Cerpen
Sisa Bangga

Sisa Bangga

Sadikun tak hanya lega, tapi juga haru. Ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai guru. Tiga puluh lima tahun bukan waktu yang singkat untuk membagi ilmu. Baginya, yang diidamkan tidak sekadar rampung menjalankan tugas. Ia akan merasa puas jika selama mengemban amanah sebagai pegawai negeri sipil tak pernah tersandung kasus, termasuk korupsi. Apalagi sampai masuk bui.

“Apa yang mau dikorupsi oleh pegawai kecil macam kita?” Demikian Mugiyo sering mengejek Sadikun ketika bertemu di kantor pos mengambil uang pensiun.

“Kalau kita memang lahannya kering Gi’. Beda dengan Dikun… haha,” timpal Saebani  setengah mengejek. Sebenarnya ucapan Saebani itu tak hanya ditujukan untuk mengeles Sadikun, tapi juga berbagi nasib dengan Mugiyo  –keduanya dulu sesama ambtenaar rendahan di Kantor Kesbangpol Kabupaten.

Meski tidak pernah janjian, tiga orang kakek pensiunan PNS itu selalu datang bersamaan di kantor pos dekat pasar burung kota kecamatan. Bedanya, Mugiyo dan Saebani datang hanya dengan mengayuh sepeda ontel Gazella keluaran tahun 1960-an warisan leluhurnya. Sementara Sadikun menggunakan sepeda motor metic keluaran terbaru. Tapi, ketiganya sama-sama mengajak cucu. Pulangnya pun sering mampir warung bakso dan es cincau.

Ketika tiga orang kakek itu asyik dengan obrolannya, cucu-cucu mereka juga asyik menikmati mainannya. Wati, Reni dan Aisyah, tiga bocah kecil itu memang sepantaran. Usia mereka kisaran empat tahunan. Jadi bisa langsung akrab. Memori dan pikirannya belum diwarnai, apalagi dipenuhi, oleh aneka pengalaman hidup yang kadang pahit dan bertentangan dengan hati kecilnya –sebagaimana orang tua sering mengalami. Ketiganya bisa dengan mudah bertukar mainan yang dibawa dari rumah.

Beda dengan ketiga kakek itu. Meski telah pensiun, masih saja ingatan akan pekerjaan menjadi tema obrolan. Bahkan terkadang mendatangkan ketegangan yang tak  diperlukan. Mengingat ketiganya sudah lanjut usia, sebenarnya akan lebih baik jika bertukar cerita tentang hobi yang menyenangkan. Tapi usia lanjut kadang begitu: acap menjeratkan diri pada imaji yang dapat marusak sisa hidup.

“Tempat saya kan sama saja Ban. Mau korupsi apa sebagai guru yang belum pernah merasakan posisi kepala sekolah? Tak pernah pula dilibatkan ngurusi dana BOS. Mau malpraktik tentang apa saya sebagai guru sejarah?”

“Yaaa…. paling tidak kan bisa lirak-lirik murid perempuan. Hahaha…”

Saebani terkekeh. Giginya yang tinggal dua terlihat mengintip di balik bibirnya yang berwarna gelap akibat terlalu sering menghisap sigaret. Sadikun merasa dua gigi itu seperti menusuk dirinya. Membuat merah telinga dan mual perutnya. Seakan tidak menghargai dirinya sebagai guru, yang patut digugu lan ditiru (menjadi teladan). Tapi jujur saja, sebagai lelaki normal ia tentu tertarik tiap kali melihat perempuan. Apalagi murid-muridnya masih muda dan sedang mekar-mekarnya.

Terkadang sikap nekatnya muncul juga. Ah, peduli amat, guru mana yang belum pernah melirik murid perempuan? Baginya, asal tidak bertingkah di luar kewajaran, amanlah. Ya, mungkin ini sudah menjadi rejeki bagi guru laki-laki yang dikerubungi gadis-gadis muda usia. Apalagi Sadikun, guru yang sejak remaja menyukai puisi (zaman dulu langka lho, guru hobi berpuisi, tak seperti sekarang…). Selain berbagi ilmu, baginya menjadi guru adalah kesempatan emas untuk bisa bergaul dengan gadis-gadis bau kencur –yang membuatnya merasa awet muda.

“Eit, sebentar Kun. Saat mengajar, apa kamu tidak pernah menyunat fakta sejarah?” Mendadak Mugiyo menohok, sambil matanya terus mengolok: menatap tajam temannya yang sejak pensiun memanjangkan jenggotnya hingga mirip kambing etawa itu. Sadikun hanya diam seribu bahasa dan tak berkedip cukup lama.

“Kalau pernah, berarti korupsi juga kan? Hahaha….”

Mugiyo dan Saebani tertawa serentak, mirip murid SD yang mendapat aba-aba seorang dirijen untuk menyanyikan lagu kebangsaan di upacara peringatan hari besar nasional.

Sadikun menghelas napas. Ia tak kunjung bersuara. Ia ingat masa muda. Ingat obsesinya. Sejak muda ia terobsesi menjadi guru sejarah. Apalagi ia berpendirian: siapa menguasai sejarah ia akan jadi pemenang. Ia kemudian mengamati dengan saksama rezim yang berkuasa di sejumlah negara. Mereka rata-rata memonopoli narasi sejarah.

Di lubuk hatinya Sadikun berontak. Terutama menyadari banyak fakta sejarah tertentu yang disunat oleh rezim yang sedang berkuasa. Ia bertekad kuat mengajarkan sejarah pada anak didiknya dengan cara yang menurutnya baik dan benar. Sekali lagi, yang menurutnya benar.

“Jadi, sudah paham ya. Kartosuwriyo itu adalah….”

“Pemberontak !!”

Jawab muridnya serentak

“Lho, kok masih belum paham. Kartosuwiryo itu pah…, pah…?  Kartosuwiryo adalah pahla ….?”

“Dia sejenis orang Pak Guru, jangan disamakan dengan buah pala…”

Ucap salah satu murid, yang diikuti suara cengengesan murid lainnya. Sadikun geleng kepala. Tangannya mengelus dada.  Ia mengulangi dengan pertanyaan yang lain.

“Baik, sekarang tentang hari kemerdekaan kita. Ada yang tahu tanggal berapa Hari Kemerdekaan kita ?”

“Ya jelas 17 Agustus 1945, Pak Guru”

“Ada yang punya jawaban lain…?”                                      

“Tidaaaak…”

Jawab muridnya serentak. Kemudian ada yang menyeletuk.

“Kan sudah jelas, kok ditanyakan.”

Sadikun masih berharap ada yang menyebut 7 Agustus 1949. Jika ada murid yang berani menyebut tanggal itu, ia berniat menjadikannya murid kesayangan –dan akan memberi nilai sembilan untuk pelajaran sejarah. Tapi semua murid menyebut 17 Agustus 1945. Bahkan, sambil mengejek dan menertawai Sadikun. Ejekan murid itu sangat menyakitkan baginya. Apalagi muridnya ada yang giginya gingsul, lucu tapi baginya menusuk, persis tusukan gigi Saebani.

“Kok masih bengong Kun….?”

Saebani yang baru saja dibayangkan giginya, mendadak menepuk pundaknya sambil bertanya. Sadikun kaget dan menjawab sekenanya.

“Eh, nggak. Bukannya… Eh, Ban. Tapi … Mana mungkin aku menyunat fakta sejarah? Saya ini guru yang lurus-lurus saja. Buktinya, selama tiga puluh lima tahun mengajar, tidak punya masalah.”

Sadikun memang punya pandangan berbeda terhadap sejumlah fakta sejarah. Namun sebagai PNS tentu ia tidak berani berseberangan secara frontal. Ia secara halus memberi pengaruh pada anak didiknya dengan model coba-coba, trial and eror. Gagal memengaruhi muridnya tentang sejarah DI/TII, Sadikun kerap memengaruhi orang lain tentang sejarah pemilu. Baginya, pemilu 1955 adalah yang paling baik. Bahkan ia selalu membanggakan, tak ada pemilu yang demokratis selain Pemilu 55.

“Pemilu yang paling demokratis tahun berapa saudara-saudara…?”

Demikian ia selalu memancing peserta saat acara sosialisasi pemilu di kampung-kampung. Sejak pensiun dari PNS, Sadikun mengabdikan tenaga dan pikirannya sebagai panitia pemilihan kecamatan (PPK). Ia sebenarnya pernah mendaftar sebagai komisioner KPU di tingkat Kabupaten, tapi tidak lolos seleksi.

“Pemilu 1999….”

Jawab salah satu peserta, bertampang seorang mahasiswa.

“Oh, bukan. Pemilu yang paling demokratis adalah Pemilu 1955.”

Kata Sadikun mantap dan bangga.

“Apa pak Dikun menyaksikan sendiri? Waktu itu usia Pak Dikun berapa? Apa malah belum lahir?”

Timpal peserta sosialisasi yang lain, yang jika dilihat dari usia tak jauh beda dengan Sadikun. Bahkan mungkin lebih tua.

Pertanyaan itu baginya momentum yang baik untuk mejelaskan perihal Pemilu 55. Sadikun telah menyiapkan segudang referensi. Apalagi sebagai pensiunan guru sejarah yang begitu fanatik membanggakan Pemilu 55, tentu ia sangat menguasai. Tapi sebelum ia menjelaskan, peserta tadi melanjutkan.

“Begini saja Pak Dikun, Pemilu 2019 yang kita sendiri mengalami, ternyata berita yang tersebar banyak versi. Apalagi pemilu yang telah berlangsung hampir satu abad lampau, yang cuma bisa kita ketahui dari buku ?”

Sadikun merasa kena skak. Tapi keyakinannya pada Pemilu 55 tak berubah. Tidak hanya itu, baginya kekuatan politik yang bertarung di Indonesia saat ini, hanya warisan dari peta pertarungan pemilu 1955. Salah satu peristiwa sejarah yang selalu ia ingat adalah pembantaian sejumlah kiai NU dan santri oleh PKI. Karena itu, ia sungguh heran dengan konfigurasi politik saat ini.

 “Dalam politik tidak memandang teman atau lawan, Kun. Tapi menurutku, ya tergantung juga yang melakoni. Tergantung orangnya. Jika pakai nurani, jangankan pada teman, pada lawan pun kita tidak akan mengkhianati….”

Serasa makjleb. Kata-kata Saebani pelan, tapi menampar mukanya. Ia teringat peristiwa puluhan tahun lampau, saat mendaftar CPNS. Ketiganya mendaftar sebagai guru, tapi hanya Sadikun yang diterima. Konon beredar kabar, Sadikun main belakang menikam dua temannya itu. Untung Mugiyo dan Saebani kemudian mendaftar PNS di dinas lain dan diterima. Sadikun meninggalkan dua temannya tanpa pamit. Menarik tangan Aisyah yang sedang asyik bermain bunga dengan Wati dan Reni.

“Ke mana kita Kek…?”

“Ayo pulang !!”

“Tidak mau. Isyah masih ingin main bunga-bungaan dengan Wati dan Reni…”

“Nanti Kakek belikan bakso dan es cincau….”

Sadikun menarik lengan cucunya yang meronta. Tapi karena dijanjikan bakso dan es cincau, hati Aisyah luluh juga. Mereka meninggalkan kantor pos menuju warung bakso Mbak Siti. Warung langganan milik salah satu teman akrab Sadikun di organisasi. Selama ini Sadikun sangat senang jajan di warung itu. Selain rasanya memang cocok, ia bisa ngobrol dengan Hadi, ayah Siti. Dan, yang pasti, ia tidak merasa was-was tentang kehalalan makanan yang ditelannya.

Betapa kecewanya mereka karena warung tersebut tutup. Beberapa warung di sebelahnya memang buka –dan Aisyah minta kakeknya berhenti di situ. Tapi Sadikun  hanya diam membatu. Dilihatnya beberapa warung yang buka itu: Bakso Granat Lek Dipo, Mi Ayam Spesial Kang Semaun, dan lainnya. Pemilik warung itu sebenarnya juga anak dari teman-teman Sadikun saat muda, hanya saja beda organisasi.

Di warung yang buka itulah Wati dan Reni diajak kakeknya jajan bakso. Kedua kakek itu tak punya beban sama sekali pada semua warung yang berjualan di situ. Mugiyo dan Saebani berpikir simpel: menyenangkan cucunya. Baginya, kedua cucu itu adalah masa depannya –tak  elok jika sampai kelaparan gara-gara leluhurnya beda pandangan.

Sementara Aisyah masih menahan lapar dan terus merengek. Terpenjara dalam bui sisa-sisa kebanggaan sang kakek.(*)

Wisma Aksara, 2021-2022.


Penulis:

Marwanto, menulis cerpen, esai, puisi, naskah pementasan dan resensi buku. Tulisannya dimuat sejumlah media cetak dan online, diantaranya: Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat,Minggu Pagi, Pos Bali, Koran Sindo, Mercusuar, Detikcom, Basabasi, Cendananews, dll. Membina  Komunitas Sastra-Ku serta mengetuai Forum Sastra dan Teater  Kulonprogo DIY. Cerpen dan puisinya pernah menjuarai lomba sastra tingkat nasional. Buku cerpen terakhirnya:  Aroma Wangi Anak-anak Serambi (Poiesis Indonesia, 2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *