Cerpen
Kutukan Bapak

Kutukan Bapak

SAAT-Saat ini, ibu muda yang mantan bunga desa, setiap hari harus melaporkan pada suaminya, apa saja kejadian penting yang terjadi sejak pagi, dimulai dari suaminya berangkat kerja sampai datang lagi di rumah. Yang dilaporkan, antara lain yang menyangkut satu pohon lengkeng yang dimiliki yang sedang berbuah yang berdampingan dengan pohon nangka.

Suatu pagi ibu muda itu mengepel lantai teras depan sambil tersenyum-senyum sendiri membayangkan nanti, betapa segarnya makan lengkeng. Hingga tiba-tiba terdengar suara Duk! “Aduh!” dari seorang lelaki dewasa. Rupanya, seorang penjual mainan anak, tidak memerhatikan jalan di depan sehingga roda dorongnya menabrak pohon nangka. Ibu muda ini pun kaget, kini di depannya, tertampak satu roda dorong yang terguling, aneka mainan bergeletakan di jalan.

Meskipun begitu, ibu muda tak ikut menolong penjual mainan anak yang terlihat begitu tergesa-gesa merapikan kembali mainan.

     **

Ibu muda itu dan suaminya,  tinggal di satu kecamatan yang jauh ke kota, di rumah berkamar dua, belum genap satu tahun menempati, halamannya berpagar tanaman anak nakal yang pendek—berbatasan dengan jalan desa yang hanya cukup untuk ukuran satu mobil. Di depan rumah, masih terhampar cukup luas kebun singkong. Sementara satu pohon lengkeng itu, kata bapak dari ibu muda—yang mewariskan rumah—adalah sedang pertama kali berbuah, ada beberapa butir yang menuju matang.

Di sekitar tempat ibu muda itu tinggal, tak banyak yang memiliki pohon lengkeng. Pada umumnya, pohon yang tumbuh di halaman rumah-rumah penduduk berupa mangga dan rambutan. Ibu muda dan Ramdani, suami dari ibu muda, was-was dengan keberadaan buah-buah di pohon lengkeng karena kata bapak dari ibu muda yang menanamnya, pohon lengkeng itu ditanam dari biji agar nanti akarnya kuat dan pohonnya bisa berumur panjang.

Sepasang suami-istri ini kini sedang bersabar menunggu buah-buah menjadi matang. Tahapan dari mulai berbunga, lalu bunga yang sudah berkuncup yang kerap kali berguguran, ditambah codot yang suka mencakar bunga—telah dilalui. Tahapan pentil-pentil buah yang berjatuhan, hingga tersisa pentil-pentil menjadi buah kecil, juga sudah dilalui. Sekaranglah tahap akhir, ya, karena buah menjelang matang juga masih saja ada yang menjatuhkan diri—belum lagi siapa tahu ada pencuri.

Jadi nanti, buah yang matang di pohon tertinggal berapa butir? Atau malah tidak ada? Biarpun ada, itu pun belum tentu mulus. Kalau buah-buahnya jelek—yang dingin dimakan, atau busuk, bisa jadi, ini menjadi bahan ejekan dari tetangga.

**

Dulu, saat ibu muda ini masih gadis, banyak pemuda yang ingin. Namun atas doa orang tuanya yang tiada henti, semoga anak gadisnya berjodoh dengan pria yang baik—tercapailah pula.

Sedangkan Ramdani mulai mengenalnya secara tidak sengaja. Dulu sewaktu ibu muda ini masih gadis, baru pulang mencuci pakaian dari sungai. Sedangkan Ramdani bersama rekan Yono—tugas kantor kecamatan—juga baru pulang dari satu kampung setelah mendata orang-orang jompo. Ramdani menaiki jalan mengepit map berisi data. Gadis itu, Yuli, menuruni jalan membawa bakul cucian. Jalan masih mac adam, Ramdani berhati-hati berjalan—jangan sampai terantuk batu apalagi sampai jatuh yang bisa mendapat malu.

“Ehm. Bentar dulu Neng,” pinta Ramdani ketika itu, maka berhentilah Yuli.

“Mau pulang?”

“Iya Pak,” Yuli menjawab dengan bibir tersenyum, tetapi mata jelalatan menatap semua yang dipakai Ramdani.

“Boleh aku bawakan cuciannya?” Ramdani menawarkan jasa.

“Tidak usah. Terima kasih.”

“Eh, cuciannya dibawakan saja sama Si Bapak Ini,” Yono nimbrung bicara.

“Tidak usah, kasihan, berat.”

Setelah Ramdani berkali-kali meminta, akhirnya Yuli luluh, menyerahkan bakul cuciannya pada Ramdani.

Itulah awal mula perjumpaan Ramdani dan Yuli. Untuk selanjutnya, keduanya saling menjajagi dengan berjumpa berkali-kali seraya membicarakan masa depan, antara lain di atas batu besar di pinggir kali. Hingga akhirnya keduanya saling jatuh hati, kedua orang tua masing-masing pun setuju untuk besanan.

     **

Sore hari ini, Yuli dengan ber-thirt dan ber-jeans menyapu daun-daun lengkeng dan daun-daun nangka. Setelah daun-daun terkumpul di lubang tanah yang telah digali sebulan yang lalu, Ramdani membakarnya.

Seraya menjaga agar api tetap menyala, sesekali Ramdani memperhatikan butir-butir buah lengkeng di pohonnya, dan rupanya ada satu butir buah yang paling besar.

Usai membakar dedaunan, Ramdani menghampiri Yuli yang duduk di teras depan. Lalu mengobrol hingga menjelang malam.

Ketika malam tiba, sepilah suasana. Di kampung di tepi kota, pukul dua puluh sudah sunyi. Hamparan kebun singkong di depan rumah menambah senyap saja. Suara anjing tanah dan jangkrik sesekali menyahut.

“Hari ini ada kejadian apa saja?” Ramdani bertanya di ruang tv.

“Tadi siang ada tukang kredit pakaian. Katanya tadi siang itu numpang berteduh di bawah pohon nangka karena kepanasan.”

“Tukang kredit pakaian apa?”

“Pakaian olahraga. Tapi banyak omong. Udah tahu tidak akan beli, maksa terus.”

“Banyak omong bagaimana? Tapi tidak beli?”

“Dia nggak pernah berhenti promosi. Ya akhirnya aku beli. Tetangga juga beli. Nih dua stel, untukku dan untukmu. ”

“Beli kredit apa cash?”

“Beli cash biar lebih murah.”

     **

Pagi-pagi Minggu dua hari kemudian di teras depan rumah. “Pak, yang belakang rumah pesan dua butir buah, ingin mencicipi. Tetangga sebelah kiri rumah juga ingin dua, sama ingin mencicipi. Bagaimana nih Pak?”

“Ya, bagaimana ada atau tidaknya buah.”

“Pak, tapi itu lihat, lengkeng yang kemarin-kemarin kulihat sudah mengkal-mengkal, kenapa kini kulit-kulitnya jadi kehitaman?”

Ramdani bangkit dari duduk, mendekati pohon lengkeng, melihat-lihat. “Oh iya benar. Kenapa bisa jadi begitu ya?” Pohon lengkeng dinaikinya, satu butir dipetik, lalu turun. Saat dibelah, terlihatlah busuk sebagian.

Ramdani penasaran, kembali memetik dan membelah satu butir, dan ternyata isinya sama, sudah busuk sebagian.

Ramdani dan Yuli sama-sama kecewa.

Keduanya jadi bingung dengan sisa buah yang masih bergantung di pohon, juga sekaligus pesimis dan yakin bahwa sisa-sisa buah yang ada, kulit buahnya akan menghitam dan juga busuk di dalam.

“Menurutmu, apa yang telah terjadi dengan pohon lengkeng kita?”   

“Kukira, ini akibat dari sebutir buah yang paling besar itu telah dicuri orang, sehingga akhirnya bapakku yang kuanggap lelaki terbaik dalam hidupku, marah, mengeluarkan kutukan. Ya, buah-buah yang lain sampai terkena imbas. Kukira ke depan, bila berbuah lagi, hasilnya pun akan terus seperti itu,” ujar Yuli.(*)

~ Bandung, September 2022


Penulis:

Gandi Sugandi, alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000.  Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *