Resensi Buku
Enigma Cerita Cinta Padma-Jalma

Enigma Cerita Cinta Padma-Jalma

Judul           : Padma Jalma
Penulis         : Indra Agusta
Penerbit       : Rusamenjana Publishing
Cetakan       : Pertama, September 2022
Tebal           : 121 halamanI
SBN           : 9-786239-981730

Kujelaskan pula pada Padma sebagaimana pinus tetaplah pinus pada hakikatnya, kami bisa meromantisasinya sebagai hiasan kamar, atau dalam kebencian membiarkan hangus di api unggun, dan cinta tetaplah cinta, karena semua lahir dan pulang, kembali kepada Sang Maha Cinta
-Jalma-
(Padma Jalma, 2022: 44)

Padma dan Jalma nama tokoh yang disematkan Indra Agusta dalam novelanya di tahun 2022. Jika terangkai, kata Jawa Kuno tersebut akan menemukan interpretasi lain. Padma Jalma yang paling mudah diartikan sebagai “bebunga kehidupan (manusia)” menepis anggapan jika novela ini hanya sebatas cerita menye-menye sepasang kekasih. Ada maksud terdalam dibalik cerita, dialog dan kompleksitas yang berusaha diruangkan. Sebuah ruang wacana lain yang tersembunyi dibalik kisah cinta anak muda.

Cerita yang diawali pembangunan latar sosial tokoh Jalma yang cukup berat dan pilu. Jalma seorang anak yang memiliki trauma masa kecil atas perlakuan bapaknya dan efek domino sosiologis desa pasca reformasi 1998. Begitu juga kisah kelam kematian ibu dan perundungan yang diterimanya. Sebuah pengenalan sejarah kelam nan tragis tokoh Jalma. Namun tak sekalipun tunduk dengan penderitaan. Begitulah suguhan awal pembaca Novela Padma Jalma.

Berbagai fakta cerita berusaha dibangun dalam rangkaian proses aktualisasi tokoh Jalma. Kebencian dan tekanan masa lalu berusaha ditepis, ditakar, dan menjadi peletup perubahan hidup Jalma melalui bingkai kehadiran tokoh Ken Padmasari. Bingkai itu termampatkan dalam struktur faktual. Struktur faktual atau tingkatan fakta diperoleh dari aspek cerita yakni rangkaian alur, karakter, dan latar (Stanton, 2007, p. 22). Jalan perspektif strukturalisme inilah yang mendasari penyingkapan ragam motif isu yang berusaha disisipkan oleh Indra Agusta.

Pada judul bab Maskumambang dan Mijil, nuansa kelam, tragis dan nir-harmonis sangat riyuh tertata di muka cerita terasa berat dicerna. Pembaca diajak berpikir rinci untuk kembali mengingat masa 98 yang berimbas ke keluarga dan kehidupan Jalma secara beruntun. Bab Selanjutnya, bagaikan emas yang kumambang, tahap penurunan konflik diciptakan pada saat Jalma yang menemukan penawar dari post-traumatic berkat pertemuannya dengan Ken Padmasari, sehingga mijil (muncul) semburat harapan yang tak ditemukannya di rumah. Kehidupan Jalma begitu ambivalen. Jalma pun mengutarakan perasaannya:

Melelahkan sekali rasanya hidup di dua sisi yang sangat berlawanan. Di sekolah, acapkali harus menilai hidup dengan wajar, namun wajar itu sendiri tak pernah kutemui dalam keseharian. Aku seperti dua sisi mata koin yang harus seimbang sebelum bimbang(Agusta, 2022, p. 31).

Lingkungan sekolah menjadi transisi ke-liyan­-nan diri tokoh Jalma. Jalma menjadi pribadi pendiam, penyendiri, yang suka membaca. Lain hal, saat berada di keluarga yang dirasakan hanya kekecewaan. Lingkungan keluarga bak neraka dalam hidupnya. Dipicu perasaan kecewa atas kegagalan peran bapak yang tidak menafkahi keluarga karena PHK pasca keruntuhan rezim Soeharto dan gagal menyelamatkan nyawa ibunya dari sakit yang mendera (daddy issues). Goncangan batin tokoh bapak pasca kepergian sosok istri dan dampak lain kejatuhan presiden Soeharto penyebab perubahan drastis sikap bapak Jalma(2022, pp. 7–8). Titik pasca reformasi dipakai sebagai pusaran letup peristiwa dalam novela.

Pada judul bab Sinom dan Kinanthi, suasa cerita terkesan ringan penuh percintaan. Kisah percintaan Padma dan Jalma yang masih sinom (muda) hingga ikatan cinta yang menguat dan saling membersamai (kinanthi) menjadi garis besar cerita kedua bab tersebut. Dialog akan terasa sangat menye-menye, manakala dipandang sekadar dialog muda-mudi yang memadu kasih. Seolah sekadar gombal­-an semata. Namun, akan terasa sangat berbeda jika dipandang dengan kacamata intertekstualitas teks dan konteks. Disanalah dialog akan terasa janggal dan penuh penyembunyian pesan.

Tokoh padma dan Jalma yang begitu cerdas, acapkali memperbincangkan hal-hal “berat” sehingga begitu janggal dan jauh dari konteks menye-menye. Perbincangan cenderung filosofis dan spiritualis. Apalagi diperkuat dengan penokohan Jalma yang menemukan dunianya lewat buku-buku di perpustakaan, yang nanti melatari berbagai dialog Padma dan Jalma. Agaknya menjadi landasan mewajarkan cerita kecerdasan tokoh Jalma.

Kecerdasan dan keluasan wawasan tokoh Jalma dapat dirasakan dari warna perbincangan yang membahas mengenai hakikat kehidupan, cinta, dan perbincangan yang lebih merujuk pada identitas dan budaya. Bagaikan tutur seorang pemuka agama yang ingin menyeimbangkan antara dunia laku seorang kawula (bumi) dan sabda Gusti (langit). Porsi keseimbangan korelatif dogma dan realitas kehidupan dimunculkan sangat ringan. Kesan dogma yang “serius” terasa lebih santai dengan balutan cinta kasih yang tak membuka celah penolakan.

“Betul, Pad. Mendekat dan menjauhnya manusia memang tidak lebih jauh dari itu, bahkan terkadang tanpa alasan karena ketertarikan berlangsung alamiah, dan kita mencintai karena Tuhan mencintai kita lebih dulu, dan segala yang berpendar di langit dan di bumi merupakan ulang-alik cinta-Nya, termasuk kita (Agusta, 2022, pp. 42–43).”

Jika teliti, dialog Jalma tersebut di atas mengingatkan pada pada salah satu kutipan ajaran Injil yang berbunyi: Kita mengasihi, karena Allah lebih dulu mengasihi kita (Yohanes 4:19). Asumsi itu didukung dengan dialog Padma yang juga menyebut nama Isa Almasih. Tentu, simbol Isa Almasih (Yesus) sebagai citra cinta-kasih coba ditawarkan Indra Agusta kepada pembaca. Sekali lagi, soal hakikat cinta. Cinta yang berarti cinta itu sendiri.

Lalu kutipan tresnani­-lah sesamamu, seperti kamu mencintai dan menyayangi diri sendiri(2022, p. 52). Kalimat tersebut seolah membawa pada konteks hadist Bukhari terkait mencintai sesama layaknya cinta kepada dirinya sendiri, yang juga mirip dengan konsepsi masyarakat Bali. Masyarakat bali mengenal konsep tat twam asi (itu adalah aku) yang menyiratkan cinta sesama. Sebuah mahāvākya (semboyan utama) dalam ajaran weda yang purna yakni –menuntut manusia berpegang pada kedamaian. Pencantuman konsepsi tat twam asi ini pun menjadi penguat perihal cinta seperti apa yang ingin diungkapkan Indra Agusta.

Indra Agusta mempertegas dengan adanya empat kategori cinta yang secara intrinsik dipaparkan dalam teks. Kategorisasi cinta itu meliputi: 1) Storge yakni cinta berdasarkan hubungan darah (cinta keluarga); 2) philia yakni cinta berdasarkan ragam kesamaan (cinta persaudaraan); 3) eros yakni cinta berdasarkan ketertarikan pada lawan jenis (cinta seksual atau romantis); dan 4) agape yakni cinta berdasarkan cinta yang sama tak mengenal situasi dan syarat (hakikat cinta). Keempat bentuk cinta yang familiar dalam Al-kitab tersebut menjadi kata kunci keengganan Indra Agusta sekadar menyampaikan bentuk cinta yang menye-menye.

Terkait pengetahuan kuno, pembaca pun diajak menjelajah waktu menuju pengetahuan di masa lalu. Relief Sudamala sebuah lakon penebusan dosa, relief Bhima svarga mengenai buah dari kebaikan (karmaphala), relief Garudeya mengenai tirta amerta dan simbol pembebasan, dan relief pandawa svarga simbol cermin sifat manusia yang sekuat tenaga menepis kebatilan, yang berada di candi Sukuh(2022, pp. 39–40). Kisah tantra di tingkat kedua candi Borobudur mengenai kisah kerelaan kelinci menyuguhkan dirinya untuk dimakan dewa yang menjelma manusia saat kelaparan(2022, pp. 74–75). Dan kutipan dari Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna yang berbunyi menunggu adalah pertarungan melawan waktu, kekuatan menunggu terletak pada hati, jika goyah waktulah pemenangnya(2022, p. 102). Rangkaian alusi yang menyokong misi kedamaian.

Daddy issues sebagai latar konflik awal cerita, aktualisasi tokoh Jalma yang awalnya tersisih secara sosial, kisah percintaan yang penuh dialog filosofis, dan perpisahan Padma dan Jalma seolah terikat dengan imajinasi dari berbagai koteks rujukan yang dilahap Indra Agusta. Seperti tokoh Padma seorang perempuan sekaligus simbol teratai merah (padma) begitu mempengaruhi aktualisasi Jalma.

Bunga padma sebagai simbol penyokong figur dewa teracik sebagai representasi suci dan tinggi, pun simbol tokoh Padma yang menyokong dan berpengaruh dalam kehidupan Jalma. Gambaran ke-bucin­-nan Jalma yang menyimpan makna filosofis kompleks.

Alih lain, bunga padma sebagai bunga simbol kesucian pun melambangkan tiga lapis dunia (bhurloka, bvarloka, dan svargaloka) sekaligus yoni simbol dari perempuan (Paramadhyaksa, 2016). Rangkap lapis hermeneutis inilah yang coba ditangkap Indra Agusta dalam sajian cerita novela. Kehati-hatian Indra Agusta dalam menentukan simbol. 

Novela Padma-Jalma memuat cerita cinta bertumpuk. Kisah cinta anak muda yang menye-menye sekaligus menyimpan pesan terkait hal ikhwal kesejatian cinta. Cinta yang mendasari keseluruhan hidup manusia mencapai kedamaian dan prinsip lelaku kehidupan. Indra Agusta ingin meretas imaji kebencian dari stigma negatif. Bahwa segalanya adalah cinta yang menunggu ketepatan waktu. Seperti penolakan Indra Agusta terhadap antipoda cinta yakni kebencian, yang  hanyalah alter-ego dari rasa cinta yang disakiti(2022, p. 43). Juga cerita kebencian Jalma kepada tokoh bapaknya yang muncul karena sekadar terkaburnya rasa cinta, yang berusaha kembali diterka Jalma. 

Novela Padma Jalma setebal 121 halaman, terbit tahun 2022 memang cukup memuat intertekstual dan alusi yang patut diperhitungan. Latar dampak peristiwa pasca reformasi dalam Padma Jalma yang ingin dibangun kepada pembaca terkesan mangkrak di awal cerita. Tanpa ada kaitan lain pada adegan berikutnya. Beberapa kesalahan teknis pun ditemukan. Namun, tetap saja novela ini bukan sekadar novela menye-menye. Mungkin, Indra Agusta sebagai penulis memang ingin melawan cerita-cerita yang terlalu menye-menye dengan karya pertamanya ini. Mungkin juga, teknik Indra Agusta agar wacana “berat” bisa terasa “ringan” dicerna anak muda.

Entah tersebab terbatasnya jumlah halaman buku, teknik penceritaan atau maksud lain, akhir novela Padma Jalma sangat menggantung. Latar isu sosial pasca reformasi yang mangkrak di awal hilang begitu saja. Sehingga novela terasa belum usai. Seolah ada misteri yang masih disembunyikan. Mungkinkah akan ada Padma Jalma jilid kedua? []


Penulis:

Frengki Nur Fariya Pratama. Sekarang sedang menempuh pendidikan Magister Ilmu Susastra di Undip Semarang. Aktif di Sraddha Institute Surakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *