Cerpen
Setengah Badan

Setengah Badan

UNTUK para pembaca yang bijak, dan memiliki waktu serta perasaan yang sama, sudilah kiranya kalian mendengarkan kisahku ini yang sengaja kutuliskan dalam bentuk gubahan pendek, kisah dari putri seorang kaisar Hong Gie dari negeri TarTar yang memutuskan untuk tinggal di tanah Jawa, semata karena kecelakaan yang dilakukan oleh ayahku sendiri.

Jabang yang ada di perutku ini adalah bentuk dari keteledoran manusia dalam memandang manusia lain yang belum dikenalnya, satu hal juga yang kalian harus tahu mengapa aku memutuskan tinggal di tanah Jawa selain memperjuangkan ayah dari jabang yang aku kandung ini, harus kuakui, diam-diam juga aku menyukai Tabib Sakti dari tanah Jawa itu.

Tabib Sakti yang dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah itu sungguh tampan dan gagah, perbawanya yang dapat melunakkan hati membuatku semakin mencintainya. Dengan pakaian padang pasirnya, hatiku dibuat sejuk dalam setiap kupandangi. Badannya tinggi tegap, hidungnya mancung lazimnya keturunan orang-orang Timur, bahunya juga kuat, seperti mampu menghadapi segala macam ancaman di dunia ini dan melindungiku, suaranya halus dan berat, dalam setiap ucapanya, seperti siapapun akan terpengaruh kepadanya. Pancaran auranya sungguh sangat luar biasa, begitulah yang aku dapat liat sewaktu masih di negeriku.

Aku mengerti, jabang yang ada di dalam perutku ini bukanlah hasil dari perkawinannya denganku, kita masing-masing belum mengenal, tapi apa yang aku rasa saat itu setelah mengagumi dirinya, ditambah dengan adanya kejadian ajaib itu, pikirku sekalian saja aku memaksa untuk menikahiku dengan dalih jabang dalam perutku ini hasil dari ucapannya yang sembarang.

Aku juga mengerti, tindakanku ini adalah tindakan yang tidak baik, aku malu dengan apa yang telah diperbuat ayahku sendiri kepadanya. Tapi untunglah dia adalah orang yang arif lagi bijaksana, hanya orang yang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi seperti dialah yang mampu menerima pengecut sepertiku ini. Setelah aku berlabuh di daerah yang tak jauh dari kediamannya bersama ratusan pasukanku, para pembesar yang sengaja dirikim ayahku untuk mendamipingiku untuk mengatakan lamaran dariku yang terlanjur mengandung ini kepadanya. Dengan berat hati aku melihat, Ia menerimaku.

Maka saat usiaku kini telah menua dan rapuh, di kamar Bangsal Permaisuri yang sangat khas kemewahan ala bangsa Timur itu, aku menuliskan gubahan ini secara diam-diam dan mengalir.

***

Namaku Ong Tien, Putri dari negeri TarTar, orang-orang sekitar sering memanggilku Putri Ong Tien, mereka tampak senang ketika menyapaku, hal itu karena selain aku Istri dari Junjungannya tapi mereka juga senang menyapa dan bergaul denganku lantaran kulitku yang putih membuat mereka tampak kagum. Orang-orang Pribumi memang banyak yang menyukai kulit putihku, tampaknya mereka selalu keheranan dengan kulit manusia yang seputih kulitku, jika dibandingkan dengan kulit mereka, aku memang tampak paling bersinar sendiri diantaranya.

Di taman halaman rumah tempat orang-orang biasa kumpul sore ataupun pagi hari aku selalu senang duduk bergaul dengan mereka, untuk sekadar mengobrol dan bercanda tentang kulit putihku. Terkadang mereka mencadaiku dengan mengatakan kalau aku adalah anak dari Kerajaan Bulan yang bersinar di malam hari, atau mereka mengatakan aku adalah titisan Bidadari dari Kahyangan.

Tidak hanya di taman, di teras rumah yang disebut Keraton juga tak jarang mereka suka main menemaniku untuk sekadar membantu membuat nasi kuning atau bubur adat yang biasa disuguhkan untuk para tamu atau peringatan acara tertentu yang konon adalah sebuah pakem dari leluhurnya.

Jujur saja aku masih belum mengerti dan memahami agama yang mereka anut saat itu seperti apa. Akan tetapi sedikit aku pernah mendengar bahwasanya agama mereka adalah agama yang berasal dari negeri Timur, yang bernama agama Islam.

Sesekali aku juga diajak untuk memperhatikan dan melihat upacara-upacara adat yang dilangsungkan pada Keraton itu, aku duduk berdampingan dengan suamiku serta istri pertamanya. Aku melihat dia sangat mencintai istri pertamanya, tapi seiring berjalannya waktu, aku juga merasakan kalau dirinya juga mulai menyukaiku. Tak jarang, Ia juga suka menghampiriku ke kamar untuk sekadar mengajakku mengobrol atau bahkan menemaniku tidur di kamar layaknya suamiku seutuhnya, maka jika sudah seperti itu, meskipun hanya demikian, dirinya sudah mampu membuatku terbang. Ah.. Kang Mas Syarif, aku mencintaimu..

Kebahagianku juga tidak hanya sampai di situ saja, setelah Ia merasa mulai mencintaiku dan sering bersinggahsana dengan kedua istrinya dalam setiap acara Kesultanan, pada suatu malam ia berbicara padaku dengan setengah serius serta candaanya.

“Kau memang cantik, Putri.” Katanya sambil membelai halus rambut di telingaku.

“Aku sering mendengarnya dari para anak-anak serta ibu-ibu penduduk sini ketika setiap kali mereka main denganku, bisakah Gusti lebih membahagiakan istrinya tidak hanya dengan ucapan itu?” jawabku ketus butuh perhatian.

“Hahah.. Kau memang pandai membuatku kebingungan harus berbuat apa,”

“Begini saja, aku akhir-akhir ini senang melihatmu, aku senang memandang wajah yang ayu serta kulitmu yang cerah ini jika setiap kali kau bersanding denganku,”

“Lalu?” kutanya karena masih belum mengerti arah pembicaraannya.

“Kurasa aku harus memberimu julukan kepadamu, istriku dari negeri TarTar ini.” Katanya tampak bangga, “Ong Tien, sekarang kelak kau akan dikenal oleh masyarakatku dengan sebutan Nyai Laras Sumanding, yang berati Istri yang pantas untuk bersanding denganku.”

“Bagaimana, apakah engkau suka dengan nama baru itu?”

“Yahh.. Lumayan membuatku senang malam ini,” jawabku masih ketus “Tapi, apakah istri pertama Gusti tidak iri dengan gelar yang aku dapatkan ini?”

“Nyai Pakungwati sudah memiliki gelarnya sendiri, Putri. Engkau jangan terlalu khawatir dengan yang tidak-tidak, semuanya sudah pada apa yang mereka miliki dari dirinya sendiri.”

Mendengar namanya, masih saja ada geletar mengganjal di dadaku, batinku selalu tak bebas jika mendengar nama itu, apalagi melihat. Maka jika sekarang kang Mas Syarif, memberiku gelar sebagai Putri yang pantas untuk Bersanding dengannya, justru aku enggan jika bersanding dengan ketiganya. Aku tidak mengerti, tapi beginilah yang aku rasa.

“Kang Mas Syarif, jika malam ini kang Mas telah memberiku gelar Nyai Laras Sumanding, apakah itu artinya aku telah dianggap Permaisuri Kesultanan Cirebon seutuhnya?” tanyaku agak gemetar memastikannya.

Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini kepada suamiku itu, meskipun hal itu seketika membuat batinku tak tenang dan gelisah atas perbuatanku sendiri. Aku memikirkan banyak hal yang akan terjadi ketika aku menyakan hal ini kepadanya, seperti aku tidak diangap istrinya dan hanya dianggap untuk bersenang-senang bagi dirinya saja, atau yang lebih parah, ia marah dan mengusirku begitu saja karena terusik ketenangannya karena aku sudah menanyakan hal yang tidak-tidak.

Akan tetapi di sisi lain aku sangat meyakini, kang Mas Syarif bukanlah orang yang seperti itu, ia bukanlah orang yang sembrono untuk mengambil keputusan. Akan tetapi, kebaikan itu tak kunjung datang padaku yang telah lama menunggu pengakuan itu. Ia selalu saja hanya berlaku sewajarnya dan berbuat baik serta perhatian secukupnya, sehingga terus menerus hal itu dilakukan sampai kemudian menjadi suatu hal yang menggantung.

Sebagai perempuan selain butuh kasih sayang dari sang suami, perempuan juga butuh kepastian. Sudah sekian purnama dari semenjak aku menginjakkan kaki di tanah Jawa ini, aku masih belum mendapatkan nafkah batin dari suamiku sendiri, entah itu kasih sayang ataupun urusan suami istri.

Aku kira perbuatanku ini wajar untuk memastikan jawabannya, karena sampai sekarang jujur saja aku masih belum merasa memiliki suami seutuhnya, aku hanya diperlakukan baik secara fisik dari para pembantu Keraton saja, bukan dari suamiku sendiri. Jika itu terjadi, seperti malam ini, itu sangat jarang terjadi dan hapir tidak pernah, bisa kalian lihat sendiri bagaimana caraku merespon.

“Tidak, Nimas.” Jawabnya sambil memalingkan pandangannya.

“Apa maksud kang Mas, dengan jawaban itu?”

“Aku hanya menganggapmu sebagai istri yang tidak sepenuhnya milikku.”

“Maksud kang Mas, aku masih dianggap Putri Perawan dari negeri TarTar?” tanyaku dengan menaikkan suara.

“Ya!”

“Apa sebabnya yang membuat kang Mas demikian?”

“Nimas, perlu engkau ketahui satu hal, aku tidak pernah mengawinimu.” Katanya lembut sambil memegang kedua bahuku. “Jabang yang ada di dalam perutmu bukanlah benihku, aku tidak mengetahuinya.”

“Jika begitu, memangnya ini jabang siapa?!”

“Lalu apa yang dilakukan kang Mas saat di pesamuhan negeriku ketika kang Mas diuji oleh Ayahku, mantra apa yang sebenarnya dirapalkan sehingga perutku menjadi benar-benar mengandung jabang ini?”

“Bukankan kang Mas telah mengetahuinya, jika hal itu hanyalah siasat yang dilakukan ayahku. Itu hanyalah sebuah bokor kuningan yang dililitkan dengan kain pada perutku, Kang!”

“Baik.. baik.., jika begitu, aku akan mengakuimu, semoga keputusan apapun yang keluar dari lisanku Nimas akan menerimanya. Karena keputusan ini sudah aku timbang baik buruknya selama ini dan harus begini akhirnya.”

“Putri Ong Tien, alias Nyai Laras Sumanding, aku mengakuimu sebagaimana istriku yang sah beserta jabang yang sedang berada di kandunganmu. Akan tetapi tidak semua aku anggap sebagai istriku, aku menganggap engkau istriku hanya dari bagian ujung kepala sampai perut saja, sehingga dari bawah perut hingga seterusnya bukanlah wilayahku!”

“Maksud kang Mas, Jenengan tidak mengakui bagian bawah perutku hingga kaki?” tanyaku dengan badan yang mulai menggigil.

“Maaf, Nimas, itu di luar dari kehendakku”

Kulihat kang Mas Syarif meninggalkanku begitu saja setelah mengatakan keputusan kejamnya itu. Aku masih melihat punggungnya yang semakin menjauh, meninggalkanku seperti kehidupan yang aku rasa semakin jauh dari rasa keadilan dan menggantung tanpa ruh.

Seperti tak tahan lagi aku menjalani hidup ini, aku merasa, aku sendiri tak tega dengan nasibku. Apakah aku akan terus begini, berdiam dan membusuk di Bangsal Permaisuri tanpa suami. Aku tak mau terjebak hanya dengan iming-iming hidup dengan balutan kemewahan bangsa Timur ini.

***        

Demikianlah, kisahku, kisah yang menurutku tidak pantas sebenarnya kuberitahukan padamu, bahkan tidak pantas seharusnya aku tuliskan dalam bentuk gubahan seperti ini. Semuanya hanya tentang nasib naas seorang putri Kaisar Hong Gie. Setelah kalian semua membaca gubahan pendekku ini, yang terjadi bukan menjadi suatu hal yang bangga ataupun terdapat sisi hikmah, justru aku sekarang sedang menutup muka dengan kedua telapak tangannku.

Namun, semua ini karena kodratku sebagai Wanita, aku harus terus hidup dengan keadaan seperti itu. Menjalani hidup sebagai Permaisuri Kesultanan Cirebon, yang telah memiliki suami seorang Sultan sekaligus konon suamiku juga seorang Mubaligh besar tanah Jawa, yang disebut dengan W  aliullah atau salah satu anggota dari Walisongo, penyebar agama Islam di tanah Jawa dan sekitarnya.

Aku harus melahirkan jabang yang ada di dalam perutku, jabang yang ada karena siasat ayahku sendiri, jabang yang aku bawa dari negeri TarTar hingga ke tanah Jawa ini. Dia kemudian lahir seorang laki-laki, aku bangga padanya, aku merasa dia adalah milikku seutuhnya secara pribadi. Tapi kemudian tetap saaja dia memiliki seorang ayah yang kuat, dan berperan penting di dalamnya.

Kang Mas Syarif mendidik anakku sebagai seorang Kesatria sekaligus seorang pendakwah, aku mengamati pertumbuhan anakku dari kecil sampai dewasa dalam didikan ayahnya, aku juga telah menyaksikan kesuksesan anakku hingga dia diberi mandat oleh ayahnya untuk membuka dan menempati pedukuhan yang terletak di atas negara Cirebon, yaitu tanah Kuningan hingga kelak anakku diberi nama Arya Kemuning[1].

Sebagai Ibu, aku bangga melihat perkembangan anakku yang tumbuh secara arif itu. Tapi aku juga masih seperti dulu, wanita yang dianggap suaminya sebagian saja, wanita yang hanya Setengah Badan[2].

[1] Nama leluhur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

[2] Konon, makam dari Putri Ong Tien juga sebagian masuk ruang makam Sunan Gunung Jati, sebagian di luar.


Penulis:

A Djoyo mulyono adalah penulis dan Jurnalis Ciayumajakuning, tulisan opini dan esainya sudah tersebar di beberapa website dan media portal berita, buku pertamanya Kumpulan Cerpen yang berjudul SIRNA baru saja terbit tahun ini, 2022. Dan sekarang dia sedang menyelesaikan magisternya di Universitas Negeri Surabaya. Pemuda kelahiran Cirebon ini bisa disapa melalui akun Instagramnya di @agungdjoyo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *