Resensi Buku
Membaca Kemungkinan Lain Tentang Kematian Transenden

Membaca Kemungkinan Lain Tentang Kematian Transenden

Judul Buku    : Buku Tipis untuk Kematian
Penulis            : Isbedy Stiawan ZS
Penerbit          : Basabasi, 2021 
Tebal              : 64 halaman 
ISBN               : 978-623-305-240-5

Terlepas dari kehendak sendiri, manusia mesti mati. Sebab kematian adalah keniscayaan. Bahkan, dalam sejarah manusia, tercatat sebagai satu wacana universal yang tidak lepas dari segala bentuk keruntuhan, kekalahan, hingga keputusasaan.

Celakanya, dalam peristiwa kematian, tidak hanya berhenti pada pelepasan ruh saja. Sebab cara kerja kematian berpotensi memunculkan semacam perasaan destruktif yang tidak asing bagi angan-angan manusia: kehilangan. Lebih pilu lagi, jika kehilangan tersebut mesti direguk secara kolosal.

Hal itu sama seperti pada masa pandemi Covid-19. Dalam kurun waktu dua tahun ke belakang (2020-2021), kita semua tahu, virus tersebut menjangkit jutaan manusia sehingga berita kematian meluber menjadi statistik dengan nilai sampai miliaran. Bahkan, ruh yang melekat di dalam tubuh manusia, layaknya layang-layang dengan benang yang rapuh.

Bayangkan, saban hari pada masa itu, adalah peristiwa sakaratul maut, dengan segala kemuraman sekaligus kehilangan. Dan kita, seperti tidak diberi kesempatan untuk sejenak menenangkan dan melepaskan diri dari duka dan kekhawatiran.

Di tengah kecemasan realitas tersebut, Isbedy Stiawan ZS adalah salah satu penyair yang turut berduka atas kematian salah satu dari keluarganya akibat terinfeksi Covid-19. Hingga sepanjang masa (kedukaan) itu, adalah ruang bagi dirinya untuk kembali melihat, membaca, dan merenungi tentang kematian. Pada akhir tahun 2021–bersama dengan tekanan kondisi masa pandemi yang masih pasang surut–hasil dari permenungan tersebut akhirnya berbuah menjadi puisi-puisi yang terhimpun dalam buku dengan judul Buku Tipis untuk Kematian (Basabasi, 2021).

Ketika saya baru membaca catatan pengantar dan beberapa puisi dalam buku itu, rupanya puisi-puisinya bisa menjadi upaya ziarah serta taburan bunga-bunga secara kolektif bagi orang-orang yang telah melepaskan embus napas terakhirnya.

Selain itu, buku puisi tersebut juga menjadi pantulan antar napas, detak jantung, dan harapan, yang menukil kesadaran kita bahwa seonggok tubuh yang hidup, tiada satu pun lepas dari kematian. Saya kira, pernyataan itu pula yang mungkin menjadi medan puitik sekaligus tematik dalam puisi-puisi Buku Tipis untuk Kematian.

Seperti judulnya, bukunya memang tipis, dengan ketebalan tidak lebih dari 64 halaman. Tapi dengan buku setipis itu, Isbedy sengaja menyusun puisi-puisinya sebagai ruang sunyi untuk mengingat, atau bahkan membicarakan kembali peristiwa kematian melalui relung yang lebih puitik: menjajaki makna kematian yang begitu transenden untuk kemudian ditebus oleh diri kita sendiri secara kontemplatif.

Tidak hanya itu, dalam buku puisi tersebut, Isbedy sebagai penyair–melalui perhitungan jarak kematian yang lebih dekat ketimbang denyut nadinya sendiri–juga melontarkan perihal pertanyaan tentang kematian: Apa itu kematian? Di manakah letak kematian? Seperti apakah bentuk kematian? Bagaimanakah kematian bekerja?

Berangkat dari pendekatan pertanyaan-pertanyaan itulah, maka dalam puisi-puisinya, Isbedy, tidak hanya menyoal kematian pada peristiwa pandemi Covid-19 saja. Tapi juga menjadikan tendensi puisi-puisinya berbicara kematian secara universal. Dan barangkali karena perihal itu juga, ia berusaha memanfaatkan bahasa-bahasa yang lebih dekat dengan kita seperti “tubuh”, “napas”, dan “kematian”, yang dari ketiga diksi tersebut saling berkelindan dalam kontinuitas kehidupan: kelahiran dan kematian.

Memang, kematian, sedari dulu menjadi persoalan dasar yang tidak lepas dari permenungan penyair. Hal itu sangat nampak, ketika saya membaca satu puisi Isbedy yang berjudul Tiga Puisi untuk Kematian, saya malah jadi teringat dengan potongan larik dalam puisi lain dengan judul Sajak Kecil, yang pernah ditulis oleh Umbu Landu Paranggi: hidup takkan pernah aman/ kapan dan di mana pun/ selamanya terancam bahaya//.

Jika ditarik melalui sudut pandang kematian, potongan larik tersebut jelas menjadi sebuah implikasi nasib antara hidup dan mati. Juga sekaligus memberikan pantulan yang melenting secara implisit bahwa “kematian” adalah kenyataan yang konkret, kadang mencekam, tapi juga yang seringkali mengkhawatirkan.

Berbeda dengan puisi tentang kematian yang ditulis oleh Hasan Aspahani (Seperti Mandi yang Terakhir Kali), atau satu puisi Sapardi Djoko Damono (Tuan), yang memang keduanya menggambarkan kematian sebagai peristiwa impresif yang lumrah dan jenaka.

Namun dalam puisi-puisi Isbedy, justru sebaliknya. Ia, seperti puisi yang ditulis Umbu, memandang “kematian” sebagai bentuk personifikasi layaknya pisau yang memburu seonggok tubuh. Dan pisau tersebut bisa saja menikam tanpa melihat batas ruang dalam rentang jarak, waktu, ataupun angka usia. Isbedy menulis: catatan yang terselip/ di halamanhalaman buku// halaman tiada nomor/ angka yang tak terbaca// : di mana kau mau?// (Tiga Puisi untuk Kematian).

Lalu Isbedy pun mengira-ngira keberadaan kematian yang mungkin bisa saja terletak di sebuah tempat atau ruang tertentu, misalnya: …di buku pelajaran,/ gambar atau lukisan,/ bahkan di kitab agama// (Letak Kematian).

Dan ketika saya masih membaca lanjutan dari puisi Letak Kematian, saya membayangkan Isbedy sebagai seorang penyair, saat sedang menulis puisi ini, ia seakan berhenti sejenak di satu bait, lalu membiarkan napas berembus dan lepas. Jantung berdetak dan pelan. Dan ia menyadari letak kematian ternyata: …di dalam tubuhku.

Larik yang menjawab letak kematian tersebut kemudian menjadi kesadaran bagi Isbedy secara personal, juga bagi pembaca, dan bagi semua manusia seutuhnya, bahwa ketika pandemi muncrat, menjangkit, merajalela, bahkan mencuatkan kecemasan yang berlebihan. Ternyata kematian tidak terletak di kota yang semakin sepi karena pandemi. Tidak terletak di rumah sakit yang berisi orang-orang sakit terinfeksi. Juga tidak terletak di dalam kantor, sekolah, atau mall. Melainkan di dalam tubuh kita sendiri. Sebab, kematian setipis kulit atau dekatnya kurang seinci dari urat di leher.

Lebih jauh lagi, puisi-puisi Isbedy, secara tidak langsung telah membentuk kematian sebagai subjek imajiner, bahwa kematian adalah sosok. Hal itu terlihat jelas dalam Tiga Puisi untuk Kematian, Letak Kematian dan mengakrabakrabkan kematian.

Tapi puisi mengakrabakrabkan kematian, sepertinya menjadi babak bagi Isbedy dalam menyimpulkan segala risalah kematian. Ia menulis: aku wirid dan berenang/ di laut lepas halaman quran/ kubacabaca ihwal kematian/ yang begitu karib dengan suaraku./ lebih akrab daripada urat di napasku; Tuhan//.

Tentu dari puisi tersebut, ia semakin memahami, pada dasarnya sakaratul maut begitu akrab dengan gerak tubuh kita sendiri. Selain itu, peristiwa tersebut juga tidak hanya sebagai sesuatu yang-pergi, tapi juga sesuatu yang-pulang. Dan di sinilah, puisi-puisi Isbedy dapat dikatakan menjadi daya tarik secara optimis: melepaskan kecemasan-kecemasan kematian yang-gelisah, untuk kemudian diterima dengan perasaan yang-tenang.

Oleh karena itu, alih-alih menampakan ketajaman sosok kematian, dalam puisi-puisinya, Isbedy justru menetralisir hakikat kematian dan kehilangan itu sendiri. Mengapa begitu? Sebab puisi-puisi dalam Buku Tipis untuk Kematian telah menjadikan makna “kematian” tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Tidak lagi menjadi teror yang bermain antara ancaman, harapan, dan kehilangan. Melainkan menjadi sebuah jalan transenden untuk kembali pulang kepada pemilik harapan: Tuhan. []


Penulis:

Saefudin Muhamad. Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club. Pernah menjadi Editor di salah satu penerbit. Saat ini menjadi pengajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *