Resensi Buku
Mistisisme, Metafisika, Mitos

Mistisisme, Metafisika, Mitos

Judul: Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal
Penulis: Tjahjono Widijanto
Genre: Kumpulan Puisi
Penerbit: Pagan Press, Agustus 2022
Tebal: x + 106 halaman
Ukuran: 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-623-6910-73-3

DALAM sebuah catatannya, penyair Abdul Hadi WM membincang sepenggal tamsil sajak Chairil Anwar yang disebutnya bersumber dari Kitab al-Thamam karangan Mansur al-Hallaj; ‘Laron pada mati terbakar di sumbu lampu’.

Mulanya, tamsil tersebut ditemukan Hadi melalui Annemarie Schimmel; ‘Laron yang membakar diri dalam nyala lilin.’ Kitab ini berisi ucapan-ucapan shatiyyat, yaitu paradoks-paradoks yang disajikan dengan ungkapan puitik untuk menjelaskan posisi seorang ahli makrifat yang telah fana. Ucapan yang keluar dari dirinya seolah gema dari alam ketuhanan, baqa.

Tamsil tersebut menggambarkan ahli makrifat yang fana memperoleh kehidupan yang baru, baqa—hidup kekal dalam cinta dan kepatuhan kepada Yang Abadi. Hadi menduga Chairil mencomot tamsil tersebut dari persebaran karya penyair Eropa yang awalnya digunakan oleh Johann Wolfgang von Goethe.

Namun Hadi, seorang penyair sufi yang bestari itu, tak mengapresiasi adagium, metafor, personifikasi dalam sajak Chairil sebagai cinta mistikal,  hanya karena sekadar cinta dua insan berlawanan jenis. Berbeda pembacaannya atas sajak Padamu Jua Amir Hamzah, meski dengan hujah yang sama, Hadi meneguhkan pada Amir Hamzah terasa sekali napas sufistiknya. 

Pada sisi lainnya, sebagaimana diceritakan Hadi, penyair Hamzah Fansuri, juga Amir Hamzah berpengaruh sedemikian laratnya atas generasi sesudahnya—Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, dan tentu saja masih bisa ditambah deretannya.

Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal—judul buku puisi karya Tjahjono Widijanto yang mengingat saya pada judul naskah drama Arifin C Noer ini—diawali  dengan sajak berjudul Permainan Tuhan Yang Ingin Kukenal. Sajak ini dibuka dengan tamsil serupa, yang dengan demikian bersumber dari yang sama; ‘seekor laron sayapnya rantap oleh api.’  

Masih dalam satu judul sajak yang sama; ‘tentang gairah api mesra khusuk membakar kayu’ lalu ‘menggugurkan bunga-bunga mangga atau daun-daun jati yang ranggas’ menerbangkan pembaca pada suasana dan idiom Sapardi Djoko Damono. Kemudian diksi nahkoda dalam ‘dengan nahkoda tak pernah bosan berlayar,’ diksi cinta dalam ‘cinta merayap dari peti-peti mati seperti bentang kenangan  penyair letih,’  mengingatkan akan simbolisasi sebagaimana pengetahuan umum; perahu (syariat), nahkoda (tarekat), pulau (hakikat), tujuan (makrifat) dalam tasawuf-cinta-mistisisme. Demikian halnya bertebarannya simbol daun, laut, pantai, angin, burung dan lain sebagainya pada sejumlah sajak dalam buku kumpulan ini.

Tradisi, konvensi, simbolisasi, visi, sejarah estetika, termasuk berbagai mitos-mitos, juga katakan semacam teologi puisi yang terhampar dalam kemungkinan-kemungkinan sajak pembuka buku ini, menjadi daya tarik tafsir, pemaknaan, pembacaan atas keseluruhan sajak dalam antologi ini.

Atau barangkali puisi menjadi semacam dermaga untuk melabuhkan pertanyaan-pertanyaan; semisal perihal pembaruannya—dekonstruksinya, oleh karena setiap pembaruan mensyaratkan ini,—lalu otentisitas kepenyairannya, metafisika kehadiran subjek penyair, atau aku-liriknya, atau ketakhadirannya yang membawa konsekuensi peristiwa/suasana dalam setiap puisi.

Pendek kata, poiesis, sebagai momen puitik, tempat sublimasi puisi bersarang dan bertaut erat dengan jenis keindahannya; apakah keindahan dalam pengertian harmoni, padu, elok, ataukah teror, kengerian, vandal, haru biru kehancuran.

gusti, setelah aku selalu gagal menjadi rumi yang menari
ijinkan aku tetap jadi pemburu yang terbata-bata mengintaimu”

(Puisi Hotel Movent Pick Madinah, Hal. 84)

tak ada yang dapat menghenti riaknya
sampai kelak bercumbu sendiri dengan deburnya
tempat menyimpan rahasia tentang waktu
bersama sebiduk kapal yang semakin oleng menghikmat gelora
nahkoda, mana atlas perjalanan yang perlahan menjamur di laci mejamu?

(Puisi Tafsir Pelaut, Hal. 33)

udara yang atis tergelincir dalam lorong-lorong asing yang bising dalam hening, dan lumut yang meranggas di batu-batu akan membantu membawamu tamasya ke negeri leluhur batu nisan tempat para satriya bercambuk api di tanah-tanah keramat tak ada yang dapat lolos dari sihir ini, ciuman waktu telah menjadi candu menyeret pentakziah sepi yang malang menaburkan japa mantra juga bunga-bunga sampai terik penghabisan tentang kenangan akan keindahan kematian yang mungil

(Puisi Kuncen, Hal. 87 )

Dan sudah barangtentu, setiap pembaca yang dahaga akan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditenggak dari air bening yang bernama puisi, maka ikhtiar membaca akan ditempuh dalam berbagai jalan pembacaan.

Betapa saya setuju perihal pembacaan, bahwa pembaca, penafsir, kritikus sebagaimana kata Goenawan Mohamad yang kemudian mengutip Jacques Derrida; adalah seorang yang sadar bahwa kata ada dalam sajak itu awal penanda tentang sesuatu: dan ia bersama dengan tabir, dan kemudian tafsir. Tapi bersama dengan itu pula seorang kritikus bukan hanya seorang perumus interpretasi tapi juga seorang yang menemani puisi, terus menerus dalam tugur dalam menunggu sementara puisi itu “menyanyikan dirinya tak putus-putusnya dan tak henti-hentinya menghilang melalui lubang-lubang pintu yang bersinar terang seperti cermin dan terbuka ke dalam sebuah labirin.” 

***

PUISI adalah batin. Tentu saja maksudnya adalah puisi yang bagus, yang diakui ataukah tidak masih mendominasi sejarah estetika puisi kita. Dengan demikian, boleh dikata akar dari dominasi puisi tersebut adalah puisi sufi, sebagaimana yang batin adalah asal sementara, yang lahir merupakan citranya.  Pengalaman sufi beranjak dari pernyataan bahwa “ada” (wujud) adalah batin dan lahir, dan bahwa “wujud” yang sebenarnya adalah yang batin.

Dalam kosa kata sufisme, puisi dapat dikatakan adalah tempat persinggahan dalam suatu perjalanan—boleh jadi setidaknya dalam pengertian moment puitic, poiesis. Sebagai sesuatu tempat singgah dalam perjalanan, sekaligus merupakan sinar-sinar yang menerangi hati, yang secara tiba-tiba berkilau, yang mana ‘sang sufi’ sendiri tak mengetahui sumber ataupun sebabnya. Ia pun tak mampu mengekspresikannya dengan bahasa biasa sebab sinar itu berasal dari tahapan yang mengatasi bahasa sekaligus akal (dan hanya bisa dibahasakan dalam isyarat, simbol, metafor). Perjalanan itu berakhir dengan peleburan (fana) bersama Allah.

Kondisi inilah cinta, sebagaimana dipahami kaum sufi adalah ketiadaan dari diri atau aku dan kebersamaan dengan engkau atau Allah . Sesungguhnya hakikat cinta adalah apabila kamu memberikan seluruh dirimu kepada orang yang kamu cintai sehingga tidak  tersisa apapun dari kamu untuk kepentinganmu.” Cinta merupakan kondisi—dalam arti ia dapat hadir dan menghilang—maka ada dialektika yang dialami oleh sang sufi, yaitu dialektika kehadiran dan kelenyapan, keterkaitan dan keterputusan, perjumpaan dan perpisahan.

Masalah ada dan tiada. Perihal kehadiran dan ketakhadiran. Dan sudah barang tentu perihal berkhalwat—pengasingan dan pengembaraan. Sebagai penyair musafir mematutkan diri apa kata Adonis: Manusia tidak akan menemui dirinya selain dengan mengasingkan jiwanya. Dengan cara mengasingkan diri ini maka yang tersisa dalam jiwanya hanyalah cahaya ilahi. Dengan demikian, dalam terpaan cahaya yang menyelimuti dirinya memancarlah cahaya illahi yang tak lain adalah makrifat. Cahaya ilahi itu sendiri adalah cinta.

Lantas, pada Tjahjono Widijanto, apa yang ditemukan setelah eksistensi penyair ‘anak dagang’ dan ‘faqir’ dalam pengembaraan Hamzah Fansuri, ‘musafir lata’ Amir Hamzah  atau ‘pengembara di negeri asing’ Chairil Anwar?  Dapatkah dikatakan sajak-sajak Tjahjono Widijanto adalah deret metafor “Keresahan penyair dalam hubungannya dengan Tuhan,”? Jika benar, lantas dimana diantara deret pembaruan penyair-penyair “Hamba dan Tuhan tiada berbeda”; Penyair “pendosa atau pembunuh Tuhan” yang tidak taklid terhadap syariat (Abu Nuwas, penyair Arab hidup 139-195/199 H), atau penyair yang pencipta khalis (murni) kata-kata yang menciptakan dunia dengan caranya secara metaforis (Abu Tamam, meninggal awal abad 3 H)? 

Pada titik ini, karena puisi-puisi Tjahjono Widijanto bukanlah pemuja penderitaan, penikmat kemuraman, pengagung kesepian melainkan mencari, menemui, dan menemukan otentisitas eksistensial, sehingga tampaknya puisi-puisi Tjahjono Widijanto tak sepenuhnya bisa dikatakan ikhwal Kesunyian Teologis, sebagaimana dikatakan Arif Bagus Prasetyo terhadap puisi-puisi Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noor: suatu kontinum religiusitas penuh luka yang dilalui banyak penyair Indonesia lainnya. 

Lebih dari itu, jika pun puisi-puisi Tjahjono Widijanto dibaca dari perspektif teologi puisi, hal ini melampaui pemahaman teologi puisi dari Afrizal Malna; sebagai aku-lirik yang mencari penandaan ilahiahnya sendiri, sebagai praksis keimanan dari benturan-benturan yang dihadapi penyair dalam kehidupan nyata, atau dari konflik struktur-struktur semiotik antara iman dan kenyataan. Betapa puisi-puisi Tjahjono Widijanto terbebas dari otoritas semiotik-teologi-keimanan dalam pengertian hanif pada agama tertentu. Lebih dari itu justru menukik pada mistik, mistisisme, yang sebagai puisi, selaku genre sastra, sudah barang tentu berhumbalang, bergulat, bergelut, bergumul dan kemudian padu dengan bangun mitos-mitosnya sebagai sistem penandaan, komunikasi dan wacana yang di dalamnya terdapat pesan.

koridor ini masih remang-remang
cahaya lampu muram dan gigil
dalam gaduh yang sunyi
waktu dan jarak dilipat dengan sempurna
dengan hitungan cermat seperti Sysiphus
menghitung jerit batu melintasi bukit demi bukit

(Puisi Tas Hitam di Bandara Ketika Pintu-Pintu Tertutup, Hal. 8)

Kesadaran, keyakinan, keinginan Dalam Bayang Tuhan yang (ingin) Kukenal dalam pengamatan saya bukan tidak mungkin sebagai semacam ikhtiar meneroka kredo estetika Realisme Sufisme di dunia Timur  yang di Barat lebih dikenali sebagai Realisme Magis. Adonis memberi gambaran Realisme Sufisme sebagai kesadaran sang pioneer terhadap batas-batas yang memisahkan dari realitas langsung,  keyakinannya akan realitas yang lebih indah dan kaya, dan terakhir keinginannya untuk sampai pada realitas tersebut dan untuk mewujudkannya. 

Saya tak keberatan menukil puisi yang boleh dikata memperlihatkan salah satu visi kepenyairan sastrawan kelahiran Ngawi, 18 April 1969 ini.

ada yang hilang di sini, sunyi gagal membentuk kata-kata dan sajak menjadi sarat bunyi pedih bersama waktu yang meronta-ronta dan mimpi perih terbang bersamanya, melambai dengan mata malaikat tua sementara belum sempat dipikirkan bagaimana menulis epitaf sebelum melepas tabik terakhir

(Puisi Bayang-bayang, Hal. 89)

***

Pada pengujung antologi ini, buku ditutup dengan puisi imajis berjudul Serbuk Kopi  di Meja Kerja (Hal. 90). Saya kutipkan lengkap sebagai berikut;

berapa lama kau habiskan waktu untuk sampai di sini?
seribu jukung yang karam dan perlahan dilupakan
membayangkan sebuah daftar riwayat terbentang
serupa atlas-atlas yang terbakar
bersama hikayat perkasa para nahkoda
wajah pucat para kelasi yang kuyup oleh taufan
sebelum kembali kering terbaring menghitam
tercecer di meja kerja dan sedikit di sudut bibir

aku terseret dalam kelam ceruk ceruk lembahmu
di sini adakah jalan pulang bagi para petualang
yang telah suntuk menggelar pertemuan dari kutub ke kutub
pada aroma hitammu yang meliuk-liuk aku takluk
terperangkap lancip sunyi menyelinap di kelopak mata
seribu jejak mengapung di udara dan rimbun kata-kata ambyar jadi mantra 

Ngawi, 2019/021

Simbolisasi, tamsil (personifikasi), metafor, diksi di hamparan puisi ini seolah meneguhkan kembali ikhwal kekayaan akan kemungkinan-kemungkinan daya tarik tafsir, pemaknaan; pasal waktu, ingatan, jukung yang karam, riwayat, hikayat, nahkoda, taufan, lembah, petualang, pertemuan, jejak, lancip sunyi, rimbun kata-kata ambyar jadi mantra. Bukankah waktu terkait subjek (dan objek), juga metafisika kehadiran (masa silam, kini dan masa depan), berikut kelahiran-kematian?

Apa yang Heidegger katakan perihal bahasa metafisika barat tidak lagi mampu menangkap ‘Ada’ (faktisitas—keterlemparan) dan tersebab itu baginya penciptaan bahasa sendiri, juga bahasa puisi (poiesis), mendapat tempat tertinggi dalam sublimasinya. Juga ketiadaan, sama sekali tidak berarti tak adanya, sebagaimana kelahiran tidak dan tak pernah merupakan hal yang telah lewat dalam arti tidak ada lagi. Begitu juga kematian, bukanlah hal yang belum ada.

Kutipan puisi di atas bisa dibilang membincang kematian kata, peniadaan subjek, atau sublimasi yang terus menerus diciptakan dengan berupa perpindahan juga imaji-imaji dari satu metafor ke metafor lainnya. Yang tersebab itu, puisi adalah peristiwa, suasana, kondisi sebagai sebentuk nyanyian keabadian.  “Semuanya mesti dikekalkan lewat nyanyian!” tulis Tjahjono Widijanto—penyair peraih sejumlah penghargaan diantaranya dari Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Perbukuan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional itu—dalam puisi Mangangimparu (Hal. 74).

Pada konteks sajak-sajak suasana, pernyataan Afrizal Malna bahwa ‘apabila subjek (aku-lirik) yang biasa hadir sebagai pusat pemberi makna telah ditiadakan dalam puisi, maka yang tinggal hanyalah suasana,’ bisa diterima. Ada cukup banyak puisi-puisi dalam buku ini yang demikian. Kiranya, pada titik ini, bahwa buhul yang padu dari kondisi (cinta)—dalam arti ia dapat hadir dan menghilang, juga suasana, peristiwa, pengembaraan-musafir-pencarian-pengasingan diri sebagai visi hasrat mengenal bayangan Tuhan, adalah pukau puisi-puisi Tjahjono Widijanto dalam buku ini.

Tentu, siapapun penafsir, pembaca kritis yang bersetia mengintai puisi akan terus menjadi pemburu bagi lebih banyak lagi daya pukau setiap puisi yang elok, murup lagi moncer.[]


Penulis:

S. Jai.  Lahir di Kediri, 4 Februari 1972.  Pengarang sejumlah novel. Yang terbaru, Ngrong (2019), masuk 10 besar penghargaan sastra nongkrong.co award 2021. Novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jatim (2012). Penerima Penghargaan Gubernur Jatim (2015), Peraih Penghargaan Sotasoma dari Balai Bahasa Jatim untuk buku kritik terbaik, Postmitos (2019).  Tinggal di Lamongan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *