Resensi Buku
Cara Menulis Sang Legenda

Cara Menulis Sang Legenda

Judul  : Belajar Menulis Mulai dari Hal yang Paling Sederhana
Penulis : Ernest Hemingway
Penerjemah : Sasti Gotama
Penerbit : Circa; Cetakan Pertama, Juli 2022
Ukuran : xii + 126 hlm; 12 x 18 cm
ISBN : 978-623-7624-88-2

Di majalah Siasat edisi Juni 1948 akan kita temui esai bertajuk “Serba Manusia dalam Roman Ernest Hemingway”. Esai ditulis oleh Asrul Sani dan disinyalir yang pertama memperkenalkan nama Ernest Hemingway ke publik Indonesia. Asrul menggambarkan Hemingway sebagai sosok ampuh dalam dunia sastra, “Gambaran yang dilukiskan Hemingway bukanlah gambar yang dilukis atas kain, tetapi pandangan-pandangan yang hidup. Ia senantiasa mengajak pembaca menyaksikan dan menyertakan kejadian-kejadian itu sendiri. Dan ia berhasil dalam hal ini.” Asrul juga mengabarkan bahwa Hemingway adalah penulis yang melahirkan narasi-narasi berekstase tingkat tinggi.

Nama Hemingway menjadi lebih masyhur tatkala pada tahun 1953, salah satu karyanya diganjar Hadiah Pulitzer serta Hadiah Nobel Sastra “untuk penguasaan gaya seni narasi yang kuat” pada tahun berikutnya, 1954. Terjemahan atas karya-karyanya ke berbagai bahasa menjadi marak, pembacanya pun menjamur dimana-mana.

Dari para pembaca yang banyak itu, kita menemukan dua kutub yang saling berlawanan. Selain kutub pecinta Hemingway, pembaca yang memiliki alasan yang sama seperti Asrul Sani tadi, ada kutub lain yang menganggap bahwa Hemingway bukanlah seorang sastrawan seperti yang digadang-gadang. Alasannya mungkin terwakilkan oleh pernyataan John Irving ketika diwawancarai oleh Pamela Paul (2014), “Tulisannya berisi pernyataan yang tidak memiliki ruang bagi imajinasi sastra; hal yang demikian lebih dianjurkan untuk jurnalis, bukan untuk novelis atau penulis naskah.”

Terlepas dari polemis tersebut, kita tahu bahwa kedua kutub tersebut sama-sama sepakat dalam satu hal, yaitu karya-karya Hemingway sangatlah realistis dan simplistis. Dan ini menggelitik rasa penasaran kita untuk menengok proses-proses kreatif Hemingway dalam melahirkan karya-karyanya.

Buku berjudul Belajar Menulis Mulai dari Hal yang Paling Sederhana terbitan Circa ini agaknya bisa mengobati rasa penasaran tersebut. Buku berisi potongan catatan wawancara dan surat-surat pribadi yang memberi gambaran bagaimana, kapan, dan dimana Hemingway menulis. Pembaca dibuat berharap bisa memetik sedikit banyak pelajaran dari penulis The Old Man and The Sea.

Emosi
Dalam karya-karyanya, sangat jarang kita temui bahasa mendayu-dayu. Dan Ia berusaha membuang jauh-jauh mitos sastra tersebut. Sebelum menulis cerita, kata Hemingway, “kucoba membayangkan dunianya secara utuh atau sejauh yang dapat kupahami. Aku selalu memadatkan tinimbang mengulur-ulurnya.”

Hemingway, Sang Realis ini, selalu berusaha menjadikan dirinya sebagai demiurge –yang menciptakan sebuah dunia, di mana pembaca dibuat seolah bisa berjalan-jalan di dalam dunia tersebut. Karena baginya, “tulisan yang bagus adalah tulisan yang nyata.” Ketika seorang menulis, nyata tidaknya cerita sebanding dengan jumlah pengetahuan perihal kehidupan yang ia miliki dan seberapa bersungguh-sungguhnya dia, sehingga ketika ia mengarang sesuatu, hal tersebut seperti benar-benar terjadi.

Hemingway, rupanya juga menolak simbolisme dalam sastra yang justru banyak digunakan oleh para penulis karya sastra. Laut adalah laut. Lelaki tua adalah lelaki tua. Ikan hiu sepenuhnya ikan hiu, tak lebih dan tak kurang. Kata dia, “semua simbolisme yang dikatakan orang-orang adalah omong kosong. Apa yang kamu persepsikan itu karena kamu memahaminya begitu.” Dan ia berulang kali mengingatkan hal tersebut. Pokoknya, sebuah tulisan harus berlandaskan pemahaman nyata dari penulisnya.

Selain pemahaman nyata yang dirasakan dan bukan yang diharap terasakan, penempatan emosi untuk narasi cerita sangat diperhatikan oleh Hemingway. Ia dengan berusaha dengan cermat untuk menghadirkan sebuah emosi dari setiap adegan-adegan yang ada dalam ceritanya. Katanya, “dalam semua ceritaku, aku coba menyampaikan emosi setiap sisi kehidupan yang sebenarnya, bukan hanya menggambarkan kehidupan atau mengkritiknya, tetapi benar-benar berupaya menghidupkannya.” Oleh karena itu, emosi menyedot pembaca ke dalam narasi cerita, membuat para pembaca merasa bagian darinya bahkan setelah selesai membacanya.

Dalam pada itu, Hemingway telah berhasil menjadi legenda. Ia mampu membentuk ikatan intim dengan para pecintanya melalui karya-karyanya. Keintiman yang terkabarkan oleh majalah Minggu Pagi, 21 November 1954, misalnya. Menggambarkan duka cita atas kecelakan pesawat yang ditumpangi Hemingway beserta istrinya yang keempat. “Matjam2lah pikiran orang waktu itu. Berdjuta2 rakjat Amerika bersedih. Sebab Hemingway termasuk dalam ‘the ten most important person’ di Amerika Serikat… Berdjuta2 pula manusia dibenua lain terkedjut. Berduka tjita.” Kendati rupanya, kabar duka tak bertahan lama. Segera disusul oleh berita bahagia yang menampakan gambar Hemingway bertelanjang dada di hutan Afrika. Pencintanya bahagia berjingkrak sebab penulis kesayangan tak jadi pergi meninggalkan mereka.

Hemingway melalui karya-karyanya juga berhasil menciptakan sebuah fenomena. “Tulisan yang bagus adalah seperti karya Hemingway” menjadi anggapan yang banyak diamini pada masanya, sehingga muncullah fenomena menjiplak karya-karyanya. Dalam majalah yang sama menyebutkan, “Mereka ini mendjiplak sadja tjara luar penulis besar ini. Tetapi lubuk hatinja tidak ditjoba menerdjuninja.”

Sekarang ini, masih adakah penjiplak Hemingway secara luarnya saja? Saya tidak tahu. Namun melalui buku terbitan Circa ini, rasanya tak perlulah menjiplak luarnya lagi. Hemingway telah mengabarkan keseluruhan proses kreatifnya baik luar maupun dalam. Ia bersedia menuntun penulis yang ingin menulis seperti dirinya. []


Penulis:

Ahmad Kurnia Sidik. Penulis, tinggal di Solo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *