Cerpen
Ular di Kandang Sapi

Ular di Kandang Sapi

MAMA terbangun dengan wajah pucat karena melihat sesuatu yang sebetulnya bukan apa-apa. Saat itu sudah tengah malam dan papa belum pulang. Papa memang berjanji akan sampai rumah tepat waktu sebelum makan malam. Tetapi, janji itu telah berlalu dan hari ini tepat setahun setelahnya. Aku rasa kami pantas merayakan kesetiaan menunggu omong kosong semacam itu, meski dengan darah ayam serupa anggur.

***

Penempatan sebuah derita seperti liang penuh ular berbisa ada di dada mama. Ular-ular serupa duri dalam daging yang sesekali menggores tulang, tak henti-hentinya membuat kepedihan. Aku tak tahu bagaimana rasa sakit itu dapat diceritakan, terlebih menjalar ke dalam apa yang aku pikirkan, cita-cita, dan mimpi-mimpiku.

Lagi pula siapa yang peduli? Semua orang memiliki ular di dalam dirinya, begitu kata paman yang pernah datang menemuiku.

Betapa bodoh aku memercayai apa yang dikatakan paman. Satu tahun sebelum mama sering melantur dan meneriaki apa-apa yang hanya dapat dilihat dari matanya, paman datang dengan cara menyelinap ke kandang sapi: berniat mengajari aku cara memerah susu.

“Kamu harus lihat ini baik-baik, Nyora. Aku tak ingin ada orang yang tahu,” bisik paman tak lebih dari godaan setan yang pernah merayuku untuk membunuh papa, setahun lalu saat papa akan pergi dari rumah.

Tanpa paman sadari, sebenarnya di sana kami tidak hanya berdua. Ada Harry yang jauh hari sudah meninggalkan bola matanya di antara gulungan jerami; menelusuri lekuk tubuh dan bulir keringatku. Harry melakukan itu setelah ia berani mencium pipiku di sore yang ranum dan penuh debu. Tentu saja Harry tidak tahu dan, hanya aku yang tahu bila mata, kata-kata, serta hatinya sepahit tahi sapi.

Dengan perlahan paman meremas susu sapi dan membuatku seperti seekor ular yang menjulur-julurkan lidah. Andai aku punya bisa racun yang dapat merobohkan sepuluh kuda saat itu. Tetapi nyatanya aku hanya menangis dan harapan memiliki racun hanyalah racauan dan imajinasiku semata.

Persis apa yang dikatakan Harry, aku hanya gadis bimbang di lautan susu sapi. Waktu itu aku sadar semuanya ketika paman kagum karena air mataku semurni susu baginya.

Paman memeluk dan meyakinkan bahwa semua orang akan mengalami hal yang sama, termasuk juga dengan mamaku. Sebagai bukti paman memintaku untuk naik ke loteng dan mengintip ke bawah. Paman tidak pernah berbohong, karena malamnya, dari loteng aku melihat dia berduaan dengan mama. Menyibukkan diri dengan pergulatan yang tentu saja dimenangkan paman. Mama terlihat pasrah sebagaimana aku yang tanpa tenaga, membiarkan paman mengerahkan kemampuannya memerah.

Setelah kejadian itulah aku datang menemui Harry dan ia menenangkan aku dengan sebuah ciuman. “Mana yang lebih pantas?” tanyanya di waktu itu.

Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku diam saja sambil menunduk. Harry bukan tipe lelaki yang suka dengan perempuan pendiam. Ia menyentuh daguku dan merapatkan tubuhnya.

“Aku tahu apa yang ingin kau katakan,” kata Harry.

***

Pernah aku mendengar, puncak menjadi seorang perempuan adalah memiliki anak. Seperti nenek ketika mengandung mama dan mama ketika mengandung aku. Memikirkan hal demikian, membuatku bingung dan perlu seseorang yang dapat menenangkan.

“Itu kewajaran lain dalam hidup,” kata Harry di suatu sore kemudian, yang entah kenapa menyengat bau tahi sapi. Sebetulnya aku tidak tahan dan ingin pindah tempat, tetapi Harry punya gelora lain saat berbicara seolah melunturkan bebauan juga meredamkan suasana menjadi nikmat.

Kami lebih sering dan suka berbagi cerita di belakang kandang hingga hari gelap. Bukan dekat karena Harry pernah menciumku saja, tetapi dialah orang pertama yang mencium dan tidak membuatku berpikir ingin menjadi seekor ular. Meski Harry kadang bertindak kurang ajar, aku selalu kembali dan menyanggupi permintaannya untuk bertemu, meski kadang kami serupa lalat-lalat mencari sumber bau; segala dosa.

“Nyora, ibuku pernah berkata, suatu hari nanti aku akan menghamili perempuan. Seminggu setelah itu, ibu ditembak orang tak dikenal. Meski aku melihat kesengsaraannya meregang nyawa, aku tidak pernah memimpikannya dalam tidurku di kemudian hari. Aku juga tidak pernah berharap, bukan karena takut, melainkan ada harapan lain yang sangat aku inginkan.”

“Apa?”

“Perempuan yang disebut ibu kuhamili suatu hari nanti, adalah kamu!”

***

Pada malam ketika aku dan mama masih setia menunggu papa di meja makan, paman datang dengan niat yang sebetulnya akan aku ketahui.

“Tak usahlah pakai menggoda,” kataku saat paman mengekorku ke belakang. Paman tersenyum dan mengatakan bahwa aku telah dewasa. Mengerti dan membutuhkan apa yang diperlukan orang dewasa.

Sebelum Paman menarikku tanpa suara bagai permainan sulap yang indah, aku sempat melihat ke arah meja makan. Di sana mama seperti batang pohon bisu: terdiam dengan dedaunan yang berguguran dari rambut putihnya.

Meski senang setelah dikuasai paman, ada hal yang tidak beres kupikirkan sehingga membuatku gelisah dan tidak bisa tidur. Dan di waktu yang tidak pernah aku rencanakan, setelah mandi keringat berguling-guling di atas kasur, sesuatu dari dalam diriku seperti berontak, memberi kekuatan untuk aku bangkit. Yang aku ingat hanya ucapan: satu-satunya sumpah untuk ketenangan, aku tidak ingin mewujudkan harapan Harry.

***

Entah kenapa, pada suatu malam ketika aku ingin berada di sisi paman, ia malah tidak datang. Aku menunggu hingga hujan turun malam itu, membasahi kandang sapi serta sederet keinginan yang telah membayang dalam kepala. Inilah yang kusebut ular seperti duri dalam daging yang menjalar ke dalam mimpi-mimpiku. Kadang indah dan menjadi buruk sekali waktu berantakan tak terkira.

Aku sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memandang sapi kesepian yang hanya melenguh akan dinginnya malam. Sama seperti aku, mama juga begitu. Tetapi bagaimana dengan paman? Apakah ia juga berkeinginan untuk ada di sisiku? Entahlah, pagi sampai hujan mereda tak ada tanda-tanda kemunculan paman.

Baru aku ketahui setelah terjaga dan mendapati kesendirian masih utuh bagai biru danau yang tenang, laki-laki—seperti papa dan paman—bukan hanya bisa memainkan janji, tetapi terkadang mereka lebih hina dari iblis di tempat suci.

Ketika malam berikutnya, kilat mencambuk langit hitam dan bintang murung—hilang dalam tangkapan mataku. Aku masih sendiri menunggu di loteng dan melihat mama memandang ke luar jendela. Sama seperti aku, mama juga terlihat menunggu kehadiran paman. Hanya saja mama selalu berteriak seolah melihat sesuatu yang sebetulnya bukan apa-apa.

***

“Mereka akan datang sebagai hantu,” kata Harry.

Meski Harry selalu berkata kasar dan lebih sering bersikap kurang ajar, aku tidak pernah membencinya. Aku sudah mengatakan ini, seingatku ini untuk kali kedua.

“Kau selalu bilang begitu,” kataku.

“Tentu saja. Karena Paman dan Papamu, memang akan datang menemuimu sebagai hantu! Kau tidak tahu, ‘kan?”

“Aku tahu. Sangat tahu itu!”

“Kalau begitu, berkemaslah dan ikut denganku.”

“Mengapa?”

“Karena aku yakin kau tidak ingin bertemu hantu!”

***

Apa yang dikatakan mama sebelum mengecup keningku saat malam hari berikutnya, membuatku merasakan sesuatu yang selama ini dapat dilihat dari mata mama.

“Mana mungkin?!” tanyaku kaget.

“Tidak ada yang tidak mungkin, Nyora.”

“Semua sama saja.” Kubuang pandang ke luar jendela, malam sehitam cerita mama.

“Papa, Paman dan Harry. Lalu siapa lagi, Mama?”

“Semuanya. Semuanya sama saja.”

Itu malam terakhir aku ingin mendengar suara-suara. Setelah mama menutup pintu kamarku, aku menyelinap keluar untuk sampai ke kandang sapi. Baju-baju dalam tas yang sudah kusiapkan, kulempar ke arah Harry yang sedang duduk menungguku dengan wajah lugunya.

“Kurang ajar! Kau si ular di kandang sapi!”***


Penulis:

Beri Hanna lahir di Bangko. Buku barunya akan terbit, Lantak La Dramaturgi Anonim-anonim, pemenang ke-3 sayembara novel DKJ.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *