Cerpen
Tidak Bisa Menangis

Tidak Bisa Menangis

SORE itu Dasta pergi ke rumah Haki. Seperti biasanya, setiap kali Dasta datang, sikap Haki hampir selalu pasif, bahkan cenderung seperti tidak punya semangat hidup. Namun karena Dasta peduli dengan teman, maka dia tetap berusaha agar Haki tidak bersedih, meskipun untuk itu yang Dasta bisa lakukan sekadar mengajaknya bermain game.

Pun kedatangannya sore itu, namun sikap Haki tampaknya semakin parah, bahkan lebih banyak bengong, dan hampir tidak mau menanggapi setiap Dasta bicara. Ketika Dasta datang, Haki sedang duduk sendiri di kursi teras sembari pandangannya ke depan namun terlihat seperti kosong.

“Kenapa kau lesu begitu?” tanya Dasta sembari menggeser kursi lain  agar bisa duduk berdekatan dengan Haki.

Meski pertanyaan Dasta tak direspons, tapi dia tidak lantas tersinggung, dan tetap bertanya lagi dengan topik lain. Dan ketika beberapa kali pertanyaannya tak juga mendapat tanggapan, Dasta menahan untuk tidak bertanya lagi, tetapi dia tetap berada di dekat Haki sembari tangannya asyik dengan ponselnya. Pikir Dasta mungkin kali itu Haki memang sedang tak ingin bicara.

“Aku merasa di diriku ada yang aneh,” ujar Haki lemas.

“Memang,” sahut Dasta singkat.

“Air mata,” kata Haki lagi.

“Apa?” tanya Dasta sembari menggeser lagi kursinya agar lebih dekat.

“Aku tak punya air mata,” sahut Haki sambil mencoba membuka lalu mengatupkan matanya beberapa kali.

“Bicara yang jelas!” sahut Dasta ketus, sembari tangannya tetap mengoperasikan ponsel.

“Jika ini benar, aku lebih buruk dari orang gila,” kata Haki.

“Bicara apa kau?” Dasta mulai tak sabar karena tak mengerti.

“Kau tahu, orang gila tetap masih bisa menangis, dan menitikkan air matanya, kan?” tanya Haki. Tapi tampaknya Haki tidak bermaksud menunggu tanggapan Dasta, karena dia lebih memilih mengikuti ajakan lamunannya yang mengarah kepada Kimi, teman semasa kecil mereka berdua yang kini menjadi gila. Dulu, ketika Kimi masih sehat, mereka sering pergi bertiga. Namun setelah Kimi pindah rumah, terlebih sejak Kimi gila dan lebih sering berkeliaran di jalanan seperti pada umumnya orang tidak waras, mereka sudah jarang bertemu. Namun tidak sengaja kadang Haki berjumpa dengan Kimi di jalan. Sejenak mereka biasanya saling pandang, setelah itu Haki melihat Kimi tertawa sendiri, dan tak lama kemudian berubah menangis tersedu. Air mata Kimi deras keluar dari matanya. Ketika Haki melihat hal itu menjadi murung, wajahnya seperti meredup. Mungkin Haki merasa iba.

“Terserah kau. Ayolah mulai nge-game,” ujar Dasta.

Sejenak Haki melihat ke arah Dasta, seperti tatapan tidak suka, sebelum akhirnya Haki kembali memandangi jalan. Setelah itu agak lama mereka sama-sama hanyut dalam diam.

“Untuk apa kau ke sini?” tanya Haki dengan nada serius memecah keheningan.

“Njir! Modar tenan! Hah, apa kau bilang?” tanya Dasta, lantas matanya melotot ke arah Haki.

“Apa perlu kuulangi?” timpal Haki dengan tidak melihat ke arah Dasta.

“Loh, kenapa kau ini? Biasalah, kita sparingan. Makanya jangan ngoceh mulu. Ayo!”

“Aku sedang tak ingin, jadi pulanglah.”

“Jangan lebay kau.”

“Lebih baik kau pulang.”

“Maksudmu?”

“Iya, kau pulang saja.”

 “Kau ngusir?!”

“Bukan ngusir, tapi menyuruhmu pulang.”

“Sama saja, Cuk!”

“Aku sungguh-sungguh.”

“Sebentar, Ini ada apa sebenarnya?” tanya Dasta tampak seperti bingung. “Baiklah,” tambahnya ketika Haki tidak segera menanggapi pertanyaannya, hingga tak lama kemudian Dasta beranjak dari duduknya. Ketika Dasta ingin berlalu dari hadapan Haki, lebih dulu Haki mengatakan sesuatu.

“Maksudku aku sungguh-sungguh dengan perkataanku sebelumnya.” Haki melihat ke arah Dasta.

“Baiklah. Aku ngerti. Lain waktu saja,” kata Dasta sambil melangkah pergi.

“Kau belum mengerti juga.”

Dasta menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Haki.

“Aku tak bisa menangis, terlebih mengeluarkan air mata,” ucap Haki lirih.

Dasta mendadak tertawa lepas. “Kau ini aneh.” ucapnya kemudian.

“Aku sungguh-sungguh,” ujar Haki.

“Bukannya lelaki memang sulit menangis? Kau pun pasti tak pernah tahu kapan aku menangis. Jika menangis pun, tidak di hadapan orang banyak,” sahut Dasta sembari kepalanya disorongkan mendekat ke wajah Haki.

“Aku tidak sedang bercanda,” ujar Haki.

“Apa aku kelihatan seperti bercanda?” timpal Dasta.

“Tapi kau tidak tahu maksudku.”

“Baik. Jangan seperti perempuan. Jadi apa maksudmu?”

“Aku benar-benar tidak bisa menangis.”

Sebenarnya terlihat Dasta ingin tertawa lagi, tapi begitu ingat hal itu bisa membuat Haki tersinggung lantas mengurungkannya. “Jika tak ada yang membuatmu menangis, untuk apa nangis segala,” kata Dasta kemudian.

“Kau masih ingat ketika ayahku meninggal?” tanya Haki.

“Bukannya itu sudah hampir setahun lalu?” sahut Dasta.

“Waktu itu aku tidak menangis.”

“Itu namanya kau tegar, Blok!”

“Kau ingat ini?” Haki menunjuk bagian pahanya. Tiga bulan yang lalu Haki jatuh dari motor, kakinya patah dan harus disambung dengan pen.

“Kenapa? Masa kau menangis?” tanya Dasta.

“Bukankah harusnya nangis?” tanya Haki balik.

“Bukankah itu karena ulahmu sendiri? Dan tidak semua kesedihan harus ditanggapi dengan menangis.”

“Yang kutahu, banyak orang hanya karena berbuat kesalahan kecil lalu menyesal sudah bisa membuat mereka menangis.”

“Ketahanan hati setiap orang beda, Bro”

“Lantas peristiwa apa yang sekiranya bisa membuatku menangis?”

Dasta diam sejenak sebelum bicara lagi. “Nah, kalau itu aku tak tahu. Harusnya kau sendirilah yang tahu.”

“Tapi aku tidak tahu.”

“Mungkin kau perlu berpikir di pihak lain.” Ucapan Dasta kali itu membuat hati Haki berdebar.

“Aku tidak mengerti.”

“Ah sudahlah! Mungkin kau benar, sebaiknya aku pulang.” Dasta melangkah pergi.

“Dasta! Tolonglah, Hanya kau teman dekatku, dan mungkin hanya kau pula yang bisa menolongku.”

“Dasta berhenti, memandang ke arah Haki. “Sayangnya aku tidak tahu caranya.” Setelah mengucapkan itu Dasta berlalu.

“Dasta!” teriak Haki. Berulang kali Haki memanggil Dasta.

“Mungkin seperti game, di mana kita sering berbuat salah, di situlah justru yang membuat kita tertantang,” katanya sembari terus berjalan menjauh.

“Apa artinya?”

Dasta menghentikan langkahnya, namun tidak lantas melihat ke arah Haki, “Mungkin kau pernah melakukan sesuatu hingga membuat orang lain menangis hebat. Sesuatu itu mungkin bisa dibilang sebuah kesalahan yang tak termaafkan, dan selama ini kau sengaja tak menyelesaikannya, bahkan mungkin sengaja menyembunyikan, dan hal itu berakibat jiwamu tak pernah bisa rehat. Dan satu-satunya agar jiwamu terselamatkan dan tenang, kau harus berani menyelesaikan masalahmu itu.” Usai mengatakan itu, Dasta berlalu.

Ketika Dasta telah hilang di tikungan jalan, seketika bayangan tentang peristiwa yang merenggut khas senyum Kimi langsung menguasai benak Haki. Dalam rongga pikiran Haki saat itu terbayang rontaan Kimi agar tubuhnya tidak diperdayai.  Haki masih ingat dengan jelas, peristiwa itu terjadi usai Kimi menemui dirinya dan Dasta untuk pamitan. Esok harinya, sebelum Kimi dan ayahnya pindah rumah, Haki menemui Kimi yang sedang sendiri di rumah. Ayah Kimi sedang pergi memberesi rumah barunya. Mereka berdua berbincang di ruang tengah, yang awalnya duduk berjauhan, tetapi akhirnya Haki mendekat. Sementara Kimi diam karena pada dasarnya Kimi memang menyukai Haki. Pada saat itu Haki melihat Kimi yang memakai baju terusan, sesekali roknya sedikit tersingkap.

Awal dari segalanya ketika Haki mencobai Kimi dengan sebuah ciuman kecil di pipi, lantas menuju bibir. Ketika tahu Kimi tidak protes, Haki merasa Kimi telah jatuh dalam genggamannya. Pikir Haki, bila dia ingin melakukan yang lebih dari sekadar ciuman tentu bukan sesuatu yang sulit, dan Haki menuruti kehendaknya itu. Duduk mereka jejer dengan paha berdempetan, perasaan Haki semakin tidak menentu. Haki merasa tak bisa menahan hasratnya. Tangan Haki perlahan mulai memegang bahu Kimi. Pada saat itu Kimi tersipu.

Merasa mendapat angin, sepertinya Haki sudah tidak sabar, lantas tangannya mulai menyusup ke dalam pakaian Kimi. Pada saat itulah Kimi berusaha menghindar, tetapi Haki lebih dulu menyadari keengganan Kimi hingga sifat beringasnya muncul tak pernah Kimi duga. Dengan cepat tangan Haki melumpuhkan Kimi, yang sebentar saja membuat Kimi jatuh dalam kuasanya. Tepat ingatan Haki sampai kepada adegan yang membuat Kimi menjerit dengan suara menyayat, setetes air mata Haki jatuh dari sudut kedua matanya.(*)


Penulis:

YUDITEHA adalah penulis yang tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *