Esai
Kebanalan Babi Hutan dan Muara Terakhir Aku Lirik

Kebanalan Babi Hutan dan Muara Terakhir Aku Lirik

Sesial dan sekelam apapun hidup barangkali kita hanya harus menjalani meski dengan memaki, mengumpat, lebih-lebih dapat menari dan menyanyi di atas segala keruwetan itu. Tidak lantas gantung diri dan menyerah atas apa yang telah dikaruniakan kehidupan yang tak sesuai harapan. Membaca puisi-puisi Wahyu Prasetya dalam buku kumpulan puisi Wahyu Menulis Puisi seakan melemparkan kita pada kegamblangan akan kegetiran, kesialan, rasa sakit akan hidup itu sendiri dan bagaimana cara menikmatinya.

Nama Wahyu Prasetya sebelumnya adalah satu dari sekian banyak keasingan yang mengendap di kepala saya sebelum Penerbit Pelangi Sastra berkoar-koar tentangnya lengkap dengan surat Umbu Landu Paranggi yang menyinggung-nyinggungya dan membandingkannya dengan Afrizal Malna, penyair absurd dengan konsepsi yang acak, begitu kata Umbu. Yang perlu diketahui barangkali Wahyu Prasetya adalah penyair kelahiran Malang, Jawa Timur. Di mana Jawa Timur barangkali terkenal dengan tradisi puisi gelapnya. Tapi apakah Wahyu juga mengekor tradisi itu atau barangkali malah sebaliknya. Mengingat Wahyu barangkali telah berjalan lebih dulu dalam menjelajah khazanah perpuisian dibanding tiga nama yang pernah disebut Binhad Nurrohmat dalam Sastra Perkelaminan (buku kumpulan esainya), namun dalam perkara mengarungi atau menapaki jalan kepenyairannya ia memilih menjadi seorang yang nomaden. Ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Tidak memilih menetap di satu tempat dan berproses dengan nyaman di tempat itu.

Sesekali setelah membaca sedikit biografi Wahyu, saya membayangkan ia adalah penyair banal, liberalis yang memuja kehidupan bebas, lepas kendali, tanpa batas dan terbebas dari sekat apapun. Disebutkan di biografinya ia kerapkali berpindah tempat. Pernah juga mengunjungi beberapa negara ASEAN. Lalu pada tahun 1983-1985 ia bermukim di Berlin, Jerman Barat. Mungkin itu lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa Wahyu telah melintasi beberapa tempat yang memiliki kekayaan Bahasa-nya masing-masing, juga kehidupan-kehidupan dengan kondisi budaya dan kompleksitasnya sendiri-sendiri yang cukup kentara terlihat di beberapa puisi Wahyu.

Kebanalan yang Tak Mungkin Diredam
Membuka buku kumpulan puisi Wahyu Menulis Puisi kita akan mudah menemukan umpatan juga cacian berleleran di beberapa puisinya. Kiranya hal semacam itu tidak patut jika ditempatkan dalam lingkup puisi yang begitu akrab dengan kehalusan atau kelembutan perasaan, yang sublim. Dan seringkali dalam puisi-puisi Wahyu sebelum umpatan diludahkan, kita akan temukan imaji-imaji kelam kehidupan. Di mana perkara semacam itu begitu lekat dengan liberalisme. Hidup yang semau dan suka-suka udel sendiri. Peduli setan dengan adat, moralitas bahkan syariat suatu kepercayaan yang dianut sekelompok umat. Semua itu seakan ingin menunjukkan sifat maskulinitas aku lirik yang merasa dirinya superior atas apapun yang melingkupinya. Dalam puisi berjudul Bar yang di bawah judul tertulis ‘Bagi: afrizal malna’ kurang lebih nampak jelas maskulinitas, suara-suara liberalis, superioritas dan bagaimana Wahyu menyikapi kata-kata banal itu, dalam menulis puisi:

Kadangkala kita perlu menjadi laki-laki. Berjubel/ Di ruang yang beraroma whisky, dengan teriakan fuc’n … / Ya, aku sudah bertahun-tahun menantimu untuk menjadi/ laki-laki, bergelas, berbotol, beratus pantat gadis, berapa kali/ tinju menghempasku ke rumah sakit. … (hlm. 206).

Suara-suara penyair yang gamblang yang barangkali ditujukan kepada nama yang bersangkutan di dalam puisi agar menjalani hari-hari yang maskulin seperti dalam imaji puisi, yang digambarkan. Suara yang secuil itu paling tidak telah menunjukkan bahwa Wahyu bukanlah penyair yang ingin bermanis muka, menyembunyikan segala kebusukan di balik makna kata yang yang diksi-diksinya dipilih dan dirangkai dengan seleksi yang ketat, mirip penjaringan siswa-siswi berprestasi di suatu sekolah unggulan. Wahyu mungkin serampangan dan pandangan yang seakan tak selektif pada diksi kata itu barangkali adalah suatu sifat liberalis penyair yang tak membedakan bagaimana makhluk bernama ‘kata’ itu diciptakan oleh konvensi bahasa. Beberapa kata mungkin layak untuk dikenakan dalam acara formal dan beberapa mungkin tak layak untuk itu, sebab mereka mewakili makna yang dalam tanda kutip tidak etis dalam konvensi budaya yang diam-diam meracuni dan menjadi doktrin kategori baik atau buruk dalam setiap kepala. Bukankah itu suatu kejahatan tersendiri. Dan Wahyu dalam secuil puisi barusan membuktikan bahwa dia bukanlah penjahat itu yang membedakan kata satu dengan lainnya berdasarkan baik buruk makna yang terkandung di dalam kata.

Ia seolah membiarkan anak-anak kata itu bermain di halaman rumahnya, tanpa membeda-bedakan si anak dari keluarga miskin atau kaya, dari keluarga setan atau manusia, laki-laki atau perempuan, atau transgender sekalipun, seakan Wahyu memperlakukan mereka dengan adil dan terbebas dari jerat pincang perlakuan pada segolongan kata itu sendiri. Dan barangkali itu yang membuatnya banal sekaligus kaya. Kebanalan Wahyu juga nampak gamblang pada puisi berjudul Hujan Panas Bulan Juli, berikut potongan puisinya:

… kukenakan dasi merah darah. Kembali ke angan-angan menjadi/ anjing/ kukirim dengan email pada moore dan penerbit majalah/ playboy, memandang ketelanjangan manusia biasa./ Memandang diri sendiri./ Ketika usai perkelahian, walau ku tak peduli, kau tahu perihku/ Kau tahu tangisku, kau tahu kekecewaanku./ Diancuk! … (hlm. 72).

Ada umpatan pula yang dilontarkan Wahyu dalam larik-larik puisinya. Di mana umpatan itu sama sekali tidak asing di telinga orang yang lahir dan tumbuh di Jawa khususnya Jawa Timur. Diancuk lazimnya adalah umpatan yang menandakan seseorang sedang kesal dengan suatu perihal. Meski hari-hari ini umpatan itu telah mengalami pergeseran makna, tidak semua umpatan diancuk menandakan bahwa seseorang sedang kesal dengan sesuatu. Terkadang seorang yang telah lama tak bersua dan pada hari itu tiba-tiba mereka berjumpa, salah seorang akan mengumpat sambal menanyakan kabar, untuk menandakan keakraban mereka. Namun diancuk yang terselip dalam larik-larik Wahyu sepertinya memiliki nada kekesalan, serampangan, kehidupan-kehidupan yang penat, umpatan itu tentu saja bernada kebanalan yang tidak mungkin diredam-redam lagi.

Memasukkan Babi Hutan ke Sangkar Burung Perkutut
Dalam kehidupan sehari-hari agaknya kerap kita jumpai beberapa orang memaki sebab antrian di Pom Bensin yang keterlaluan panjangnya, sebab harga barang-barang pokok kian tak terjangkau, sebab tim sepak bola yang dijagokan kalah telak, sebab sang kekasih digondol teman sendiri, sebab tak cakap dan tak becus jadi orang yang diharapkan atasan. Di banyak tempat di Pom Bensin, di jalan raya, di kantor, di ruang tunggu, di WC, di warung-warung kopi, bahkan di rumah sendiri sering kita pergoki kata-kata sarkas, banal dan umpatan diludahkan, meski kadang dalam hati diam-diam kita juga pernah memaki tanpa ada yang mengerti.

Wahyu melakukannya di dalam puisi, di mana umpatan yang sarkas dan yang satir mendapat tempat yang mungkin lebih terhormat. Namun memasukkan diksi atau frase sarkas ke dalam puisi tentunya bukan hal yang mudah, barangkali itu seperti memasukkan babi hutan ke dalam sangkar burung perkutut untuk di gantung di ujung galah. Barangkali seperti itulah kesulitan seorang penyair untuk memasukkan kata-kata dengan diksi atau frase yang sama sekali tak legit ketika dicecap pembaca. Dan sedikit atau banyak makna dibalik kata adalah beban tersendiri, seakan-akan kata yang memiliki makna bahasa konvensional yang dalam tanda kutip: tercela menurut budaya dan adat yang berlaku di lingkungan hidup penyair. Tentunya memiliki kadar kesulitan yang cukup tinggi untuk larut atau menyublim dalam tubuh puisi yang sedang digarap. Namun dalam beberapa puisi, Wahyu melakukannya dengan enteng-enteng saja. Seakan segala yang dianggap sulit dan ditakuti kebanyakan penyair adalah hal mudah di tangannya. Seperti dalam sajak Pesan Kepada Anak Perempuanku, misalnya:

… Hadir tubuhmu sebagai sosok bintang film dan boneka seksual,/ Sebagai iklan pornografi, sebagai ibu yang tak habis menyusui,/ Untuk itu bersiaplah bersujud dengan perasaan yang tenang,/ Agar terpahami segala sesuatu yang tersembunyi./ Soalnya hukum kota besar dan rimba belantara adalah sama.// … (hlm. 19)

Dalam sepenggal sajak barusan bukankah nampak sekali frase atau diksi yang tak layak diucapkan di muka umum atau dipamerkan di depan publik. Di tangan Wahyu mereka malah mendapat tempat yang seakan menyingkap apa yang sebenarnya nampak namun karena sebuah aib akhirnya disembunyikan. Wahyu seakan melakukan sebaliknya ia ingin memberi petunjuk apa yang akan terjadi, apa yang sebenarnya terpampang di depan mata tapi enggan diucapkan mulut karena diksi atau frase itu memikul beban makna yang tak layak diucapkan dalam konvensi budaya yang berlaku. Bagaimana frase ‘boneka seksual’, ‘iklan pornografi’ begitu mudah dan entengnya frase itu masuk dalam tubuh puisi yang dicipta Wahyu.

Beberapa sajak Wahyu seakan mengekalkan bahwa penyair adalah lelaki yang hidup dalam rimba raya pahit getirnya kehidupan. Bahwa penyair adalah entitas yang mengalir dalam kehidupan itu sendiri, kehidupan yang di dalamnya tidak hanya disusun oleh angan-angan utopis melainkan realitas yang lebih kejam dan kelam, pahit dan getir. Hingga tak jarang umpatan, makian keluar sebagai pukulan perlawanan atas semua itu. Seperti dalam sajak Nina Bobo dari Surat Kabar Sore, misalnya:

… Di bilik rumah petak Lik Sukri, ada caci maki; diamput!/ Kita dibikin bodoh oleh kelap kelip lampu restoran, diskotik/ hotel, lalu laporan panjang tentang utang, korupsi … (hlm. 49)

Bagaimana kita saksikan diksi-diksi kekesalan penyair atas kehidupan yang tengah berjalan dan telah lama mengalir serupa udara yang kita hirup melalui lubang hidung masuk dan mengalir ke dalam tubuh dan ampasnya kita keluarkan lagi, berputar menjadi siklus yang tanpa kita sadari udara yang kita hirup ternyata mengandung racun. Dan segala yang menyakiti namun telah terjadi barangkali hanya bisa diobati dengan memaki lagi: diamput!

Muara Terakhir Aku Lirik Puisi
Mungkin yang mencengangkan dan paradoks atas apa-apa yang barusan kita temukan pada puisi-puisi Wahyu Prasetya yang terkesan maskulin, liberalis, sarkas juga banal adalah religiositas penyair. Jika kita jeli pada puisi-puisi Wahyu Prasetya yang terangkum dalam buku Wahyu Menulis Puisi tak jarang kita jumpai penyair atau aku lirik seakan dekat dengan Tuhan-nya. Meski kita tahu hampir sepenuhnya puisi-puisi yang dilontarkan Wahyu adalah puisi-puisi yang jauh dari kesan religius. Agaknya jarang sekali puisi-puisi yang bernada demikian dekat dengan kehendak memohon, meminta, atau berserah pada Tuhan-nya—yang dalam puisi-puisi Wahyu barangkali Tuhan memiliki makna suatu entitas yang berada diluar kuasa diri penyair, dan di sanalah penyair boleh menyandarkan diri atau apapun yang ia akui sebagai aku penyair, setelah segala pilihan itu dipilih dan tak lagi menemui kepuasan, meski telah mengumpat ratusan kali. Seperti dalam potongan sajak, Stamboel Gurun berikut ini:

… // Berjuta doa yang terlebih dulu sampai padaMu/ Aku di mana pun/ Melanjutkan sujud dalam diam. Setenang dan setabah gurun./ Menerima serta memberikan jejak demi jejak kehidupan,/ Agar tiba/ Aku di pelukMu.// … (hlm 58)

Dalam sajak ini penyair seolah sama sekali tak merasa susah sedih apalagi tertatih-tatih setelah menerima pukulan demi pukulan kehidupan. Ia masih melanjutkan sujud dalam diam, setenang dan setabah gurun. Penyair atau aku lirik dalam puisi seakan menunjukkan suatu kemantapan hati yang tak kunjung goyah. Dalam religiusitas penyair atau aku lirik dalam puisi tersebut, kita seakan melihat bagaimana suatu ciptaan (makhluk) merindukan muara dari penciptanya: Aku di pelukMu.

Sementara itu dalam sajak Eksperimentasi Kota, adalah contoh lain religiusitas penyair yang seakan selalu hadir dan menjadi napas di tiap-tiap sudut gelap imaji kehidupan yang terkandung dalam puisi-puisinya. Berikut potongan puisi tersebut:

… / Di kota ini pula, kasih sayang terhadap anjing, kucing,/ gelandangan, dan bajingan yang tumpah,/ Kalau yang kutonton hanya pertunjukan ketidak wajaran,/ rahasia kekecewaan yang meluas menempuh kriminalitas dan/ korupsi, pada siapa kita berdoa?/ Jika tuhan kita benamkan dalam angan angan duka cita,/ Dunia terus mekar, matahari berpijar di ubun ubun,/ di negeri ini/ Akan hidup dalam cinta dan membuang yang sekedar pura/ pura! Sebutlah, dengan jiwa dan mulut yang bungkam./ (hlm. 82)

Jika kita menilik atau membandingkan dengan puisi-puisi Charles Bukowski, seringnya kita akan menemu puisi-puisi yang mengaduk kekelaman atas imaji-imaji kehidupan itu sendiri, meski sesekali turut merayakan dan menertawakannya namun hanya dalam ranah fisik tak menyentuh metafisik sama sekali. Sementara itu jika kita mencoba menilik beberapa penyair dengan mazhab puisi gelap khas Jawa Timur: kita akan menemu tiga nama, Mashuri, W. Haryanto dan Indra Tjahyadi menurut Binhad Nurrohmat dalam salah satu esainya yang terangkum dalam buku kumpulan esainya Sastra Perkelaminan kita akan menemu imaji-imaji yang seringkali samar-samar, beraroma kematian, tak sanggup dicerna, tidak bisa dijangkau seakan-akan warna atau renik-renik penyusunnya telah menyatu seluruhnya sehingga tafsirnya pun samar-samar dan barangkali, satu kesatuan itulah yang penyair puisi-puisi gelap tuju.

Sementara dalam puisi-puisi Wahyu, sejumlah warna yang Wahyu satukan masih kentara dan semua itu nyatanya tak ada yang salah, bahkan mampu menjadi daya tariknya sendiri. Dalam puisi-puisi Wahyu, yang barangkali terkesan sarkas, banal, kasar, penuh bertabur umpat dan caci maki, seringkali terselip kehalusan kontemplasi penyair kepada dzat yang maha tinggi, dan seakan-akan itu yang membedakan Wahyu Prasetya dengan penyair lainnya. Ia dengan gamblang menjadi sosok yang melawan serta mengakui kekalahan namun tak terkesan lemah dan tak juga melunturkan kesan maskulin. Setelah mengumpat serta puluhan caci maki, pada akhirnya Tuhan seringkali menjadi muara terakhir penyair atau aku lirik untuk bersandar dan memasrahkan segalanya, yang rumit-rumit itu tentunya.[]

Lamongan, 2022


Penulis:

Fatah Anshori, lahir di Lamongan. Bukunya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, juga Majalah Suluk (DKJT). Puisinya terpilih sebagai salah satu puisi terbaik Payakumbuh Poetry Festival 2022. Bergiat di Guneman Sastra, Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *