Esai
Puisi, Konkretisasi, Abjeksi

Puisi, Konkretisasi, Abjeksi

“Ingat, hakikat puisi adalah konkretisasi, bukan abstraksi.”
(Joko Pinurbo)[1]

Kutipan pembuka itu, adalah penekanan yang kerap direpetisi oleh Joko Pinurbo dalam sejumlah kesempatan berbeda. Dan ya, ingatan pada kutipan itu pula yang tiba-tiba mampir, tatkala saya berhadapan dengan sedikit catatan Iin Farliani di sampul belakang buku terbarunya: kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (Basabasi, 2022).[2] Di dalamnya, termaktub 50 puisi pendek. Akhirnya, berlanjut: coba saya cermati dari lembar satu ke lembar berikutnya.

Puisi dan Konkretisasi
Saya pun sampai pada titik pendirian: kita bisa melihat dari puisi-puisi Iin, bahwa sebenarnya kesendirian, kehilangan, kenangan, cinta, relasi yang rumit, (perjalanan) usia, kerapuhan di hadapan waktu, keterasingan, pencarian identitas, dan sejenisnya, sebenarnya–niscaya, selalu, dan tetap–adalah hal-hal yang bersifat abstrak. Tetapi kemudian, lewat puisi-puisi ini, Aku-lirik, subjek yang dirujuk oleh Iin, bahkan mungkin Iin sendiri, berupaya menemukan wujud yang abstrak itu lewat pengungkapan-pengungkapan, gambaran-gambaran, pelukisan-pelukisan, atau secara umum citraan, dan seterusnya. Artinya, ada keterjebakan pada rangkaian penanda yang (seakan-akan) mewakili keabstrakan perihal-perihal yang dibicarakan (petanda) dalam sejumlah puisi tersebut. Ia berusaha mengonkretkan apa yang manusia sepakati sebagai (rasa) kesendirian, kehilangan, cinta, kerapuhan, keterasingan, dan seterusnya dalam wujud larik-larik–ke bait-bait dan kesatupaduan puisi–yang berbahan baku kata-kata (rangkaian penanda). Secara esensial, ia tidak akan pernah konkret, seterusnya adalah abstrak.

Hal-hal yang dibicarakan Iin, di hadapan manusia sebagai subjek, memang sepenuhnya tidak bisa dan takkan pernah terpahami secara utuh–ia menjadi pembicaraan yang tiada habisnya. Perasaan-perasaan semacam itu, seterusnya akan menghampiri dan merongrong pergulatan manusia di hadapan gerak waktu. Mengapa terjadi demikian?

Kita bisa memahami, bahwa mula sebenarnya manusia adalah “tragedi pengebirian” atau “kastrasi”. “Pengebirian” dari tubuh Ibu (the Real) telah berakibat pada tergalinya nganga diri, yakni rasa berkekurangan (lack), yang disadari mungkin cuma secara samar sepanjang hayat. Lantaran itulah, manusia terus-menerus berupaya melakukan pemenuhan atas kekurangan, yang timbul sebagai rasa-rasa (abstrak) serupa yang telah disebutkan, namun nahasnya selalu terjebak pada perwujudan-perwujudan bahasa (rangkaian penanda) di dalam tatanan simbolik (the Symbolic). Perjalanan manusia pada akhirnya adalah perjalanan pemenuhan (kembali) ke arah the Real yang tak pernah sampai kepada the Real–dan akibatnya adalah rentetan rasa kegagalan atau frustrasi berupa kehilangan, kesedihan, keterasingan, dan seterusnya.[3] Lihatlah bagaimana upaya-upaya konkretisasi atas rasa–akibat tragedi kastrasi–yang abstrak itu berupaya diwujudkan dalam sejumlah nukilan puisi Iin berikut ini.

Pertama, kita mendapati bagaimana kesendirian dalam sepi (kesepian) coba dikonkretkan dalam puisi “Suara Pintu” (hlm. 13):

Suara Pintu 
suka sekali ia menyalakan lampu di meja
cangkir kopi dibiarkan terbuka
koran-koran bertelanjang dada
ia duduk di kursinya
merapikan duka, mencoba percaya
suara pintu di ambang
dan seseorang datang

Kedua, ada bait-bait yang coba dibentangkan untuk menjelaskan apa itu rasa kehilangan dalam wujud bahasa pada puisi “Ingatan” (hlm. 53):

Ingatan
karena ramalan tak tepat menafsirkan
sukar untuk menyebutmu kembali
selain melalui ingatan

berapa lama kepergian itu disesaki
prasangka yang menyakitkan
parfum yang melekat di kulit
hanya sebagian tanda kau akan pergi tiba-tiba

kita tahu tak akan berharga bila terlalu lama
tapi ia, masih setia berdiam di tempat semula

Ketiga, dalam puisi “Potret Silam” (hlm. 56), penanda “potret” dan “remah dari kulit baju” dihadirkan untuk menjembatani pemahaman kita perihal kenangan dan ketidakberdayaan manusia di hadapan waktu, di hadapan usia yang terus lepas satu-satu:

Potret Silam
barangkali kita terlalu mencintai
potret silam,
betapa silau segala kenang
betapa riuh yang berlalu
tercetak pada potret itu

aku takkan pernah lupa
wajahku yang lama
dalam album
saat tak mengingat usia
yang kini lepas satu-satu
bagai remah dari kulit baju

Keempat, persoalan yang amat abstrak seperti cinta yang menghadirkan relasi rumit, coba dibangun konkretisasinya dalam puisi “Aku Tak Datang Mengetuk Pintu” (hlm.54)–yang seakan-akan menjadi keberlanjutan atas puisi “Suara Pintu” sebelumnya:

Aku Tak Datang Mengetuk Pintu
aku tak datang mengetuk pintu
mengucap selamat, berjabat tangan
atau sekadar menepuk bahu
bekas debu sisa perjalanan dahulu
menghalangi perjumpaan itu
meski barangkali suatu hari kau lihat
debu itu masih jua melekat di sepatu
jangan kau baca sebagai pertanda aku tak mampu
atau takkan pernah mampu melenyapkan
apa yang menjadi sisa-sisa antara kita
aku tak datang mengetuk pintu, takkan pernah
sebab tiada yang bisa dijadikan pengganti salam
selain lambaian yang bergerak dari kejauhan
yang tentu semula telah kau hapal 

Dan kelima, puisi “Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi” (hlm. 22) yang sekaligus dijadikan judul dari buku, menghamparkan perasaan asing pada diri dan kerapuhan yang tak terpahami dalam satu bait yang ringkas namun bernas:

Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi
usap matamu dan ciumlah dingin pagi
yang telah menghidupkanmu berulangkali
setelah kau mati
di ranjang tidur yang menyimpan
kemalangan

Demikianlah sejumlah upaya konkretisasi yang hadir dalam kumpulan puisi Iin. Kita mungkin bisa memadankan upaya konkretisasi dari variasi perasaan abstrak yang–dengan (keterjebakan) medium bahasa–dibentangkan oleh Iin dalam puisi-puisinya–atau katakanlah yang dialami oleh Aku-lirik di dalamnya–dengan larik Jalaludin Rumi yang terkenal, yakni,

“Dengarlah seruling berkisah, mengeluh tentang sakitnya berpisah: ‘Semenjak aku dipotong dari pohon bambu, orang-orang selalu tersedu karena suara tangisku sebenarnyalah aku hanya berdendang tentang dada yang pilu karena perpisahan, agar sedikit mengobati perihnya kerinduan. Setiap yang terlempar jauh dari tanah asali tentu senantiasa mencari kapan bertemu kembali, maka aku pun selalu melengking mengalunkan nada menjadi teman bagi yang gembira maupun yang papa, semua orang lalu ingin mengerti apa gerangan yang terjadi, apa rahasia yang kukunci di hati? Rahasia lengking merduku adalah perpisahanku, tertutupnya telingaku dan terbukanya dua mataku.’”

Ada kepenuhan Cinta (dengan “C” besar) yang mengalami tragedi di titik tersebut, dan kondisi keterpisahan dengan Cinta jugalah yang menjadi landasan segala perasaan-perasaan abstrak yang menjurus pada dilema identitas. Hanya saja, apabila konteks yang dibicarakan Rumi adalah relasi yang pure transenden, maka larik-larik puisi Iin bergerak antara (ulang-alik) kutub yang transenden dengan imanen: Tuhan-manusia dan manusia-manusia (dalam puisi “Pagi” [hlm. 8], “Puisi Pagi Hari” [hlm. 9], dan “Radio dan Kehidupan”[hlm. 10]).

Puisi sebagai Katarsis
Berbicara kehilangan, relasi yang rumit, kesendirian, keterasingan, dan semacamnya, boleh dikatakan merupakan konsep-konsep ke(ber)adaan yang cenderung dihindari oleh kebanyakan manusia dalam ringkas perjalanan hidup mereka. Artinya, kondisi-kondisi semacam itu–dalam terminologi Julia Kristeva–adalah sesuatu yang hadir tetapi untuk diabjeksi. Hanya saja, dalam pembacaan Martin Suryajaya, kondisi-kondisi yang setali tiga uang dengan “kesunyian” itu, telah menjadi motif pembicaraan berulang dalam dinamika sastra Indonesia, khususnya puisi-puisi, sejak era Nyanyi Sunyi (1937) digubah Amir Hamzah.[4]

Dari gejala-gejala semacam itu, dengan mengambil puisi-puisi Iin sebagai sampel terbaru, kita boleh berargumen bahwa dalam posisinya, karya sastra telah dijadikan pembantu atas problema yang menimpa sebagian kita: selain menampilkan gejala penyakit jiwa, sastra juga bisa bersifat katarsis.[5] Teks-teks Iin bukan hanya mengabjeksi kesunyian semacam kesedihan, kehilangan, keterasingan, dan sejenisnya, melainkan sekaligus berupaya memberikan konkretisasi terhadapnya–Iin menolak memeram sendirian atau sepenuhnya menghilangkan makna atas kondisi-kondisi itu sebagaimana sisi negatif dari penolakan, melainkan memilih laku menjunjungnya pula. Ia coba mengaribi hal-hal semacam itu, dan imbasnya setelah berlepasan dalam wujud puisi, juga dapat merambat pada keberadaan pembaca sebagai penanggap di luar teks.

Pembaca yang peka, akan menerima rangkaian penanda berupa larik-bait puisi Iin berdasarkan horizon wawasan yang mereka miliki. Sebagian di antara mereka, mungkin ada yang  tersendat karena ragu harus memasuki bentang citraan yang ditakuti, atau bahkan dibenci, lantaran berada pada posisi keterpurukan dan dilema yang sama. Tetapi dengan langkah semacam itu, katakanlah sebagai langkah katarsis, mereka yang merasakan sunyi-senyap atau yang selaras dengan kondisi pada “sapaan” Iin di sampul belakang buku, justru bukan lagi menghadapi kesunyian dengan cara memendam, berlari, atau berpura-pura menutupi itu semua, melainkan dengan jalan mengakrabkan dan menenggelamkan diri ke dalamnya. Pelarian membawa manusia pada ketakutan berkelanjutan; dan sebaliknya, pengakraban memunculkan pemahaman dan cara pandang yang potensial lebih jernih. Inilah pentingnya horizon wawasan yang terus diperluas dan terus dijembarkan bagi saya.

Hal ini menjadi penting, sebab saya melihat dalam konteks kita sebagai manusia modern yang lebih karib dengan riuh dan seremonial hari ini, cenderung kerap gelagap dan ketakutan tatkala mesti berhadapan dengan sepi, sunyi, sendiri. Dan sekadar saran, bacalah puisi-puisi Iin dalam kumpulan ini, lalu usap matamu, dan ciumlah dingin pagi di kedalaman diri. Selamat mencoba, selamat membaca! []

[1] Pernyataan ini juga disampaikan oleh Jokpin dalam “Catatan Dewan Juri” yang termaktub dalam buku Kota, Ingatan, dan Jalan Pulang: Antologi Puisi Karya Pemenang dan Karya Pilihan Lomba Penulisan Puisi bagi Remaja DIY Tahun 2017 (2017).

[2] Sebelumnya, Iin telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (Halaman Indonesia & Akarpohon, 2019).

[3] Tatanan the Real merujuk pada tatanan yang bertindak sebagai pengaman, yang terbentuk secara perlahan, dan terus mengalami perubahan. Jacques Lacan, dalam The Seminar of Jacques Lacan – Book XI: The Four Concepts of Psychoanalysis (1973), menjelaskan bahwa, “The Real is that which always comes back to the same place.” Tatanan the Real selalu kembali ke tempat yang sama, dan bahwa ia adalah sesuatu yang tidak mungkin. The Real mendahului proses simbolisasi (the Symbolic) dan imajinasi (the Imaginary). Ia terlepas dari tatanan simbolik, tetapi sekaligus memungkinkan terjadinya tatanan simbolik itu sendiri. Yang ada dalam the Real hanyalah rasa kepenuhan yang sempurna, suatu keutuhan. Lantaran itulah, Lacan menyebutnya sebagai tatanan yang melampaui bahasa dan tidak dapat diungkapkan dengan bahasa–ia berada di luar atau melampaui jaringan penanda-penanda.

[4] dalam tayangan berjudul “Motif Kesunyian dalam Puisi Indonesia” di kanal Youtube Martin Suryajaya.

[5] Bagi Kristeva, dalam bagian-bagian akhir buku The Power of Horror (1980), semua karya sastra adalah semacam katarsis, sebuah upaya bagi penulis untuk membuang apa yang asing dan tidak murni. Dalam teks sastra, terjadi pengaburan antara yang ada di dalam dan di luar diri penulis. Ia mencurahkan perhatiannya pada karya Louis-Ferdinand Celine sebagai penulis yang berafiliasi dengan Nazi, yang amat fanatik membenci Yahudi. Ia menyebut karya dari Celine yang bernada provokatif terhadap Yahudi sebagai karya yang, “… calls upon what, within us, eludes defenses, trainings, and words, or else struggles against them.” Bagi Kristeva, karya-karya Celine tidak sepenuhnya menghilangkan makna, sebagaimana sisi negatif dari penolakan, melainkan juga menjunjungnya. Teks-teksnya tidak hanya membuang hal-hal, tetapi juga menciptakan objek, namun dibenci–dan itu merupakan bagian dari patologi penolakan: mengubah fantasi dari apa yang dihina menjadi objek yang ditakuti, objek kebencian.


Penulis:

Tentang Penulis:

Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Aktif mengelola komunitas sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Selain pernah mendapatkan penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media massa, baik cetak maupun daring (Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co, Kibul.in, Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id, Haripuisi.com, Lensasastra.id, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain). Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) adalah buku esainya yang telah terbit. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *