Puisi
Puisi Ranang Aji SP

Puisi Ranang Aji SP

KITAB KEJADIAN

Seribu tahun itu hanya sehari dari bumi ke kaki Arasyi
melalui kepak sayap diberkati. Di sana, tak ada tata surya memberi tanda waktu dan cahaya.

Alam semesta semula hanyalah asap nebula, dibuat hanya enam hari kerja dalam waktu bukan manusia. Tak ada cacat dari hamparan bumi hingga atap langit berhias bintang-bintang. Semua dengan keseimbangan. Itu hanya dilakukan satu Tuhan yang cermelang.

Ketika Adam hendak diciptakan, para malaikat heran. Mereka bertanya mengapa Kau ciptakan mahluk yang gemar menumpahkan darah di darat dan lautan. Aku punya ilmu, kata Tuhan, dan tahu segala tujuan. Malaikat diam, tunduk pada segala keputusan.

II

Manusia hidup dengan peradaban. Semua ditata serupa lipatan kain yang rapi. Kemakmuran membawa kita pada seni. Musik, tari dan puisi. Orang-orang bersapaan di pagi hari. Padang-padang dan taman membentang tumbuh rumput, kembang dan turi. Jari-jari lentik perempuan bercincin berlian, disapa lelaki dengan sopan. Itulah yang dicari setiap insan. Sebuah cermin surga tanpa perkara.

Tapi kehidupan adalah ujian dan perkara.

Manusia adalah jiwa yang cemas, takut kehilangan dan akhirnya saling menindas. Harga diri penuh duri, semua keseimbangan alam dicuri. Hutan-hutan digunduli, laut dicemari, dan dengan itu pundi-pundi diisi dengan nafsu saling menguasai. Industri menjadi inti, perang pun terjadi, dan kemanusiaan terkebiri. Setiap orang saling asing sendiri.

Manusia membawa dengki Qabil dalam jiwanya. Membunuh Habil karena kabut hitam menutupi. Seperti Iblis yang dengki, seperti Parno yang iri pada mobil Damhuri. Seperti Iago yang membalas dendam pada Othello.

Semua iri dan dengki adalah cemburu tanpa akal, tanpa nurani, tak tahu salah sendiri menggali lubang kubur sendiri. Manusia lupa pada tujuan kehidupan. Bertengkar karena berebut impian. Mati terkubur dalam kuburan.

Semesta alam pun bergetar. Manusia menjerit dalam penderitaan. Perang dan bencana alam.

III

Beribu tahun kemudian, Hedeigger, Albert Camus dan Sartre hingga Sastro Edan membuat kesimpulan: kita hanyalah insan yang terlempar keluar – tak berdaya di hadapan alam. Menerima lingkar takdir seperti Oedipus yang tak pernah diinginkan. Buta dan mati dalam penyesalan.

Lupa bahwa Tuhan punya tujuan.

Tak kuciptakan jin dan insan kecuali untuk ibadah.

CARPE DIEM NENEK

di halaman depan masa lalu, rumah ibu adalah bentik dan kasti, menjerit kaki dan mulut anak-anak sebaya, lalu pecah kaca kena bola.

keringat jatuh, keluh mengantar

takut dan tawa adalah senyawa – seperti sekutu dalam perang dunia – sembunyi di balik semak berpura-pura.

angin berputar, dan aku berlari bersama anak-anak sebaya

mencari suaka di kali batas desa. tapi malam akan segera tiba, dan anak-anak kembali dengan segenap rasa dosa.

ayah diam di sudut ruang, dan ibu berkacak pinggang dalam bingkai jendela

setiap permainan ada kesenangan, tapi risiko adalah kehidupan, nenek bersuara jauh dari kedalaman perjuangan hidupnya.

inilah hidup, katanya.
carpe diem!
carpe diem!
ada puisi jatuh bersuara dari sakunya
bunga mati hidup kembali
Ibu tak jadi bicara, ayah diam saja
dan aku
tertawa.

catatan: carpe diem, (Latin: “petik hari” atau “rebut hari” ) frase yang digunakan oleh penyair Romawi Horace untuk mengungkapkan gagasan bahwa seseorang harus menikmati hidup selagi bisa

 

TEPIAN NDORO DONKER

Di tepian Ndoro Donker ada irama senja, angin mendayu, sepotong lagu ditiru, dan ingatan tersipu. Secangkir teh di meja, manis tanpa gula. Kita duduk menatap cakrawala. Mengenang lawatan pada bukitbukit tua, dan kejengkelan tak reda pada catatan van de Vlies yang sirna. tapi, di sini, di tepian Ndoro Donker, pada pukul lima, daundaunan berguguran, dan sajaksajak bertumbuhan.

 

RENTANG JARAKMU

jika kau pergi lewati padang awan. mungkin akan ada yang kau kenang: bau harum cinta di kening bumi pada abad-abad lalu, tentang sebait puisi Rumi, hidup dalam keabadian.

dan bila harus kumengenangmu dalam takdir yang pasrah dan nakal, maka, sempurna jauhmu adalah waktu tak bertanggal, terlentang di  sepanjang ingatan.

KESIA-SIAAN

pada nozqa

setiap ragu mengasah pisau, hatimu membelah tanya, cintapun dipertanyakan keadaannya, mengingatkan

semusim telah kita singgahi, tanah basah diguyuri hujan, padanya tumbuh retas biji-biji menghijau berulam bunga pada pucuknya, kau di sana membagi kesuburan tanah, lantas menggemburkan hatiku, menjadi rahasia.

saban kali mendaki terjal perjalanan hidup, aku menghirup nafasmu memanjangkan langkah dan menari bersama waktu, mengimani mimpi mati rebah dalam tanah percintaan bersamamu.

melunasi kesepian samudra mengantar perahu-perahu melabuhi pinggir pantai, pun matahari pagi, luruh dalam genggam dan tali hubah. kita bercinta pada setiap ruang.

tetapi setiap kali angin berulah, kecemasan membekukan niat, setiamu laksana kesia-siaan godot memanggung bloking yang senyap, kau pikir beban batu pada punggung sysipus adalah kutuk pada gunung jiwamu, terberai

hatiku di sini retak oleh tak percayamu membawa satu-satunya arah sedang aku sibuk mengurai rantai, tanganmu membelah. maka kulepaskan genggam. menjadikanmu terbang, melingkupi kota-kota agar hinggap pada takdir jawabmu sendiri.

NEBULA

cahaya merangkum pesona debu
lahir teka-teki asal dan muasal
kelahiran dan kematian []


Penulis:

Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya “Mitoni Terakhir” diterbitkan penerbit Nyala (2021).

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *