Puisi Fahrus Refendi
“Tapi mataku yatim, Paduka! Semua yang terpandang, hanya tirai hitam belaka.”
“Naiklah ke damai punggungku, sebab tulang-tulangku disapih dari langkah sapi karapan.”
“Tapi mataku yatim, Paduka! Semua yang terpandang, hanya tirai hitam belaka.”
“Naiklah ke damai punggungku, sebab tulang-tulangku disapih dari langkah sapi karapan.”
Meskipun hadir sebagai terminologi dalam dunia komunikasi berkaitan dengan kecakapan mengolah, merespons, hingga mendayagunakan emosi dalam diri manusia, baik secara personal maupun komunal, pathos memiliki tempat dan pengertian tersendiri dalam dunia cerita. Dalam dunia kepenulisan naratif, phatos adalah luka lama yang mengaliri darah karakter atau subjek.
Apa yang mesti dimiliki perempuan yang ingin berkiprah dalam dunia tulis menulis di paruh awal abad 20-an? Pertanyaan ini akan langsung terbayangkan jawabannya manakala kita mengingat satu kuliah Virginia Woolf di hadapan mahasiswi Cambridge yang kelak kita baca dalam buku berjudul A Room of One’s Own (1929). Dalam ceramah itu, Woolf setidaknya menggarisbawahi bahwa bagi perempuan, ruang dan finansial diperlukan untuk menghasilkan mahakarya-mahakarya terbaik.
Meskipun tidak pernah ada balasan, lebih-lebih kepulangan seseorang, Kuning tetap menulis surat dan mengirimnya ke beberapa alamat. Tetangga-tetangga perempuan memandangnya dengan kasihan. Sebagian besar memberikan wejangan. Tapi tidak ada yang berakhir mempan.
“Ular Berbisa dan Buah Delima” merupakan kumpulan cerita dari Asia-Afrika. Penyusun dan penerjemahnya, Sang Paus Penerjemah Indonesia, Anton Kurnia, tak terbantahkan keunggulannya. Kumpulan ini memuat 30 cerita karangan penulis berkaliber dunia.
Apa jadinya jika dunia ini tidak lagi membutuhkan puisi?
masih nyaring suara lagu itu:
begadang jangan begadang
kalau tiada artinya*