Cerpen
Binatang Bermata Hijau, Berwajah Melati

Binatang Bermata Hijau, Berwajah Melati

TELAH aku tenggelamkan dalam-dalam ular itu; binatang bermata hijau, berwajah melati itu, ke dalam lautku paling dasar.

***

Entah sudah berapa kali hingga aku tak mampu menghitung lagi. Tiap-tiap aku bersikeras mencari jejak tentang lelaki yang berhak melakonkan sosok ayah bagiku pada ibu. Sejak pertama aku mengenal bahasa hingga dewasa. Selalu dan senantiasa jawaban sama yang keluar dari mulut ibu yang penuh aroma bumbu dendam berbaur kepasrahan itu. Siapa ayahku?

”Ayahmu adalah seekor ular, Nandini! Lelaki bermata hijau yang meneduhkan. Lelaki berwajah melati yang menawan hati. Lelaki yang datang menawarkan sebutir apel pada tiap purnama di keremangan dini hariku yang mengerang lapar itu. Dan, ibu adalah Hawa yang tergoda oleh belitan liar ular itu. Ya… ular itu adalah ayahmu. Lelaki yang mengundang pikat sekaligus mengandung wisa mematikan itu.”

Aku terpaku, tak mampu mencatat kata-kata ibu. Kaku. Tak mampu mencerna lukisan niskala yang digambarkan oleh mulut ibu. Lamat bahkan buram. Hitam. Sebab aku tumbuh di halaman yang tak menyimpan kenangan. Sebuah ruang yang kosong melompong.

***

Laksmi, ibu. Perempuan berparas ratna dan bertubuh kirana khas kembang desa. Itulah sumber dari segala bencana yang akhirnya mewajibkan ibu berperan sebagai perempuan tangguh sekaligus rapuh. Ibu adalah setangkai bunga padma, wangi aromanya menyeruak menusuk hingga ke segala penjuru desa dan kota. Ibu adalah damba tiap pemuda. Banyak yang ingin menghisap sari ibu. Pada suatu purnama datanglah lelaki bermata hijau yang meneduhkan, berwajah melati yang menawan hati. Seorang lelaki yang mengandung pesona. Ibu kepincut lelaki rapi itu. Hingga pada purnama itu dan pada purnama-purnama selanjutnya di keremangan dini hari lelaki itu mendesis, ibu mendesis. Mendesah. Merdu. Saling membelit. Sanggama yang tak suci.

Permainan lelaki memang tak sukar untuk diterka. Setelah sari ibu tuntas tersesap, lelaki itu colong playu menanggalkan ibu. Ketika usia tujuh bulan daging yang diharamkan oleh dogma bersemayam pada rahim ibu. Seterusnya, terlahirlah aku si anak jadah itu. Buah hasil sanggama tak suci itu. Aku anak perempuan yang berkulit sawo muda yang tak berayah, Nandini. Aku membenci ayah, lelaki berwajah melati itu. Tapi tak ingin menangis karena lelaki itu.

Ibu rapuh tapi gurat paras ratna dan tubuh kirana masih melekatinya.

Dan, pada malam-malam selanjutnya. Rumah kecil terpencil yang dikelilingi hutan randu di pegunungan kapur itu selalu hiruk oleh desis ular beraneka rupa. Ular yang bernama Kumawani yang berperut buncit dan seluruh tubuh legamnya ditumbuhi tato yang preman pasar kota, membelit-belit dengan kasar tubuh kirana ibu. Kumawani mendesis keras. Ibu mengejang kesakitan. Ular yang bernama Kumawasis yang berperut sickpack dan bertubuh bersih kekar yang direktur sebuah perusahaan negara, membelit-belit dengan lembut tubuh kirana ibu. Kumawasis mendesis lembut. Ibu mengejang pelan. Dan ular-ular lainnya yang bernama Kumalancang, Kumalangkung, Kumadama, dan Kumacelu saling mendesis. Membaur dengan desis, jerit, dan tangis ibu pada tiap malam hingga remang dini hari tiba. Ibu adalah nirwana bagi para ular yang ingin purnakan berahinya. Semua ular berumah pada ibu.

Aku tumbuh dan bertumbuh bersama desis ular beraneka rupa. Ular adalah lelaki. Lelaki adalah ular. Yang mendesis, menjulur-julurkan lidahnya, dan membelit-belit tubuh kirana ibu.

Ibu adalah pelindung.

Malam basah oleh riwis hujan yang tak juga mereda hingga dini hari tiba. Aku tertidur pulas di depan televisi yang masih menanyangkan sebuah tayangan yang tak berarti. Usiaku masih lima belasan ketika itu. Ketika ada sesuatu merambat pada pangkal paha dan pada ranum payudaraku yang baru tumbuh. Ketika ada yang mendesis di sekitar telingaku. Ketika kurasakan gigil dingin yang mencekam. Ketika rok dan kutangku sudah tersingkap. Aku tersentak. Terbangun, kulihat dua ekor ular berwajah garang dan alim merambatiku sambil mendesis. Aku menangis, menjerit keras memanggil ibu. Ibu terhenyak, keluar dari kamarnya dengan penuh amarah. Ibu sakit. Sudah beberapa malam tak mau melayani ular-ular itu. Dengan penuh amarah ibu menenteng kedua ular itu masuk ke kamarnya. Dan selanjutnya  dalam tangisku kudengar erang keras ibu menahan belitan liar dan desis kedua ular itu yang saling berburu memburu napsu.

Ibu adalah pelindung.

Pada usia kanak-kanak aku kerap merengek, karena tak ada seorang anak sepantaranku pun yang mau bermain denganku. Mereka menganggap aku dan ibuku adalah anjing betina kurapan, sesuatu yang menurut semua dogma adalah najis bagi mereka. Ibu mendekapku, menenangkan tangisku. Aku merasa nyaman dalam setiap dekapnya.

”Kau bukan anak jadah, bukan pula anjing betina kurapan. Kau adalah perempuan tangguh, Nandini. Kau harus merubah garismu,” ibu meyakinkanku.

Ya. Aku sendirilah yang harus mengubah garisku.

***

Kabar tentang keberadaan lelaki bermata hijau yang meneduhkan, berwajah melati yang menawan hati, yang ular itu  akhirnya sampai juga pada vestibula telingaku. Segera kuniatkan ancang langkah untuk menemuinya. Dengan segenap tekad yang membulat kuberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah lelaki itu. Sosok lelaki bermata hijau, berwajah melati muncul antara dua daun pintu yang terbuka. Ya, sosok seorang lelaki yang sama persis seperti sosok lelaki yang digambarkan ibu padaku. Dan aku merasakan getaran tak biasa, dan sangat meyakini sosok lelaki inilah ayahku. Karena sorot matanya sudah aku kenal dan hapal sejak aku masih dalam rahim ibu.

”Ayah…”

”Sipakah kau berani memanggil aku ayah!” jawab lantang lelaki itu.

”Aku Nandini anak ibu Laksmi, ayah…” suaraku serak sambil menahan sedu yang tak tertahan.

”Aku tak mengenal siapa Laksmi? Siapa kau?”

”Alpakah ayah pada sosok perempuan berwajah ratna dan bertubuh kirana itu? Alpakah ayah pada suatu purnama itu dan pada purnama-purnama selanjutnya di keremangan dini hari pada sebuah rumah kecil terpencil yang dikelilingi hutan randu di pegunungan kapur itu? Ayah dan ibu mendesis. Mendesah. Merdu. Saling membelit pada sanggama yang tak suci. Dan, akulah buah dari sanggama yang tak suci itu. Alpakah ayah ketika begitu saja meninggalkan ibu dan aku ketika masih berusia tujuh bulan dalam rahim ibu? Alpakah ayah akan semua itu?” suaraku semakin serak dan sedu semakin tak tertahankan.

”Sekali lagi aku tak mengenal siapa Laksmi? Apalagi kau? Segeralah pergi dari sini! Atau aku akan berteriak maling, agar semua orang datang dan menghakimimu!” teriak lelaki itu sambil menyodorkan segepok uang seratusan ribu.

”Baiklah, aku akan segera pergi dari sini. Aku hanya butuh pengakuanmu, lain tak!”

Sodoran segepok uang seratusan ribu itu aku tangkis. Berhamburan di udara bagai beribu-ribu serpihan kertas petasan yang meledak di kepalaku. Mendung pekat bergelayut. Meluncur deras air dari kantung mataku yang sudah tak mampu terbendung lagi.

***

Kemarau parau. Tanah-tanah rekah. Daun-daun jati berjatuhan. Ranggas. Buah mahoni bengkah. Polong-polongnya berhamburan bagai kitiran luruh ke tanah. Kubunuh kering menyayat-nyayat ini. Agar tak ada lagi kerinduan kepada seorang ayah. Seperti ibu membunuh kerinduannya pada lelaki ular itu. Bagi ibu cinta lelaki ular itu hanyalah sekaleng kematian yang memesona.(*)

Omah Kinanthi, Agustus 2022


Penulis:

Heru Prasetyo menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang. Menulis puisi, cerpen, dan melukis. Cerpen-cerpennya termuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terhimpun dalam beberapa buku antologi puisi bersama dengan penyair-penyair lainnya. Pada Tubuh Tu(m)buh Batu, (2018) merupakan buku kumpulan puisi pertamanya. Kerap mengikuti pameran seni rupa di Semarang, Pekalongan, Solo, Magelang, Yogyakarta, dan Bali. Kini sedang belajar membaca, menulis, dan merupa di Omah Kinanthi, Gunungpati, Semarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *