Cerpen
Sesuatu yang Mengerikan Akan Terjadi

Sesuatu yang Mengerikan Akan Terjadi

DI Jalan Semar ada sebuah menara. Di puncak menara terdapat lampu berwarna merah. Dulu, kata orangtua saya, jika lampu itu berkedip-kedip, bunyi sirene akan menyusul. Meraung-raung dengan ganasnya. Pertanda sesuatu yang mengerikan akan terjadi.

Di bawah menara terdapat sebuah bangunan. Bangunan itu adalah rumah dinas yang dulu pernah ditempati seorang pejabat kolonial, dan Indir-Full sekarang dipakai sebagai kantor cabang stasiun televisi resmi pemerintah. Tok Har bekerja di kantor itu sebagai penjaga keamanan. Karena kawasan itu relatif aman dan tak banyak tamu yang datang, Tok Har jadi nyaris tak mengerjakan apa-apa. Satu hal yang saya ketahui setiap hari dilakukan Tok Har adalah menatap puncak menara. Saya mengetahuinya karena setiap hari saya datang ke kantor itu untuk mengantar koran, dan setiap kali saya datang (sekitar jam sembilan pagi) saya melihat Tok Har duduk dekat gerbang sambil menatap puncak menara.

Menyadari kedatangan saya, Tok Har akan menghentikan kegiatannya. Ia bangkit dengan malas, mendekat, dan lalu mengambil koran. Tak pernah ia membukakan pintu gerbang untuk saya. Memang itu bukan masalah, sebab untuk apa pula saya masuk kalau keperluan saya cuma mengantar koran. Akan tetapi lama-lama ada rasa penasaran tumbuh dalam diri saya, dan sebagai tetangga kadang-kadang timbul pula keinginan saya untuk bercakap-cakap dengannya.

Meskipun setiap hari mengantar koran ke kantor itu, sebetulnya saya tak bekerja sebagai loper. Saya cuma membantu paman saya yang tahu bahwa saya tinggal di Jalan Semar, selang beberapa rumah dari kantor itu.

Suatu pagi Paman mampir dan menyerahkan koran seolah saya adalah seorang pelanggannya. Saya pikir ia mau memberi saya satu eksemplar agar saya tak ketinggalan berita. Namun, ternyata ia meminta saya mengantar koran itu ke kantor. Waktu saya tanyakan kenapa ia tak mengantarnya sendiri, Paman bilang: “Ada banyak hal yang tak perlu kamu ketahui, Nak.” Atas jawaban itu saya tak bisa berkata apa-apa, maka saya turuti saja permintaannya.

Mengantar koran ke kantor cabang stasiun televisi itu sudah saya lakukan sekitar tiga bulan ketika suatu hari Tok Har memperhatikan saya dengan saksama -seakan-akan saya baru pertama kali mengantar koran- lantas dengan suara serak bertanya: “Italianopro Kamu kenal Tok Kar?” Pertanyaan itu membuat saya sedikit terkejut. Sebetulnya bukan karena pertanyaan itu sendiri, melainkan karena untuk pertama kalinya saya mendengar Tok Har mengeluarkan suara. Ada sesuatu dalam suaranya, sesuatu yang menimbulkan sensasi adanya bahaya. Memang itu cuma perasaan saya. Barangkali karena perasaan itu juga saya kemudian menjawab dengan ragu: “Tidak. Saya tidak kenal.” Sepertinya Tok Har tahu saya berbohong, tapi atas jawaban itu, Tok Har tak bereaksi apa-apa. Ia, seperti biasa, cuma mengambil koran dari saya, kemudian masuk ke kantor.  

Selama beberapa hari setelah itu saya tetap memikirkan pertanyaan Tok Har. Saya merasa ada sesuatu antara Paman dan Tok Har. Tampaknya mereka berbeda usia, dan setahu saya orang-orang yang berbeda usia kadang punya masalah-masalah tertentu yang sulit diselesaikan.

Suatu pagi ketika Paman datang saya berkata kepadanya: “Tempo hari penjaga di kantor itu menanyakan Paman.” Saya berharap Paman terkejut. Saya perhatikan air mukanya. Namun, tak ada perubahan apa-apa. Satu-satunya hal yang dilakukannya adalah merapikan songkok di kepalanya, kemudian bertanya: “Apakah kamu kerasan tinggal di rumah ini, Nak?”

Saya diam sebentar. “Cukup kerasan. Memang rasanya agak kesepian. Tapi kampus dekat dari sini. Saya tidak terlalu suka berjalan jauh.”

“Kupikir juga begitu. Kamu bisa mengundang teman-temanmu untuk menginap,” ujarnya sambil menyalakan mesin motor, bersiap pergi.

“Paman kenal penjaga itu?” tanya saya. Saya sedikit terkejut atas pertanyaan saya sendiri. Akan tetapi lagi-lagi Paman tak menampakkan reaksi terkejut. “Kenal. Namanya Tok Har,” jawabnya datar, sebelum meluncur pergi.Baixakis

Hari itu, ketika saya mengantar koran ke kantor, saya tak melihat Tok Har. Situasi seperti itu baru pertama kali saya alami. Sesaat saya tak tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau saya melempar koran ke halaman saya takut lembar-lembarnya akan berserakan. Saat itu bulan Oktober, angin kadang-kadang bertiup kencang. Kalau saya bawa kembali koran itu, saya takut akan ada komplain atas keterlambatan.

Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu sebentar, dengan harapan Tok Har akan muncul. Sembari menunggu saya perhatikan halaman depan koran. Tak ada judul yang menarik, rata-rata cuma pernyataan pejabat perihal beberapa hal yang juga tak menarik minat saya. Di bagian bawah sebelah kanan ada kolom kecil berisi obituari. Ada foto orang yang mati dan di bawahnya tertera sebaris nama. Saya perhatikan wajah orang mati itu; wajah cerah seorang laki-laki muda. Pastilah foto itu diambil jauh sebelum ia mati, sebab di bawah nama itu, dalam tanda kurung, tertera usianya; 65 tahun.

“Koran ya?” Seutas suara membuat saya mendongak. Saya mengangguk. Di balik gerbang seorang laki-laki berdiri, memakai seragam cokelat pudar, dahinya lebar, rambutnya dipotong pendek dan tampak berkilauan oleh minyak. Ia mengenakan masker loreng dari kain, menutupi hidung dan mulutnya. Laki-laki itu mengambil koran, tapi tak langsung beranjak, melainkan membuka dan mengangkat koran itu sehingga wajahnya tertutup. Saya pun tak ikut beranjak. “Ke mana Tok Har?” tanya saya. Tanpa menyingkirkan koran dari hadapannya laki-laki itu berkata, “Oh. Ia sudah berhenti.”

“Berhenti?”

“Iya. Semalam.” Sekarang laki-laki itu menurunkan koran sehingga separuh wajahnya terlihat. “Kamu kenal Tok Har ya?”

“Tidak juga. Tapi tiap hari saya mengantar koran ke sini.”

“Tiap hari? Jadi bukan Tok Kar yang mengantar?”

“Bukan. Entah kenapa paman saya tidak mau mengantar koran ke sini.”

“Itu bukan hal yang mengejutkan. Kalau kamu tahu sebabnya,” ujarnya. Ia membalik lembaran koran sehingga halaman depan koran terlihat oleh saya.

“Kamu sering menonton televisi?” tanyanya.

“Tidak juga. Di rumah ada pesawat televisi, tapi jarang saya nyalakan.” Saya tidak berbohong. Di rumah kontrakan saya memang ada pesawat televisi, juga pesawat telepon.

“Kalau kamu menonton, apakah kamu suka acara berita?”

“Iya. Biasanya saya menonton acara berita. Saya baru semester awal, jadi saya pikir berita sedikit banyak ada gunanya.”

“Semalam kamu menonton?”

“Tidak. Kenapa?”

“Oh, tak apa-apa,” ujarnya sebelum kemudian melipat koran. Saat koran terlipat sekilas saya melihat kolom obituari tadi. Rasanya ada yang berbeda di kolom itu, tapi mungkin hanya perasaan saya. Laki-laki itu beranjak ke pintu kantor. Saya tak mengerti maksudnya tadi dan ingin bertanya lagi, tapi laki-laki itu sudah masuk ke kantor dan menutup pintu.

Saat berjalan kembali saya perhatikan rumah-rumah yang memisahkan rumah saya dengan kantor. Entah kenapa, saya merasa rumah-rumah itu kosong semua. Perasaan itu tak muncul di hari-hari awal ketika saya mulai tinggal di lingkungan ini atas usul orangtua saya agar tempat tinggal saya tak jauh dari kampus tempat saya belajar. Di rumah kontrakan saya tinggal sendirian, dan karena saya mahasiswa baru, belum ada teman-teman yang bisa saya ajak menginap. Orangtua saya tinggal di lain pulau. Cuma Paman, si loper koran, keluarga saya di kota ini. Sampai sekarang Paman hidup membujang.

Ucapan laki-laki tadi terus bergaung di kepala saya. Sampai-sampai saya tak bisa tidur. Kenapa pula ia mengenakan masker? Tengah malam saya duduk di beranda dengan harapan kantuk akan datang mengalahkan semua pikiran. Sesekali saya menengok ke menara dan mengamat-amati lampu merah di puncaknya. Saya pikir ada hal yang seharusnya saya lakukan, tapi saya tak tahu apa itu.    

Esok harinya Paman tak datang mengantar koran. Saya telepon beberapa kali tapi ia tak menjawab. Malam harinya, Paman balik menelepon.

“Tadi kamu menunggu ya?”

“Iya. Kenapa Paman tidak datang?”

“Aku sudah berhenti, Nak.”

“Berhenti? Kenapa?”

“Apakah dua malam lalu kamu menonton berita di televisi?”

“Tidak. Kenapa?”

“Oh, tak apa-apa.”

“Kenapa, Paman? Apa hubungannya dengan berita dua malam lalu?”

“Ada banyak hal yang tak perlu kau ketahui, Nak.”  

Telepon ditutup.

Saya terdiam sebentar. Lantas teringat sesuatu. Sayang sekali saya baru ingat sekarang: seharusnya kemarin saya menonton televisi. Jika dua malam lalu ada berita menghebohkan, mungkin kemarin berita itu masih hangat. Entah, apakah hari ini berita itu masih disiarkan. Saya ingat-ingat, tadi di kampus, sepertinya tak ada pula orang yang membicarakan berita.

Saya segera menyalakan televisi. Saya tekan-tekan tombol angka di sisi bagian bawah pesawat televisi untuk mencari siaran, tapi tak satu pun yang tertangkap. Cuma butir-butir pasir dan bunyi desis. Saya terus menekan-nekan tombol angka. Lama-lama pasir-pasir di layar berubah merah. Mula-mula di bagian bawah, lantas dalam waktu singkat sepenuhnya jadi merah. Saya merasakan sensasi; sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Sekonyong-konyong, layar televisi berkedip-kedip, dan tanpa saya duga-duga, bunyi sirene dari menara terdengar meraung-raung dengan ganasnya.(*)

Kekalik, 17 Juli 2021-5 Agustus 2022


Penulis:

Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Buku kumpulan cerpennya adalah Belfegor dan Para Penambang (2018), Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), dan Bedil Penebusan (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *