Esai
Ejaan dan Puisi

Ejaan dan Puisi

Pada suatu masa, buku berisi puisi-puisi gubahan Chairil Anwar diterbitkan lagi oleh Grasindo dan Gramedia Pustaka Utama. Buku itu laris. Konon, buku penting dipelajari di sekolah dan perguruan tinggi. Buku untuk acuan bagi orang-orang ingin menjadi penggubah puisi atau pengamat sastra. Buku berpenampilan apik. Ada edisi sampul keras atau tebal. Pembaca biasa memandangi foto atau gambar Chairil Anwar dipasang di kulit muka.

Buku-buku bunga rampai susunan HB Jassin dan Ajip Rosidi pun mengalami cetak ulang. Kita mengingat edisi bunga rampai pada masa lalu menjadi andalan penerbit Balai Pustaka, Gunung Agung, dan Pustaka Jaya. Buku-buku tebal mengingatkan sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia. Di situ, kita menemukan puisi-puisi lama digubah sejak 1920-an.

Kita membaca puisi-puisi ditulis puluhan lalu. Ada puisi malah berusia seratus tahun. Kita tak terlalu sulit membaca gara-gara penerbitan ulang buku-buku itu menerapkan EYD. Gubahan puisi mengalami perubahan demi ejaan ditetapkan pada 1972. Konon, EYD menjadi bukti kesaktian rezim Orde Baru. Kita mengerti EYD memang menjadikan penampilan beragam gubahan sastra masa lalu berubah. Hal terpenting dalam ejaan.

Citarasa kelawasan atau kesilaman kadang berkurang saat kita membaca dalam ejaan baru atau akibat penerapan EYD. Kita merasa puisi-puisi itu berdatangan “kemarin”, bukan puluhan tahun lalu. Cara penulisan tampak berbeda. Citarasa terpengaruhi lagi dari pilihan jenis huruf saat dicetak dalam buku meski kita mengetahui ada puisi-puisi tulisan tangan dan hasil mesin tik.

Sekian hari lalu, ribut terjadi di sastra Indonesia. Kita agak kaget membaca tulisan mendapat pujian dari tim juri di Dewan Kesenian Jakarta. Tulisan itu dinamakan kritik sastra. Di situ, penulis mengurusi puisi Chairil Anwar. Ia tampak hebat dengan memberi penjelasan-penjelasan, termasuk masalah ejaan. Kita membaca masalah ejaan buatan Ch A van Ophuijsen dan gubahan puisi oleh Chairil Anwar pada 1943. Ejaan termasuk masalah (agak) penting dalam kritik sastra dengan latar masa lalu.

Kita iseng saja membuka lagi buku lama meski bukan edisi awal. Pada suatu hari, Kitab Logat Melajoe susunan Ch A van Ophuijsen berhasil dibeli dari pedagang di media sosial. Buku dalam kondisi baik tapi sampul hilang. Ada keterangan di bagian bawah: Landsdrukkerij, Weltevreden, 1929. Buku cukup tua meski orang mengacu ejaan mendapat sebutan nama orang itu berlaku 1901. Kita belum berhasil mendapat buku edisi tertua.

Buku pantas terbaca mumpung kita sedang mendapat kabar dari pihak pemerintah mengenai EYD (2022). Konon, ada sedikit perubahan dari pemberlakuan EYD, 50 tahun lalu. Kita masih bermasalah dengan ejaan.

Ch A van Ophuijsen menerangkan: “Adapoen goena Kitab Logat Melajoe ini akan menjatakan rangkaian hoeroef dalam kata Melajoe dan dalam kata asingpoen, jang soedah lazim dipergoenakan oleh orang Melajoe, djikalau kata-kata itoe disoeratkan dengan hoeroef Belanda.”

Orang pintar itu memberi penjelasan panjang mengenai “oe”. Kita ingat puisi-puisi Chairil Anwar ditulis dengan “oe”. Kita mengutip berharap agak mengerti: “Boenji oe jang kedengaran dalam kata boeroe, soeroe, biasa dinamai oe benar, dan boenji oe seperti jang kedapatan dalam kata betoeng, reboeng, saroeng, dsb, diberi bernama oe lemah.” Dulu, masalah ejaan itu serius dan rumit.

Kita perlahan mengerti bila ada kata-kata dalam puisi gubahan Chairil Anwar berkaitan dengan ejaan seperti diterangkan Ch A van Ophuijsen: “itoe, roeboeh, akoe, roepa, loeka.” Kita juga ingat ada penulisan menggunakan ejaan berlaku awal abad XX: “mengoetjoer, tanja, berkatja, terbajang.” Kita mungkin memilih membaca puisi-puisi Chairil Anwar dalam ejaan lawas untuk mendapatkan kedekatan dengan masa lalu. Kita justru sering mendapatkan buku-buku memuat puisi-puisi Chairil Anwar dengan EYD, berlaku sejak 1972.

Kenikmatan membaca mungkin masih terasakan bila kita membaca puisi-puisi Chairil Anwar dalam ejaan Soewandi (Republik), berlaku sejak 1947. Ada perbedaan dengan ejaan dibuat Ch A van Ophuijsen tapi sedikit. Kita mula-mula ragu setelah membaca kata-kata tak lagi ditulis dengan “oe”. Di hadapan mata, penulisan berubah: “itu, rubuh, aku, rupa, luka.” Sesuatu mungkin menghilang. Sesuatu itu “tergantikan”.

Pada 1972, terbit buku kecil dan tipis berjudul Pedoman Edjaan Bahasa Indonesia Jang Disempurnakan. Buku diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudajaan. Buku sudah berusia 50 tahun. Kondisi masih utuh. Buku diperoleh di pedagang buku bekas dengan harga 10 ribu rupiah. Buku bersejarah tapi murah.

Kita membaca keperluan-keperluan diadakan ejaan baru diakui sebagai “penjempurnaan” dari ejaan berlaku sejak 1947: “(1) menjesuaikan edjaan Bahasa Indonesia dengan perkembangan Bahasa Indonesia; (2) membina ketertiban dalam penulisan huruf dan tanda batja; (3) memulai usaha pembakuan Bahasa Indonesia setjara menjeluruh; (4) mendorong pengembangan Bahasa Indonesia.”

Ejaan itu berlaku. Orang-orang mengenali dengan sebutan EYD. Buku-buku pernah terbit masa lalu bila cetak ulang “diwajibkan” menerapkan EYD. Sekian hal menghilang dan menjadi milik masa lalu saja. Kita mulai membaca kata-kata dalam puisi Chairil Anwar sesuai EYD: “mengucur, tanya, berkaca, terbayang.” Kita merasa ada perbedaan kenikmatan gara-gara ejaan.

Dua buku berbeda usia itu masih ada dan terbaca. Kita teringat setelah ada orang-orang ribut dengan tulisan dianggap kritik sastra memuat masalah penggunaan ejaan dalam puisi gubahan Chairil Anwar. Kita mengaku bingung dan memerlukan penjelasan-penjelasan masalah ejaan dan puisi dari para ahli atau kaum pintar. Kita mengaku sering salah dalam berpendapat dan mudah sesat dalam berpikir. Begitu.


Penulis:

Bandung Mawardi. Penulis buku Nostalgia Bahasa Indonesia: Pelajaran dan Bacaan (2022)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *