Esai
Women in Translation Month dan Sesuatu yang Diharapkan Setelahnya

Women in Translation Month dan Sesuatu yang Diharapkan Setelahnya

Bulan Agustus memang sudah lewat, tapi apabila kita membicarakan agenda literasi yang ada di bulan itu, maka ada satu hal yang saya ingat: Women in Translation Month. Seperti namanya, perayaan ini dimaksudkan untuk membaca sebanyak mungkin karya penulis perempuan yang telah diterjemahkan. Perayaan itu dilakukan sebulan penuh, dan pembaca bebas membaca, mengulas, dan mendiskusikan karya-karya penulis perempuan. Aspek yang meliputi karya itu dibaca pun tidak hanya ia berasal dari penulis perempuan, tetapi bisa saja karya itu pun diterjemahkan oleh perempuan. Mana pun itu, yang pasti, ia mewakili karya penulis perempuan itu; sumbernya pun dari berbagai bahasa dan ragam penulis dunia.

Apa yang melatarbelakangi agenda ini? Menarik mundur ke belakang, pencetus sekaligus penggagas agenda ini adalah penerjemah Alison Anderson dan seorang blogger, Meytal Radzinski. Sekitar tahun 2013, keduanya melihat kalau persebaran penulis perempuan cukup banyak di dunia, mereka menulis dengan bahasa yang beragam. Namun, ada kecenderungan bahwa masyarakat, khususnya pembaca, tidak mengenal mereka dan karya-karya yang mereka tulis. Di situlah tercetus untuk memulai agenda ini. Mereka mengajak pembaca dunia, utamanya melalui kanal-kanal sosial media, untuk turut merayakan bulan membaca karya penulis perempuan dalam edisi terjemahannya. Mereka membaca, mendiskusikan, dan mengulasnya, kemudian mengunggahnya dengan tagar #WITMonth. Dan itu terus dilakukan sampai hari ini.

Barangkali, ada sebagian dari kita yang mempertanyakan adanya agenda ini. Memangnya ada apa dengan para penulis perempuan? Diakui atau tidak, persebaran penulis perempuan dan laki-laki di beberapa negara memang masih memiliki ketimpangan. Dalam konteks kesusastraan Indonesia, penulis yang melekat di kepala pembaca paling awam pun, kebanyakan didominasi oleh penulis laki-laki. Di masa lalu, nama-nama yang telah menjadi kanon hampir pasti yang kita ingat adalah penulis dalam barisan ini: Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, dan sederet nama lainnya.  Sementara, mungkin kita asing dengan nama-nama yang juga berkiprah di era yang sama dengan para penulis itu: S. Rukiah, Suwarsih Djojopuspito, Sugiarti Siswadi, dan Charlotte Salawati. Nama yang moncer dan paling diingat tentu R.A. Kartini, tapi ia pun lebih dikenal sebagai figur feminis inspiratif, alih-alih sebagai penulis sendiri. 

Adanya ketimpangan ini tentu disebabkan oleh sejumlah faktor. Situasi politik masa lalu, identitas si penulis, karya si penulis, sampai latar belakang si penulis turut menentukan mereka bakal diingat oleh generasi berikutnya atau tidak. S. Rukiah, misalnya, lantaran persinggungannya yang erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), ia menjadi salah satu yang diabaikan dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Di sisi lain, kita melihat bahwa kanon sastra dalam konteks sastra Indonesia, begitu membumi dan dipraktikkan selama beberapa dekade. Ada tangan-tangan yang menentukan mana yang layak dibaca, pantas dibaca, dan begitu pula sebaliknya. Penciptaan kanon sastra ini adalah hal yang pasti. Dan saat ada karya-karya yang didapuk layak untuk dilabeli kanon, maka itu berarti ada sejumlah karya lain yang dipinggirkan, ditendang lantaran disebut tak layak.

Contoh ketimpangan lainnya, pun bisa kita lihat dalam konteks kesusastraan Jepang klasik. Ada tiga raksasa pengarang yang hampir pasti diketahui oleh pembaca global: Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, dan Junichiro Tanizaki. Dikenalnya tiga pengarang itu secara baik, bahkan dianggap sebagai representasi pengarang Jepang (klasik) yang paling penting, ternyata dibentuk oleh kanonisasi penerbit Barat. Pembaca global tentu membaca karya-karya mereka dalam edisi terjemahan bahasa Inggris. Dan dalam pengadaan terjemahan itu, penerbit dan penerjemah, memegang kendali terkait siapa saja yang berhak mereka terbitkan. Masalah ini yang secara gamblang dibahas oleh Angela Coutss dalam jurnalnya, “The gendering of Japanese literature: the influence of English-language translation on concepts of canon in the West”.

Selama lebih dari empat puluh tahun, dalam sejumlah antologi para penulis Jepang, terkesan ada pengabaian penulis perempuan oleh para penerbit yang menerjemahkannya. Bias penerbit tentu memainkan peran dalam praktik ini. Mereka menghadirkan karya-karya penulis laki-laki dalam terbitan antologi mereka lebih banyak ketimbang jumlah penulis perempuan. Ketimpangan ini memberikan persepsi. Misalnya, dalam terbitan antologi Donald Keene “Anthology of Modern Japanese Literature (1956), yang mencangkup karya-karya pengarang dalam kurun waktu 1868-1949, terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah pengarang perempuan dan laki-laki. Dan hal ini memberikan kesan atau persepsi, bahwa perempuan tidak begitu berperan dalam bidang sastra di era sebelum perang dunia kedua.

Pengabaian ini pun disertai hal lainnya: marginalisasi dan pembentukan stigma. Perempuan penulis seolah disingkirkan, sebab salah satunya mereka tidak sesuai dengan gambaran budaya dan sastra Jepang yang diwarnai kehalusan, keindahan, bahkan seksualitas. Ini yang dilekatkan oleh pemangku penerbitan dalam karya-karya yang mereka terbitkan. Sebab, sekalipun mereka secara khusus menerbitkan antologi penulis perempuan, elemen yang ditunjukkan tampak sebagai bentuk seksisme. Kovernya kerap digambarkan secara erotis, menampilkan ketubuhan perempuan dalam maksud tertentu; sesuatu yang berbeda manakala yang diterbitkan adalah mayoritas penulis laki-laki.

Kasus seperti ini terus berlanjut dalam terbitan-terbitan berikutnya. Namun, ada sedikit pergeseran yang terjadi tahun 80-an ke atas dengan terbitnya antologi-antologi yang secara baik menghadirkan karya penulis perempuan. Dua antologi itu, This Kind of Woman (Tanaka and Hanson, 1982) dan Contemporary Japanese Women Writers (Lippit and Seldon, 1982), berisikan karya-karya penulis perempuan yang terbit dalam kisaran waktu 1934-1977. Dua karya ini menjadi alternatif bagi siapa pun yang ingin mengenal kesusastraan Jepang klasik dan modern, di luar antologi babon yang didominasi penulis laki-laki.

Kendati begitu, masih ada dua persoalan yang tampaknya masih terjadi sampai hari ini. Pertama, diakui atau tidak, sejumlah terbitan antologi itu telah menciptakan kanon tertentu atas beberapa pengarang, dan pengarang itu dikenal sebagai figur-figur penting dalam kesusastraan Jepang. Padahal, penciptaan kanon dengan antologi itu bermasalah dalam hal ketimpangan gender penulis. Kedua, sekalipun telah terbit antologi yang menghadirkan karya-karya penulis perempuan Jepang, tetapi itu tidak cukup untuk mewakili suara penulis secara umum. Sebab, tidak sedikit karya mereka hanya hadir dalam terbitan antologi, alih-alih karya solo mereka turut diterbitkan. Angela mencatat hal ini, bahwa pihak penerbit atau akademisi, lebih tertarik menghadirkan karya-karya penulis perempuan yang masih hidup ketimbang mereka yang sudah meninggal bertahun-tahun yang lampau.

Menilik persebaran kesusastraan Jepang kontemporer, atau dua dekade ke belakang, praktik ini tampak semakin terlihat. Penerbit Barat memang mulai banyak melirik karya-karya penulis perempuan Jepang. Kita pun dikenalkan dengan nama-nama yang sedang naik daun seperti Sayaka Murata, Kawakami Mieko, Yoko Owada, Banana Yoshimoto, dan sejumlah nama lainnya. Namun, itu tadi, ketertarikan mereka terhadap penulis-penulis dari masa lampau tampak minim sekali. Padahal, bukan tidak mungkin karya-karya mereka menunjukkan satu kekuatan atau keunikan tertentu yang berbeda dengan karya penulis lain sezaman mereka.

Oleh karena itu, sembari berharap pihak penerbit dan akademisi menyadari lubang dari ketimpangan-ketimpangan tersebut, momen atau perayaan Women in Translation Month ini patut dirayakan. Kita bisa mulai dengan membaca, mengulas, dan mendiskusikan karya penulis perempuan yang kita miliki atau ingin kita miliki. Karya-karya itu pun tidak hanya datang dari penulis Barat, Jepang, atau Korea Selatan, sebab kita bisa membaca berbagai karya dari penulis perempuan di banyak negara lainnya. Tapi kita perlu mengingat esensi dari perayaan ini, bahwa kita membaca karya mereka supaya mereka karya tersebut semakin dikenal, tetap eksis, terus didiskusikan, dan gaungnya terus terdengar hingga kelak di masa depan. Untuk itu, harapannya, perayaan ini pun tak berhenti ketika bulan Agustus usai, sehingga karya-karya penulis perempuan makin dikenal dan terus dibaca sampai kelak, kita bertemu bulan Agustus-Agustus berikutnya. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *