Esai
Narasi Perlawanan Rezim Kekuasaan

Narasi Perlawanan Rezim Kekuasaan

KETIKA membaca Orang Orang Oetimu (Marjin Kiri, 2020) karya Felix K. Nesi, saya teringat akan beberapa novel Indonesia mutakhir yang dicipta pengarang untuk melakukan narasi perlawanan rezim kekuasaan Orba. Pada mulanya Saman dicipta Ayu Utami dengan penyingkapan kebusukan rezim kekuasaan Orba. Lahirlah kemudian novel-novel dengan penyingkapan tabir kelam rezim kekuasaan Orba, seperti Amba karya Laksmi Pamuntjak, dan Pulang yang ditulis Leila S. Chudori. Masing-masing novel ditulis dengan eksotisme latar dan kompleksitas persoalan rezim kekuasaan yang memicu konflik-konflik batin tokoh.  

Dengan berobsesi pada narasi perlawanan terhadap rezim kekuasaan Orba di Timor, novel Orang Orang Oetimu mengingatkan saya pada novel Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum, dan Insiden (Bentang, 2017). Yang membedakannya, Felix K. Nesi tidak membidik kemelut perlawanan rezim kekuasaan Orba dari pusat  peristiwa konflik di Timor Timur. Ia menyingkap perlawanan rezim kekuasaan Orba dari wilayah yang berhimpitan dengan Timor Timur. Lagi pula, saya melihat Felix K. Nesi tidak semata-mata membongkar luka dominasi kekuasaan sebagaimana dilakukan Seno Gumira Ajidarma. Ia lebih menyingkap luka budaya, yang mengalirkan mitos-mitos perilaku mistis orang-orang Oetimu.  Bahkan, yang lebih membuat nyeri di ulu hati, ia menyingkap perlawanan terhadap otoritas agama, membongkar kedok-kedok kejahatan perilaku seksual dan kebusukan nurani pemuka agama di Oetimu.   

***

SAYA lebih tertarik mengamati luka budaya yang berkembang pada tokoh-tokoh novel Felix K. Nesi. Saya  mengabaikan luka ideologi,  luka religiusitas, dan luka seksualitas  akibat perlawanan terhadap rezim kekuasaan Orba. Tentu saja ini menarik bagi saya, karena lazimnya sebuah masyarakat yang tertindas rezim kekuasaan, mereka mengalami inferioritas budaya. Akan tetapi, Felix K. Nesi mengeksplorasi bahasa yang penuh paradoks, sarkarsis, dan satire untuk menyingkap luka budaya tokoh-tokoh novelnya secara unik.   

Fokus pembahasan esai saya bertumpu pada perkembangan tokoh Sersan Ipi dan atmosfer budaya yang melingkupinya. Izinkan  saya untuk membicarakan kelahiran Sersan Ipi, Laura yang ditangkap militer dituduh komunis dan Fretilin. Gadis ini disiksa, diperkosa, dan hamil.  Seorang militer membawanya meninggalkan kamp, melepaskannya di sabana dan berjalan kaki melintasi hutan. Bertemulah ia dengan Am Siki, lelaki tua yang kemudian merawatnya dengan tulus, sampai sembuh dan melahirkan anak lelaki.  Kelak bayi itu tumbuh sebagai lelaki perkasa, seorang polisi, bernama Sersan Ipi.

Narasi perlawanan kekuasaan rezim Orba yang dilakukan Felix K. Nesi dalam novel ini tidak dengan menyusun mitos pengukuhan budaya rezim yang berkuasa. Justru sebaliknya, ia menghidupkan mitos pembebas dengan kisah yang dipenuhi fantasi keindahan: Laura yang dianggap penduduk kampung sebagai penyihir buruk rupa itu telah menjadi perempuan yang manis, pipi montok, hidung seperti tomat masak, rambut ikal, mata bersinar-sinar setelah dirawat Am Siki. Mitos itu terus menyebar sampai ke kampung-kampung jauh dengan bermacam-macam versi perubahan sesuai imajinasi pencerita. Novel ini tidak menampilkan orang-orang Oetimu dengan budaya inferior dan menjadi hibrid budaya rezim yang berkuasa. Mereka menemukan akar mitos yang melindungi martabat budaya di tengah kekuatan dominasi kekuasaan rezim Orba.   

Begitu juga dengan Am Siki yang merawat Laura dan mengasuh anaknya ketika perempuan itu akhirnya meninggal. Am Siki dikenal sebagai satu-satunya lelaki yang pernah membunuh lebih dari sepuluh orang tentara Jepang, membakar habis satu kamp kerja paksa. Am Siki dikenal sebagai pahlawan, ksatria yang membunuh untuk menyelamatkan bangsa dari cengkeraman kekuasaan Jepang. Ia disebut sebagai orang sakti yang telah membebaskan Timor dari kekejaman penjajah Jepang. Di Oetimu ia disambut dengan pesta tujuh hari tujuh malam. Orang-orang menari dan mabuk sepanjang hari untuk menghormatinya. Warga kampung membangunkan sebuah rumah untuk pahlawan mereka.  

Felix K. Nesi dengan kekuatan imaji dan penguasaannya terhadap mitos-mitos yang berkembang di daerah Timor, telah menciptakan tokoh Am Siki dengan kisah-kisah yang paradoks, dan melakukan perlawanan terhadap rezim kekuasaan Orba dengan mitos-mitos khas, yang membebaskan mereka dari dominasi kekuasaan kolonial maupun rezim Orba. Ia menciptakan mitos-mitos budaya yang memberi kehormatan masyarakat Oetimu untuk menegakkan identitas budaya mereka.

Kehidupan Sersan Ipi juga dibayangi mitos pembebasan terhadap rezim kekuasaan Orba dan dominasi militer. Sersan Ipi mati dibunuh orang-orang yang mendendam dominasi militer rezim Orba, dipenggal kepalanya dengan kelewang dalam pengeroyokan. Akan tetapi, mitos pembebasan yang dihembuskan orang-orang Oetimu mencitrakan Sersan Ipi sebagai korban orang komunis yang suka merampok, memperkosa, membunuh, dan berperilaku homoseksual.

Mitos pembebasan masyarakat Oetimu mengisahkan Sersan Ipi melawan orang-orang jahat yang memegang senjata api. Sersan Ipi mengalahkan mereka dengan tangan kosong. Ia merampas senjata dan membunuh mereka. Akan tetapi, tanpa sepengetahuan Sersan Ipi, salah seorang dari orang-orang jahat itu memiliki ilmu menghilangkan diri dan tiba-tiba muncul dari belakang. Dengan kelewang, penjahat itu membacok Sersan Ipi dan memenggal kepalanya. Sersan Ipi gugur sebagai kusuma bangsa dalam tugas kepahlawanannya untuk melindungi rakyat kecil.     

***

BERBEDA dengan novel Seno Gumira Ajidarma Jazz, Parfum, dan Insiden yang menyingkap perlawanan rezim kekuasaan Orba di pusat peristiwa, Timor Timur, novel Felix K. Nesi menyingkap dari tempat yang cukup berjarak, di kampung Oetimu. Ia juga memunculkan tokoh-tokoh yang menjadi korban rezim kekuasaan, teraniaya, dan bahkan meninggal dunia. Akan tetapi, Felix K. Nesi menyelamatkan tokoh-tokoh itu dengan mitos-mitos yang menolak untuk menjadi pecundang, kalah, menjadi korban dominasi kekuasaan. Ia ingin mengatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana, dengan keagungan mitos masing-masing, dan tak harus ditaklukkan.  

Penolakan Felix K. Nesi terhadap inferioritas budaya masyarakat yang menjadi korban rezim kekuasaan Orba inilah yang memunculkan mitos-mitos yang paradoksal, dan bahkan satire. Ia sengaja menciptakan tokoh-tokoh parodi dalam novelnya, yang bisa dinilai dari beberapa sudut pandang dan tafsir pembaca, untuk menghadirkan kemuliaan korban-korban rezim kekuasaan. Dengan cara ini, ia melakukan dialog dengan pembaca dan memberi banyak sudut pandang untuk melihat persoalan dominasi kekuasaan. Ia menawarkan mitos-mitos yang membuka tafsir pembaca untuk memperkokoh intensitas sublimasi struktur narasi yang diciptakannya. [] 


Penulis:

Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit  Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.  Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *