Resensi Buku
Perjalanan Penulisan Pram dan Sudut Pandang Eka Kurniawan

Perjalanan Penulisan Pram dan Sudut Pandang Eka Kurniawan

Judul     : Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis
Penulis    : Eka Kurniawan
Penerbit  : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Kedua (cover baru) Januari 2022
Tebal     : 211 halaman
ISBN   : 978-602-06-5763-9

Puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1997, Eka Kurniawan dipinjami oleh seorang temannya sebuah novel yang berjudul Bumi Manusia. Pembacaan inilah yang mengantarkan Eka Kurniawan berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dengan judul skripsi Realisme Sosialis  Pramoedya Ananta Toer (sebuah tinjauan filsafat seni). Tugas akhir tersebut selanjutnya diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 1999 oleh Yayasan Aksara Indonesia. Tiga tahun setelahnya, buku ini kembali diterbitkan untuk yang kali kedua oleh Penerbit Jendela dengan beberapa perubahan minor. Setelah penerbitan yang kali kedua ini, Eka Kurniawan menahan dari penerbitan ulang untuk mencari sudut pandang baru dari sumber-sumber yang lebih relevan. Atas usaha panjang dalam melakukan revisi tersebut, akhirnya pada tahun 2006 buku ini kembali diterbitkan untuk yang kali ketiga oleh Penerbit Gramedia. Tepat ketika naskah hendak diantar ke meja editor, kabar duka tentang kepergian Pram datang, pada tanggal 30 April 2006. Buku yang diberi judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis ini seolah menjadi hadiah perpisahan untuk sang maestro kesusastraan.

Kisah dalam Ruang Kreatif Pram dan Hal-Hal yang (mungkin) Belum Diketahui darinya
Blora sebagai tanah kelahiran Pram nyatanya memiliki ruang tersendiri di hati Pram. Terbukti dari beberapa karyanya yang menampilkan latar geografis kota tersebut, seperti Cerita dari Blora; Perburuan; dan Bukan Pasar Malam. Di dalam sebuah cerita pendek yang berjudul Sunat dalam kumpulan cerpen Cerita dari Blora, Pram seolah sedang menceritakan dirinya sendiri saat masih berusia sembilan tahun sebagai anak yang sedang mengaji di langgar bersama teman-teman sebayanya (halaman 22). Selain menulis tentang kisah masa kecilnya, Pram juga menulis tentang neneknya dari pihak ibu lewat sebuah roman yang berjudul Gadis Pantai. Sayangnya roman itu dapat dianggap sebagai roman ‘yang tak pernah selesai’, sebab Gadis Pantai merupakan roman pertama dari trilogi yang telah diselesaikan oleh Pram. Sementara dua naskah sisanya hilang entah ke mana ketika huru-hara 1965. Dua naskah tersebut kabarnya dirampas, lalu dibakar dan belum sempat dikirimkan ke penerbit.

Rahasia kecil yang (mungkin) tidak diketahui oleh banyak orang adalah sehebat-hebatnya Pram, ia tetap sebagaimana anak-anak kecil di usianya saat masih muda. Eka Kurniawan dalam catatan kakinya yang dikutip dari A. Teeuw mengungkapkan bahwa Pram kecil pernah berniat minggat dari rumah gegara dicubit dan dipukul sang ibu, namun hal itu selalu urung dilakukan karena pram kecil tidak pernah berani merealisasikannya (halaman 29). Sang Ibu meninggal pada tanggal 3 Juni 1942 sebab penyakit TBC yang telah lama diderita. Kepergiannya membuat Pram menjadi pencari nafkah utama sebagai anak laki-laki sulung. Tepat pada usia yang ketujuh belas, Pram dan adiknya memutuskan meninggalkan Blora untuk memulai babak baru di Jakarta. Selama di Jakarta, Pram berusaha meninggalkan tradisi bahasa Jawa menuju bahasa Indonesia logat Melayu. Usaha ini bukan semata-mata gegara posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau memperbesar kemungkinan tulisannya dibaca orang banyak, tetapi lebih karena sifat masing-masing dari bahasa itu sendiri. Bahasa jawa sangat kental dengan tradisi feodalisme, sedangkan Pram sangat tidak suka dengan kelas-kelas dalam masyarakat. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai bahasa tanpa kelas, tanpa mendiskriminasikan gender. Atas dasar inilah Pram memilih mengubah cara berbahasanya (halaman 31).

Lewat bahasa Indonesia, Pram terus menulis dan menulis tiada henti. Satu alasan unik yang membuat Pram memilih untuk menulis adalah karena ia merasa kurang percaya diri. Kekurangpercayaan diri itulah yang membuatnya tidak bisa mengungkapkan gagasan di hadapan teman-teman sebayanya, sehingga agar pendapatnya didengar oleh banyak orang, ia harus menulis. Usaha Pram dalam menulis dimulai saat ia menjadi juru ketik di Domei, kantor berita Jepang. Pram menambah wawasan dengan membaca pelbagai informasi yang masuk ke meja redaksi, hingga ia memberanikan diri untuk menulis dan mengirimkannya ke koran Pemandangan. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya, tak ada satu tulisan pun yang dimuat (halaman 33). Lewat pengalaman pertama Pram, setiap calon penulis harus belajar sekaligus sadar bahwa penolakan adalah hal yang lumrah. Setiap penulis besar memulai karier kepenulisannya dengan penolakan dari media, kurang lebih seperti itu.

Sosok Pram bagi Eka
Setelah menelusuri karya-karya Pram, Eka Kurniawan menyimpulkan bahwa Pram cenderung tidak menempatkan karya-karyanya dalam cita-cita atau semboyan yang terlalu muluk, sebab yang terpenting menurut Pram adalah kebangkitan kesadaran masyarakat (pembaca) tentang tanggung jawabnya sebagai manusia yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran (halaman 12). Sebuah ciri khas dari karya sastra realisme sosialis yang menempatkan karya seni sebagai media yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat. Eka juga menambahkan bahwa Pram mengingatkannya pada sosok Tan Malaka, seorang pejuang gigih yang kesepian, namun tetap setia terhadap hal yang diyakini sejak lama. Pram dengan realisme sosialisnya telah mengikuti sosok Lu Hsun, sosok yang realis dalam berpikir sekaligus bertindak. Tak boleh ketinggalan, Pram juga telah mengikuti sosok Maxim Gorky sebagai ‘gurunya’ lewat petuah legendarisnya yang berbunyi, “The People Must Know Their History.” Semuanya utuh menjadi satu keyakinan yang mencakup kebenaran, keadilan, dan keindahan (halaman 183).

Sebagai edisi revisi, cukup disayangkan saat ditemui beberapa salah ketik dan kemubaziran penggunaan kata. Sebut saja seperti frasa [generasi mua] yang seharusnya [generasi muda] pada halaman 144. Sementara kemubaziran kata dapat ditemui pada kalimat ‘Akan tetapi, dalam Pramoedya, Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke……’ (halaman 11-12). Seharusnya kata Pramoedya tak perlu disebutkan, cukup seperti ini ‘Akan tetapi, dalam Tetralogi Buru tak hanya merupakan kisah mengenai Minke ……’ Akhir kata, kehadiran buku ini adalah bukti bahwa Pramoedya telah tertawa bahagia di alam yang berbeda. []


Penulis:

Akhmad Idris. Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Seorang lelaki pecinta wanita, tetapi bukan buaya; sebab tiada kesalahan dalam mencintai. Seorang lelaki yang mencintai dunia kepenulisan, meskipun tulisan-tulisannya biasa-biasa saja. Dapat dihubungi di 082139374892 (akun gopay) dan 089685875606 (WA), fb Akhmad Idris, dan ig @elakhmad & @wnkuri_official. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *