Resensi Buku
Upaya Menggali Kenangan di Kampung Halaman

Upaya Menggali Kenangan di Kampung Halaman

Judul : Penggali Sumur
Penulis : Selo Lamatapo
Penerbit : Ikan Paus
Cetakan : Januari 2022
Tebal : 171 halaman
ISBN : 978-623-5863-00-9

Menggarap 15 kisah dalam buku kumpulan cerita pendek karya Selo Lamatapo adalah suatu manfaat yang besar dan bernilai bagi saya untuk menggali pengalaman hidup di kampung halaman serentak membaca perubahan yang terjadi di kampung halaman. Dalam buku ini, Leo Kleden dalam komentarnya mengungkapkan bahwa 15 cerpen yang ditulis oleh Selo Lamatapo merupakan dokumen tentang aktivitas seseorang yang menggali pengalamannya sendiri tatkala hidup dalam kampung halaman sebagai dunia dengan selubung pesona. Sementara Charles Beraf dalam prolog buku ini, menyadari bahwa membaca buku ini seperti seseorang yang sedang bersaksi tentang keseharian yang bermakna.

Bersama dengan Selo Lamatapo, pria kelahiran Flores Lembata ini, saya sepertinya tidak hanya membaca dokumen dan bersaksi tentang kampung halaman tetapi mengajak saya juga untuk “Pulang” ke kampung, “bermain” di kampung halaman dan “tinggal” dalam kampung halaman. Dalam tulisan ini saya berusaha mendalami beberapa cerita pendek yang menurut saya kuat memahami refleksi tentang kampung halaman.

Pulang ke Kampung Halaman
Pulang dalam KBBI artinya pergi ke rumah, ke tempat asalnya, atau kembali. Dalam buku ini Selo memaknai pulang dalam dua arti yakni pulang ke rumah untuk bersatu dengan keluarga dan pulang sebagai bentuk cinta akan tanah leluhur. Hal itu dilihat dalam cerpen “Pulang,” mengisahkan tentang Ben Laga yang pulang dari perantauan.  Ben Laga pulang ke kampung halamannya untuk bertemu dengan orang tuanya. Sesampainya di sana ia merasa terasing karena adanya perubahan di kampung tersebut. Perubahan mulai terjadi dari pembangunan, faktor pertumbuhan masyarakat, ekonomi, tetapi satu hal yang masih terasa, yakni kekeluargaan dan adat masih melekat. Hal menarik yang dilihat dari sisi “Pulang” adalah tekad.  Ben Laga merasakan bahwa bagaimana pun ia ingin kembali di kampung halaman, maka  sesuai tradisi di kampung, tua-tua adat akan melakukan ritus adat pemanggilan arwah Ben Laga yang meninggal setahun yang lalu, agar Ben Laga yang sekarang bisa hidup baru. Cerita ini menarik sebab Selo mengungkapkan makna pulang yang baik. Pulang tidak sekadar hadir bersama keluarga, tetapi juga menyatu dengan alam dan budaya di kampung. Seperti yang dituturkan ayah Ben Laga: Hujan adalah air mata leluhur, air mata nenek moyang yang telah berpulang, Ben. Mereka tak akan biarkan kita kelaparan. Itu alasannya Ayah akan selalu berlama-lama di gubuk kebun dan melihat hujan bekerja membasahi jagung, kacang tanah, dan padi yang hanya sepetak (hlm. 66).

Berbicara tentang kampung halaman, tidak terlepas dari kebun, jagung, padi, adat dan kesederhanaan masyarakat di kampung. Selo tidak hanya mengungkapkan kepulangan tetapi juga menyebut kampung halamannya.  Di cerpen “Lelaki yang Ingin Menjadi Laut” penulis mengambil latar tempat Waiteba dan Pulau Siput Awololong. Waiteba terletak di kampung si penulis yaitu pulau Lembata kecamatan Atadei. Sementara Pulau Siput Awololong adalah salah satu tempat destinasi di pulau Lembata.

Menyebut kampung halaman, selalu ada ingatan yang menjelma rindu. Dalam satu kisah Selo mengingatkan kita akan kerinduan masyarakat di kampung halaman yakni rindu listrik, jalan aspal, dan air bersih. Kita dapat merasakannya melalui cuplikan kalimat ini: Kalau nanti pemilihan pemimpin yang baru, jangan lupa pilih pemimpin saat ini ya, Nak? Beberapa hari yang lalu, ia menjanjikan kampung kita akan mendapatkan dana untuk perbaikan jalan yang tersisa, listrik masuk desa, dan air bersih (hlm.112).

Bermain di Kampung Halaman
Dalam KBBI, halaman selalu berarti dua hal, yakni halaman buku dan halaman yang merujuk pada pekarangan rumah. Pada buku ini, Selo ingin mengajak kita bermain di kampung halaman. Penulis mengajak kita bermain dengan dua hal “mengingat” kebersamaan dan “menyadari” bersama. Membaca buku kumpulan cerita pendek karya Selo Lamatapo seakan membawa kita mengingat kembali pengalaman hidup di kampung halaman. Penulis memberikan ruang nostalgia yang tidak hanya mengingatkan kita tentang kebersamaan di kampung halaman tetapi juga turut serta memberikan pencerahan akan suatu perubahan, pergeseran yang terus terjadi. Salah satu cerita tentang “Bale-Bale Marianus” menyoroti tentang tempat bermain anak-anak di kampung. Di bale-bale (tempat duduk yang terbuat dari anyaman bambu) itu, tersimpan rasa sukacita bagi Marianus dan anak-anak di kampung. Sayangnya seiring berjalannya waktu, pohon-pohon di sekitar bale-bale itu ditebang dan sejak saat itu anak-anak tidak lagi bermain di sana. Perubahan itu menjadi salah satu peristiwa nyata yang dialami di kampung, akibat dari kerusakan lingkungan atau sikap egois, mengakibatkan orang mulai jauh dari kebersamaan. Menyambung soal kebersamaan, Selo melukiskannya melalui kisah “Penggali Sumur”.

Keberadaan sumur yang terbuka menghadap ke langit itu tidak hanya memperpanjang hidup kami di musim kemarau, tetapi menumbuhkan cinta, persaudaraan, keakraban, dan kebersamaan di kampung kami (hlm. 2).

Dulu sumur menjadi tempat di mana orang-orang di kampung merayakan kebersamaan. Selain menimba air, di sana letak mereka bersukaria bersama karena hanya ada beberapa sumur di kampung. Adanya sumur itulah, kehidupan masyarakat di kampung terpenuhi dan di tempat inilah masyarakat menjalin keakraban. Seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat yang membuat sumur di rumahnya masing-masing. Tindakan ini membuat situasi di kampung turut merasakan perubahan, Tidak seramai dulu lagi, Nak semua orang sudah mendapatkan air dari sumur di rumahnya masing-masing. Mesin-mesin telah menggantikan tenaga manusia, Nak  (hlm.7). Sebuah penyesalan yang lahir dari Om Banus ini adalah suatu penyadaran bahwa kemajuan teknologi membawa manusia pada tataran egois. Keegoisan ini yang membuat situasi  keakraban masyarakat di kampung mulai menghilang.

Penyesalan itu terjadi juga dalam cerpen “Warisan Om Sopir”. Dalam cerpen tersebut muncul suatu penyesalan di mana Selo membandingkan kebersamaan anak-anak di masa lampau dan situasi sekarang. Dulu anak-anak suka naik mobil SETIA KAWAN milik Om Tanis sambil tertawa ria. Sekarang situasinya mulai berbeda, mobil angkutan desa SETIA KAWAN kini tidak lagi dihuni oleh anak-anak.  Mereka lebih menyibukkan diri dalam kesendirian alias hidup dalam kepungan teknologi, seperti media sosial, game online dan lain sebagainya. Adanya teknologi masuk kampung membawa dampak perubahan yang besar. Hilangnya kebersamaan tidak hanya terjadi di mobil angkutan desa, tetapi juga di tempat-tempat lain seperti sumur, di jalan setapak, di teras-teras rumah, dan di sekitar kampung menjadi sepi lantaran mesin-mesin telah bekerja menggantikan manusia. Suatu pertanyaan muncul di sini: Dapatkah kebersamaan itu akan terjalin lagi? Hanya nostalgia yang bisa kita lakukan.

Bermain di kampung, tidak hanya soal kebersamaan yang kini terlihat dikikis oleh zaman. Sejenak kita juga diajak oleh Selo untuk melihat keberadaan budaya atau tradisi leluhur. Berbicara tentang kampung halaman tidak akan terlepas dari kebudayaan yang merupakan warisan leluhur seperti kepercayaan, mitos atau adat istiadat. Selo mengisahkan sebuah cerita pendek berjudul “Lubang Besar di Hutan Tebu”. Si Sarinah meyakini adat bahwa binatang seperti kucing dan tikus ketika dibunuh dan dikuburkan secara tidak layak maka orang itu juga akan mengalami nasib yang sama. Hal itu yang dialami Tohar (suami Sarinah). Suatu ketika Tohar membunuh kucing dan tikus di rumahnya dan menguburkan binatang-binatang itu secara tidak hormat. Di akhir cerita Tohar dibunuh oleh orang lain dan diperlakukan sama seperti Tohar memperlakukan binatang sebelumnya. Satu pertanyaan untuk hal ini, masihkah kita mempercayai adat istiadat kita?

Tinggal di dalam   Rumah
Melihat banyaknya perubahan dan pergeseran yang terjadi  di kampung halaman. Sudah saatnya kita kembali dan tinggal di rumah, sebab rumah merupakan satu-satunya tempat yang tidak hanya menjadi tempat tinggal tetapi letak dasar seseorang mengenal dirinya. Karena rumah adalah fondasi dasar tumbuh kembangnya seseorang dalam masyarakat. Rumah itu adalah tempat awal sukacita itu terjadi.

Om Banus merasakan itu, setelah sekian tahun menjadi penggali sumur dan melihat kebersamaan di kampung mulai menghilang Ia pun membuat suatu pemahaman baru tentang kebahagiaan. Om Banus meninggalkan pekerjaannya sebagai penggali sumur dan kemudian beralih profesi menjadi tukang cukur di rumahnya setelah istrinya dibunuh secara bengis. Mengapa di rumah? Pertanyaan ini seakan memberikan ruang pemahaman baru, bahwa rumah tak sekadar tempat untuk tinggal, tetapi tempat untuk membagikan kebersamaan, sukacita yang begitu besar.

Dalam cerita, dikisahkan bahwa ruangan cukur Om Banus itu dipenuhi buku-buku, majalah, koran dan cerita-cerita rakyat (hlm.126) dan setiap kali ia mencukur rambut pelanggan, ia menghibur pelanggan dengan bercerita dan melawak. Hal ini yang membuat pelanggan selalu senang berada di rumah cukur Om Banus.

Pada titik terakhir, Selo sepertinya tahu bagaimana masyarakat di kampung harus hidup dalam kebersamaan lagi. Hidup dengan sesama dan hidup dengan leluhur. Di sini Selo memberi makna kehidupan seperti tungku api di rumah. Ia menggambarkannya dalam cerpen “Menjaga Api”.

Menjaga api di tungku sama halnya menjaga kehidupan. Tidaklah mudah. Ia menuntut pengorbanan, kesetiaan, tanggung jawab, dan cinta. Jika kita melalaikan salah satunya, maka kita menuai kesia-siaan. Karena itu, kamu harus selalu berproses sampai matang. Jangan terburu-buru, berusahalah menjaga api di tungku dengan baik agar tiada kesia-siaan mendatangimu, anak-anakku (hlm.122).

Bale-bale, sumur, kebun, rumah, tungku api dan adat adalah beberapa simbol yang mewakili kehidupan dalam kampung halaman. Di saat zaman terus membuat kita berubah, bukan berarti kita pun turut menghilangkan kehidupan itu, tetapi merawat kehidupan itu agar kebersamaan, sukacita dan kedamaian selalu terjadi seperti dulu. Sebab di kampung halaman, Om Banus selalu berbisik “Kalau boleh meminta, maka aku ingin kebersamaan kita kembali seperti dulu lagi.” []


Penulis:

Yohan Mataubana lahir di Kupang. Sekarang sedang menjalani masa pendidikan di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledaleo. Buku tunggalnya “Berakhir Pekan di Matamu (2021). No Hp: 081238358085.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *