan para penulis lain menjerit ketakutan—laut segera memerah. Fixo ingin muntah. Fixo ingin berlari keluar studio dan mencari toilet. Tapi ia tak bisa berdiri: entah sejak kapan sebatang besi membelitkan dirinya ke kursi. Para penulis lain di kiri-kanannya pun sama: mereka baru menyadari keberadaan sebatang besi itu; mereka meronta-ronta dan tetap tak bisa melepaskan diri; semakin Fixo memberontak, besi itu semakin panas dan melelehkan kulitnya. Para hiu tak lagi peduli pada marlin raksasa; mereka memperebutkan tubuh Hemingway. Fixo muntah ke pangkuannya sendiri. Para penulis lain pun sama. Dan jeritan-jeritan memekakkan kupingnya. Fixo ingin menutup telinga tapi tangannya tertahan belitan besi. Dan semakin ia berusaha memejam, semakin lebar terbuka kelopak matanya; semakin ia berusaha menunduk, semakin kaku batang lehernya; maka ia terus melihat Hemingway terkoyak gigi-geligi para hiu.

Dan tayangan segera berganti:

Seorang pria sedang tidur telentang sendiri di kamarnya. Mendadak bagian-bagian tubuhnya berubah satu per satu: tubuhnya membulat-mengeras, tangan dan kakinya memanjang serta meruncing ujungnya seperti mata tombak, lalu tumbuh sepasang lagi tombak serupa dari kedua sisi samping perutnya, dan sepasang antena mencuat dari pelipisnya, dan tumbuh yang lain-lainnya lagi, begitulah seterusnya: sempurnalah pria itu menjadi seekor serangga besar menjijikkan. “Kafka!” seorang penulis berteriak, dan ia menangis meraung-raung, tapi ia tak akan bisa mengubah apa pun. Beberapa saat kemudian, setelah lebih banyak penulis yang menjerit ketakutan, bahkan ada yang pingsan—dengan mata menganga lebar—setelah Kafka si Serangga Besar Menjijikkan akhirnya mati karena gagal meyakinkan keluarga untuk menerimanya, tayangan berganti lagi.

Mereka dipaksa menyaksikan Shakespeare menenggak racun; mereka dipaksa menyaksikan Akutagawa terjebak dalam dunia Kappa; Orwell dikoyak-koyak para anjing di sebuah peternakan; dan tak hanya para penulis fiksi dalam bentuk karya sastra, di layar terlihat hukuman para penulis skenario film fiksi terbaik: Stanley Kubrick terjebak dalam Overlook Hotel dan harus menyelamatkan diri dari Jack Torrance yang berlari ke sana kemari membawa kapak; Akira Kurosawa harus mengalahkan para samurai jahat sendirian di tengah gurun yang panas; Tobe Hooper harus menahan sakitnya perut yang dibelah dengan gergaji mesin oleh Leatherface—Fixo dan siapa pun penulis di studio itu menyesal: harusnya mereka tak menjadi penulis fiksi.

Tapi semua sudah terlambat bagi mereka. (Sedangkan sekarang belum terlambat bagimu.)

Setelah diteror dengan tontonan, dimulailah pertunjukkan sesungguhnya: lantai studio bergetar dan retak dan pecah, lalu semua penulis itu terjun bebas bersama, namun mereka tiba di tempat berbeda-beda.

***

Seperti yang kukatakan sebelumnya: novel ketiga Fixo mendapat penghargaan sastra nasional. Judulnya Cinta dan Puisi yang Berbahaya. Hukuman yang ia peroleh akan berdasarkan konflik utama di dalam novel tersebut.

Protagonis dalam novel itu adalah F, seorang remaja SMA culun yang baru pertama kali jatuh cinta, dan ia bertekad menulis puisi cinta pertamanya untuk perempuan yang dicintainya: seorang teman sekelas. Puisi itu berjudul Cinta adalah Mesiu yang Tersulut. Ia menyelesaikannya dalam tiga hari, setelah dua hari pertama ia habiskan untuk memikirkan cara menjadikan bubuk mesiu sebagai metafora bagi cintanya. Setelah puisi selesai, ia mencetaknya sebanyak sebelas lembar dan menempelkannya di mading, dinding kantin, dinding kelas, di titik mana pun yang sangat mungkin terlihat oleh pujaan hatinya. Esoknya F langsung menjadi buronan pemerintah. Sungguh absurd, memang. F tak pernah terpikir bahwa, dengan menggunakan bubuk mesiu sebagai metafora, mata-mata pemerintah yang menyamar menjadi guru di SMA itu tersinggung, ia pikir F sedang membicarakan penembakan para demonstran.

Setelah Fixo terjun dari studio bioskop, ia mendapati dirinya terikat di ruang interogasi, persis apa yang F alami setelah mendadak dibekap dari belakang dalam perjalanan pulang sekolah. Si Interogator mengisap panjang rokoknya, mematikan baranya di asbak, dan menyiagakan tongkat bisbol yang pernah menghancurkan lebih dari sepuluh kemaluan. Bagaimana cara Fixo mengakhiri hukumannya? Ia harus melarikan diri dari ruang interogasi, dan kabur dari negara itu bersama perempuan yang dicintainya, persis tujuan dari protagonis di novelnya. Apa yang terjadi jika Fixo gagal menyelesaikan konfliknya? Dunia Fixo akan mendadak gelap, dan sesaat kemudian ia akan kembali berada di titik awal adegan dalam hukumannya: terikat di ruang interogasi. Hal ini berlaku juga untuk Hemingway dan Kafka dan siapa pun penulis fiksi yang masuk neraka.

Jadi, bagaimana? Masih berminatkah kau menjadi penulis fiksi?

Untuk lebih meyakinkanmu memilih cita-cita lain, mari kita lihat nasib Fixo selanjutnya: ia berhasil kabur dari negara bersama peremuan yang dicintainya. Tujuannya tercapai. Apakah ini akhir dari hukumannya? Belum. Hukuman selanjutnya: ia akan reinkarnasi, dan bernasib serupa atau mendekati protagois dalam fiksinya. Kami memutuskan membuat Fixo terlahir dengan nasib mirip G, protagonis dalam novel keduanya yang berjudul Aku Bungkam, Maka Aku Menulis.

G terlahir di keluarga miskin dalam keadaan bisu, dan ia ingin membicarakan banyak hal, dan ia memutuskan untuk belajar menulis secara serius. Kelak G dikenal sebagai salah satu penulis fiksi terbaik di negaranya—penulis fiksi paling berbahaya dan dikejar-kejar para pembunuh bayaran.(*)


Penulis:

Surya Gemilang lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015), Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), dan Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2020). Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Suara NTB, Bali Post, Riau Pos, Rakyat Sumbar, Medan Bisnis, Basabasi.co, Litera, Tatkala.co, dan lain-lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *