
Puisi A. Warits Rovi
BUKIT MONTORRA
di sini, ladang menawarkan harapan
dengan daun dan biji kacang
angin mencari batas sunyi
di lengkung daun-daun jambu
seolah mengundang Ki Sabbir di barzah sepi
untuk meladang kembali tanah ini
sebagai upaya menyempurnakan cinta matahari
kepada waktu yang terlewati
di sisi lereng yang bergaun batu-batu
jalan tua yang sempit itu
masih menitip ujungnya kepada anak cucu
rawatlah!
cintailah!
sebab tubuhmu adalah tanah
Bungduwak, 2021
BUKIT RONGKORONG
tugu Belanda yang terpacak di puncak
terus membagi bayangan kepada anak-anak
; tentang mulut senapan
yang dikokang ke dada telanjang
—ada leluhur yang mati
cuma berdua dengan matahari
dan selanjutnya terkubur tanpa melati
tanpa catatan biografi
dan satu-satunya pohon yang berdiri itu
dalam diamnya terus berbisik ke telinga zaman
bahwa di bukit ini, dahulu kala
tanam paksa pernah menyamakan
manusia dengan bangkai hina
jika pohon itu menggugurkan daunnya ke tanah
begitulah ia melukiskan apa yang dulu dilihatnya.
Bungduwak, 2021
BUKIT TENGGINA
usai undak tanah berpagar pohon langay
ada bentang ladang bertikar rumput hijau
mengajak anak-anak main layang-layang
tali yang terbuat dari serutan daun pandan
menaikkan layang-layang itu ke langit lengang
berkarib awan—membentuk lukisan tunggal
perihal senyum yang terpahat di ketinggian
sedang layang-layang lain melayang dalam jiwanya
bertemu langit kebebasan
angan yang berfungsi jadi angin
mengkaribkannya dengan ingin
; semua ada di Bukit Tenggina
bukit yang merawat cinta anak-anak desa
dengan asuh tangan sederhana.
Bukit Tenggina, 2021
BUKIT RA’AS
tak selazaim bukit yang lain
di sini, makam-makam dan pohon kemboja
membuka pintu rahasia bagi anak cucu
untuk bertemu leluhurnya
lewat ritus ziarah yang diricik air bunga
antara batu dan pohon akasia
terbentang kesepian yang mencari muara
ke hilir setiap hati
untuk memastikan hidup yang pasti bertepi
beratus epitaf di punggung batu kijing
menegaskan waktu yang lekas berguling
dan di bukit ini, makam ayah membujur
kata-kata diwakili bunga yang kutabur
Bungduwak, 2021
BUKIT LENTANG
Dewi Gelintang bertapa di sini
menunggu dirinya sendiri dalam sunyi
menyelesaikan yang tak diselesaikan alam
dalam rupa diam merebut jantung bulan
yang ditakir malam dengan warna kunang-kunang
“kelak bila genap 40 hari,
bangunkan aku dari semedi
karena setelah aku berhasil bertemu dengan diri sendiri
malam akan kuberi matahari,”
pesannya pada seekor cecak
di celah batang kesambi
saat dirinya percaya
sebuah permulaan adalah duri yang paling tajam
yang harus ditumpulkan dengan keyakinan.
Bungduwak, 2021
Penulis:

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020.