Cerpen
Kereta di Lembah Hening

Kereta di Lembah Hening

Kata orang-orang di sini, kelak kita akan menaiki sebuah kereta. Dan di kereta itulah kita akan diperlihatkan seluruh petualangan yang akan kita jalani, untuk kemudian memudar, menemaram, dan ingatan-ingatan yang baru saja bermukim di kepala tetiba menghilang begitu sampai di perhentian.

“Aku seorang pembunuh bayaran”, kata Pak Bin.

Demikian dia meminta disebut. Di sini, kami tidak memiliki nama. Wajah kami pun hampir mirip semua. Bukan kembar. Hanya saja menurutku kami semua di sini memiliki garis wajah yang sama. Barangkali yang nampak jelas berbeda hanya jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki. Begitu kami menyebutnya. Bin pun memperkenalkan dirinya dengan panggilan ‘Pak’, panggilan untuk lelaki yang lebih tua katanya. Sebab menurutnya, wajahku seperti usia 30 tahunan sedangkan petualangan yang ditempuhnya hampir menyentuh angka 80 tahun. Ya, Pak Bin merupakan salah satu orang yang sudah pernah naik kereta itu dan kembali lagi ke sini.

Semua orang akan naik kereta itu. Kapan? Entahlah, di sini kami hanya menunggu. Lembah Hening, begitulah kami menyebutnya. Sederhana, sesuai makna dan fungsinya: tempat menunggu yang luasnya tak tergapai jangkau mataku. Lembah Hening ini dikelilingi dinding yang sangat tinggi. Bagian bawah dinding terdapat pintu-pintu yang jumlahnya tak bisa diterka. Di pintu-pintu itulah mereka yang sudah kembali dari petualangan kemudian tinggal. Biasanya, orang-orang seperti Pak Bin, maksudku mereka yang sudah kembali dari petualangannya, akan menyendiri di ruangannya masing-masing. Mereka yang sudah kembali dari petualangannya akan diberikan ruangan pribadi. Tidak seperti kami yang berhamburan di Lembah Hening.

Banyak matras kecil di tempat ini. Tentu saja sudah memiliki tuannya masing-masing. Letaknya tak beraturan, tergantung kemana tuannya membawa dan menggelarnya. Ada juga beberapa bangku panjang dan beberapa tanaman bunga berwarna putih dan hijau. Banyak dari kami bercengkerama di bangku-bangku itu. Berbicara hal-hal mengenai rasa penasaran mereka terhadap kisah kereta yang melegenda. Sesekali Pak Bin juga keluar dari ruangannya untuk sekadar duduk dengan pandangan yang entah melihat apa. Dari Pak Bin inilah aku mendapatkan banyak cerita-cerita tentang tempat ini dan kereta yang harus kami naiki.

Menurut Pak Bin, apa yang dia saksikan saat di kereta itu sama persis dengan yang dia alami selama melakukan petualangan. Anehnya, katanya lagi, saat kita tiba perhentian, ingatannya mendadak hilang. Namun, setelah kembali lagi ke sini, dia memiliki dua ingatan yang sama persis, yakni ingatan tentang petualangan yang ia saksikan di kereta dan ingatan tentang petualangan yang ia jalani. Dua ingatan yang melahirkan dua perasaan: penasaran dan penyesalan.

***

Tidak ada persiapan apa-apa demi menaiki kereta itu. Pak Bin pun tak pernah berpesan apa-apa mengenai ini. Kami hanya harus menunggu. Siapa yang meminta kami semua menunggu di sini? Entahlah aku sendiri tidak ingat. Ingatanku yang paling jauh hanyalah ketika aku bangun di ruangan ini dan entah mengapa aku merasa harus menunggu di sini. Entah menunggu apa. Hingga aku sedikit demi sedikit tahu dari obrolan-obrolan orang-orang di sekitarku.

“Benar dan salah hanya ada di sini, Nak. Saat kau di sana nanti, mana kau tahu yang benar dan yang salah. Yang kau tahu nanti hanya alasan atas tidakan yang telah kau lakukan. Orang-orang di sana menyebutnya pembenaran,” kata Pak Bin saat aku menanyakan tentang jalan petualangannya yang menjadi seorang pembunuh bayaran itu merupakan pilihan yang salah.

Seharusnya dia bisa menghindari hal tersebut. Aku tak pernah tahu sebab dan akibat petualangannya sebagai pembunuh bayaran. Aku tak pernah menanyakan hal tersebut sebab setiap ku tanyakan padanya berakhir diam dan buih basah di sudut matanya. Ada sesal di sorot matanya yang ku tebak baru ia sadari setelah ia turun dari kereta dan kembali bermukim di balik pintu itu. Menutup diri rapat-rapat dan mengawani kesunyian senyap-senyap.

Seringkali aku melihat Pak Bin menyaksikan rekam jejak petualangannya pada layar monitor di depannya. Dari situ aku tahu ternyata setelah kembali dari kereta itu, setiap hari kita akan dipertontonkan kembali masa-masa sewaktu kita melakukan petualangan. Hampir pasti saat aku melihat Pak Bin di depan monitor, dari kedua sudut matanya meleleh air kesedihan. Sorot matanya nampak disesaki penyesalan sebab saat dia di sini, semua jadi masa lalu yang terbingkai pada sudut kamar di kepalanya yang kerap ia tangisi sepanjang hari.

“Bagaimana mungkin kita bertanggung jawab atas kejadian-kejadian yang harus kita jalani dan kita tidak bisa hindari? Apakah semata-mata hanya karena kita yang kebetulan mengalaminya, kemudian kita juga yang didakwa?”

Pak Bin tersenyum diam mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutku. Matanya memandangku seakan berkata bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang pernah menanyakan ini. Bagiku sangat tidak masuk akal. Seharusnya orang-orang punya pilihan. Seharusnya saat di kereta, Pak Bin memiliki kesempatan untuk menolak atau menyetujui jalan petualangan yang akan dijalani. Atau bahkan sebaiknya tidak perlu ada SOP yang mengharuskan kita menyaksikan petualangan yang akan kita jalani. Petualangan yang seru itu dimulai dengan ketidaktahuan dan dihadapi dengan rasa penasaran.

Aku yakin Pak Bin tidak akan mau menjalani petualangannya sebagai seorang pembunuh bayaran. Tidak ada yang mau. Entah bagaimana kami tahu, tapi kami bisa membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Dan pembunuh bayaran tentu saja bukan hal yang baik, bukan? Tetapi pilihan tidak tersedia dan semua katanya sudah ditetapkan dan tidak bisa diubah.

“Banyak hal-hal yang tidak kau mengerti, Nak. Kelak di sana kau akan belajar banyak hal. Tentang apa yang disimpulkan manusia mengenai ketiadaan dan penciptaan. Kau akan belajar mengenai alasan dan sudut pandang, terlepas dari mana yang benar dan mana yang salah,” lanjut Pak Bin yang lantas berjalan menuju pintunya

Aku tak begitu memahami apa yang dibicarakan Pak Bin barusan. Entah mengapa aku tidak menanggapi lagi pernyataannya barusan. Seperti aku setuju-setuju saja dengan kata-kata Pak Bin. Namun, di sudut paling dalam di diriku ini aku menantikan petualangan dan aku pasti bisa membuat pilihan atas apa yang aku jalani nanti. Persetan dengan tayangan yang akan diperlihatkan di kereta.

Pak Bin menatapku lamat-lamat sebelum menutup pintu ruangannya. Ia melemparkan senyum yang tak sempat kutangkap. Pintunya tertutup. Lalu aku berjalan ke arah di mana matrasku tadi kuletakkan.

***

Aku terbangun di peron sebuah stasiun yang seluruh bangunannya berwarna putih. Semua putih. Tembok, lantai, hingga rel kereta pun berwarna putih. Dan, nah, kereta yang baru saja datang juga berwarna putih. Seseorang turun dari salah satu gerbong. Aku tak memperhatikan wajahnya. Bukan, bukan karena dia tidak memiliki wajah, tetapi entah mengapa mataku mengabaikan wajahnya. Lantas ia memberi isyarat dengan tangannya supaya aku segera menaiki kereta. Dibimbingnya langkahku ke tempat duduk yang disediakan di dalam gerbong kecil yang ternyata setiap gerbong hanya diperuntukkan untuk satu orang saja.

Aku duduk di sofa yang terlihat sangat nyaman. Ah, ternyata memang nyaman sekali. Seseorang tersebut melakukan tugasnya tanpa bicara. Sebuah benda yang aku tidak tahu namanya dilekatkan di kepala dan telingaku. Sebuah benda lagi ia pakaikan juga menutup kedua mataku seutuhnya. Tetiba semua hening dan gelap. Tak lama sebuah cahaya muncul di pandangku. Suara-suara mulai melantang di telingaku. Bibirku melancarkan senyum yang kemudian menghilang beberapa saat kemudian.(*)

Magelang, Juli 2022


Penulis:

Anindita Buyung lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, serta antologi bersama. Penulis bisa ditemui melalui akun instagram @aninditabuy dan surel [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *