Esai
Mempertimbangkan Modernisme Chairil Anwar

Mempertimbangkan Modernisme Chairil Anwar

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta,
Ini muka Eliot-Ezra
Siapa punya?[1]

Wajah-wajah pedas beragam-ragam
Dalam belantara kaca[2]
Di terminal antar kota:
Tidak ada bunga dan dahan basah hitam.[3]

Sayembara Kritik Sastra 2022 Dewan Kesenian Jakarta, yang diselenggarakan bertepatan dengan seratus tahun Chairil Anwar, mengambil tema “Modernisme Chairil Anwar”. Pemenang sayembara sudah diumumkan akhir Agustus lalu. Bukan naskah-naskah pemenang yang akan menjadi titik bahasan dalam tulisan ini. Esai ini akan membahas tema dari sayembara tersebut, yakni “Modernisme Chairil Anwar”.

Dalam pengantar sayembara kita dapat membaca tujuan dan argumen mengapa sayembara mengambil tema tersebut. “Modernisme Chairil Anwar” diketengahkan sebagai tema sayembara bertujuan untuk mendorong kritik atas puisi-puisi Chairil Anwar dikaji melalui pendekatan yang segar dan relatif baru, melalui pendekatan tekstualitas. Sebab, selama ini kajian-kajian atas puisi-puisi Chairil, diasumsikan, cenderung lebih menelaah hubungan puisi-puisi dengan persona penyairnya.

Kajian atas puisi melalui pendekatan tekstualitas yang mengenyampingkan persona subyektif penyairnya mungkin selaras dengan prinsip depersonalisasi modernisme sastra. Periode kreatif Chairil memang tercakup dalam kurun waktu gerakan modernisme sastra yang berlangsung selama dekade akhir abad 19 sampai paruh pertama abad 20. Namun, apakah tepat mengkategorikan puisi-puisi Chairil sebagai puisi modernisme? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus membahas terlebih dahulu apa itu modernisme sastra.

Modernisme
Paling tidak, ada tiga dedengkot gerakan modernisme sastra yang lahir pada sekitar akhir abad sembilan belas sampai akhir paruh pertama abad dua puluh: yakni T. E. Hulme, Ezra Pound, dan T. S. Eliot. Meskipun ketiga dedengkot tersebut memiliki sejumlah perbedaan berkenaan dengan gagasan penciptaan puisi modernis, namun ketiganya relatif diikat oleh konsep depersonalisasi dan kesinambungan tradisi sastra untuk menarik garis batas dari romantisisme yang dianggap telah sekarat.

Sebelum lebih jauh membahas tentang modernisme, kita sebaiknya memberikan batasan bahasan kita; bahwa dalam tulisan ini hanya akan membahas modernisme di bidang sastra, khususnya tentang depersonalisasi dan kesinambungan tradisis sastra yang menjadi konsep kunci. Tentu kita masih boleh berdebat mengenai dua konsep kunci tersebut. Namun, paling tidak, dua konsep kunci itulah yang menjadi dasar untuk menganggap Chairil Anwar sebagai penyair modernis dan memasukan puisi-puisinya sebagai puisi modernis dengan menolak mitos “binatang jalang” dan menetapkan harga intertekstualitas dalam puisi-puisi Chairil Anwar.

Mungkin konsep depersonalisasi paling jelas diformulasikan oleh T. S. Eliot dalam esai terkenalnya yang terbit pertama kali pada tahun 1919, “Tradition and the Individual Talent”. Didorong oleh penentangannya atas pandangan Romantik bahwa puisi adalah ekspresi personalitas individu penyair, Eliot memposisikan penyair sebagai medium yang berfungsi sebagai katalisator dalam proses percampuran berbagai jenis emosi dan perasaan.  Emosi dan perasaan yang didapat dari pengalaman dan impresi aktual penyair diacu sebagai entitas material yang ditelentangkan di atas meja untuk diperiksa dengan tatapan arkeologis atau antropologis. Sebab, emosi dan perasaan tidak lahir dengan sendirinya di dalam diri penyair, tetapi juga jejak dari masa lalu yang hadir kembali melalui pengalaman dan impresi aktual. Oleh karenanya, tugas penyair bukanlah melampiaskan emosi dan perasaan di dalam puisinya. Tugas penyair adalah menyingkapkan secara sadar hubungan-hubungan antara masa lalu dan masa kini dan menghadirkan hubungan-hubungan tersebut secara simultan di dalam puisinya.

Teori impersonalitas puisi Eliot yang mendorong penyair untuk menghapus personalitasnya  dan menghidupkan rasa kesejarahan senada dengan metode luminous detail (perincian terang) Ezra Pound. Dalam serial artikel yang dimuat di The New Age, “I Gather the Limbs of Osiris” ( 7 Desember 1911 – 15 Februari 1912)[4], Pound menegaskan pentingnya pengetahuan sejarah tradisi sastra bagi penyair. Sebagaimana disarankan oleh judul artikel tersebut: penyair dapat diumpamakan Isis yang berupaya menghidupkan kembali Osiris dengan mengumpulkan anggota-anggota tubuh Osiris yang telah dimutilasi oleh Seth. Bagaimanapun, membangkitkan kembali masa lalu atau sejarah, menurut metode luminous detail, bukan dengan menghimpun segala kemelimpahan sejarah dengan didasari oleh sentimen dan generalisasi. Namun, lebih dengan cara yang seksama memilih fakta-fakta sebagai sari-pati suatu periode tertentu – dalam istilah Eliot, fakta-fakta yang menjadi batu penjuru suatu tradisi sastra dalam periode tertentu.

Teori impersonalitas puisi maupun metode luminous detail tak dapat diluputkan dari konstruksi struktural intuisi, konsep real duree, Bergsonian yang meletakan intuisi pada titik perpotongan masa lalu dan masa kini yang dialami secara aktual. Bagi Bergson spontanitas intuitif bukanlah spontanitas murni, namun “spontanitas” yang dibentuk oleh pemanggilan ingatan masa lalu pada masa kini. Sebuah kursi yang kita lihat kemarin akan menimbulkan impresi baru saat kita menatapnya pada hari ini. Kebaruan impresi tersebut bukan karena keterisolasian tatapan aktual hari ini, melainkan justru karena tatapan hari ini secara simultan selalu terhubung dengan tatapan kemarin. Barangkali, semboyan make it new!, salah satu cap modernisme paling dikenal, berakar dari konsep intuisi yang struktural dari Bergson: intuisi yang diletakan di atas permukaan sadar[5]. Simultanitas masa lalu dan masa kini yang disadari tersebut mendasari gagasan hubungan relasional yang saling meresapi antara sejarah tradisi sastra dan sastra hari ini.

Namun, pembangkitan kembali tradisi sastra bukanlah gagasan khas modernisme, neoklasisme sebelumnya juga telah melakukannya. Apa yang membedakan kesinambungan tradisi sastra antara modernisme dan neoklasisme terletak pada pandangan atas gerak sejarah pada keduanya. Neoklasisme memandang sejarah sebagai gerak melingkar yang mencakup pengulangan sejarah secara regresif. Sedangkan modernisme memandang sejarah bergerak seperti alur pegas, berulang sekaligus progresif; sejarah atau masa lalu (dalam konteks ini tradisi) kembali sebagai kebaruan melalui proses penerjemahan-penafsiran berkait dengan aktualitas hari ini. Kesinambungan tradisi sastra modernisme merupakan kesinambungan progresif dari pada kesinambungan regresif. Oleh karena itu, pengambilan atau pengerjaan ulang sepilihan teks sastra lama dalam modernisme tidak akan mengarah pada neoklasisme yang meletakaan interpertasi atas karakteristik dominan atau konvensi sastra lama – mencakup bentuk, gaya, dan isi – sebagai model. Penerjemahan sepilihan karya sastra lama dalam modernisme, yang kerap disajikan secara montasial, berkaitan secara komparatif dengan peristiwa aktual yang dipersepsi. Hubungan komparatif  antara sepilihan teks sastra lama dan pemersepsian peristiwa aktual tersebut seringkali bersifat satir.

Konsep depersonalisasi dan konsep kesinambungan tradisi pada modernisme bukanlah dua konsep yang terpisah, tetapi lebih merupakan dua konsep yang memiliki hubungan konsekuensial. Penghapusan personalitas yang dianalogikan oleh Eliot sebagai potongan platinum dalam proses reaksi kimia menegaskan hubungan konsekuensial tersebut. Artinya, potongan platinum tidak akan dapat disamakan dengan penghapusan personalitas tanpa mengacu platinum sebagai katalisator dalam proses reaksi persenyawaan antara  oksigen dengan belerang dioksida yang menghasilkan asam sulfat.[6] Pada konteks ini, oksigen dan belerang dioksida dianalogikan sebagai emosi dan perasaan yang diperoleh melalui pengalaman dan impresi. Penganalogian penghapusan personalitas sebagai platinum yang berfungsi sebagai katalis dalam proses reaksi kimia, bagaimanapun, merupakan  upaya melukiskan objektivikasi subyektifitas intuitif. Emosi dan perasaan dimaterialisasi sebagai elemen intuitif yang distruktur oleh masa lalu dan masa kini secara simultan, memisahkannya dari dimensi subyektif  yang sebelumnya menjadi pancang utama penciptaan puisi Romantik.

Modernisme Chairil Anwar?
Sebelumnya, dalam “Genius, Genetika, dan Kamar 3×4 m”[7], Ari J. Adipurwawidjana telah meragukan Chairil Anwar sebagai penyair modernis. Namun, dari pada membandingkan puisi Chairil Anwar dengan konsep modernisme yang relevan, Adipurwawidjana lebih membahas penolakannya atas Leavisme yang memilah sastra tinggi-sastra rendah dan menyarankan pembacaan poskolonial ala Homi J. Bhabha dengan memandang puisi Chairil Anwar sebagai produk mimikri yang dihasilkan dalam ruang liminal. Tampaknya Adipurwawidjana cenderung hendak menyeret Chairil Anwar dan puisi-puisinya untuk masuk ke dalam semesta posmodernisme; era saat modernisme berhenti berhubungan secara dialektis dengan modernitas dan menjad doxa.

Sejauh ini seruan paling lantang untuk menghancurkan mitos “binatang jalang” Chairil Anwar datang dari Nirwan Dewanto; mendesak untuk mengkaji teks-teks puisi Chairil Anwar secara terpisah dari pesona personalitasnya dan, dengan demikian, menempatkan puisi Chairil Anwar sebagai puisi modernis.[8] Bagi Nirwan Dewanto, menghancurkan mitos Chairil Anwar sebagai “binatang jalang” berarti menolak menempatkan Chairil Anwar ke dalam kelisanan dengan mengkaji puisi-puisi Chairil Anwar sebagai hasil dari “. . . studi terhadap para pendahulunya, membaca sastra dunia dan mengambil ke dalam dirinya, merumuskan konsep penciptaannya dengan terang . . .”[9]. Oleh karena itu, Nirwan Dewanto menganggap Chairil Anwar sebagai penerus atau pewaris tradisi, yang dalam makna modernisme berarti mengerjakan ulang secara kritis bentuk atau karya yang dianggap sebagai batu penjuru tradisi.

Mengambil puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” sebagai contoh visi dan hormat terhadap tradisi sastra, yakni terhadap bentuk syair atau pantun juga kuatrin. Nirwan Dewanto menyatakan bahwa “Senja di Pelabuhan Kecil” meneladani secara kritis bentuk syair dan pantun. “Senja di Pelabuhan Kecil” dianggap mengubah baris-baris syair yang dibentuk dari kalimat sempurna menjadi frasa atau kalimat rumpang yang hubungan antar frasa, antar kalimat, atau antar lariknya  merupakan hubungan menggantung yang meninggalkan celah bisu-sunyi. Selain itu, “cacat” dalam hubungan di atas dianggap Nirwan justru memunculkan tenaga kata dan kombinasi antar kata yang dapat menyita perhatian pembaca dengan “menghidupkan benda mati” dan “mengkonkretkan yang abstrak”. Nirwan mencontohkan “tanah dan air tidur” untuk menghidupkan benda mati dan “desir hari lari berenang” untuk mengkonkretkan yang abstrak. Jika hubungan tanggung antar frasa, antar kalimat, dan antar larik, serta penggunaan majas metafora dianggap sebagai ciri modernisme yang diterapkan oleh Chairil Anwar pada puisi-puisinya, anggapan ini sudah pasti keblinger. Apalagi Nirwan sama sekali tidak menyingkapkan alusi terhadap syair dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Tanpa penyingkapan alusi terhadap bentuk syair, klaim Nirwan yang menganggap Chairil sebagai “penerus tradisi” yang setia “terhadap bentuk-bentuk puisi lama” tidak lebih sebagai klaim tahi kebo.

Secara dominan puisi-puisi modernis membangun hubungan-hubungan antara kalimat atau frasa, antar baris, dan antar bait sebagai pola jukstaposisi (penjajaran) yang bersifat komparatif. Jikapun pembaca tak dapat membaca hubungan jukstaposisi yang komparatif dan merasa terjebak dalam “celah sunyi-bisu” atau merasakan “hubungan tanggung”, problem tersebut bukan terletak pada teks puisi, tetapi lebih pada kurangnya referensi pembaca atas tradisi sastra. Namun bukan berarti Nirwan keliru mengidentifikasi karakter modernis dalam hubungan antar frasa, antar kalimat, atau antar  larik pada “Senja di Pelabuhan Kecil”. Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” memang tidak menerapkan jukstaposisi modernis. Agar lebih jelas bagaimana puisi modernis menerapkan pola jukstaposisi mari kita baca “In A Station Of The Metro” karya Ezra Pound:

The apparition    of the faces    in the crowd :
Petals    on a wet, black bough  . [10]

Secara sekilas baris pertama dan baris kedua puisi “Metro” tidak mempunyai hubungan. Bagaimana bisa “Penampakan wajah-wajah di kerumunan” tiba-tiba dilanjutkan dengan “Bunga-bunga di dahan hitam basah”? Jika kita membaca hubungan baris pertama dan baris kedua puisi “Metro” secara linear, sebagai suatu urutan, kita akan menemui jalan buntu. Frasa baris pertama dan frasa baris kedua masing-masing memang berdiri sendiri, tetapi kedua baris tersebut dapat dibaca sebagai satu kesatuan unit puitik yang saling berhubungan dalam pola jukstaposisi. Baris pertama dan baris kedua dibandingkan dengan merelasikan kata “faces” dan “petals”. Puisi “Metro”, dengan bentuk yang singkat dan pola jukstaposisi akan mengingatkan pembaca terlatih pada haiku – meskipun tanpa kigo (kata yang menjadi simbol musim), jumlah baris, dan jumlah kata yang sama dengan haiku. Selain itu, dua baris frasa pada puisi “Metro” merupakan frasa konkret yang secara visual kita dapat membayangkan atau merujukan pada gambaran nyata. Secara gamblang, penggunaan frasa konkret pada puisi “Metro” merupakan alusi yang bersifat satir (sindiran) terhadap frasa atau kalimat abstrak yang menjadi kekhasan puisi-puisi Romantik.

Penggunaan frasa atau kalimat konkret pada puisi-puisi modernis boleh jadi merupakan suatu konvensi untuk membedakan atau menentang kalimat atau frasa abstrak pada puisi-puisi Romantik. Mungkin untuk contoh paling jelas dalam kasus ini kita bisa membaca puisi T. E. Hulme, “Above the Dock” yang menghancurkan imajinasi mengawang-awang khas Romantik  tentang bulan (biasanya diasosiasikan dengan kecantikan perempuan atau perasaan asmara) melalui pengontrasannya dengan “balon”:

Above the Dock[11] 

Above the quiet dock in mid night,
Tangled in the tall mast’s corded height,
Hangs the moon. What seemed so far away
Is but a child’s balloon, forgotten after away. 

Di Atas Dermaga

Di atas dermaga tengah malam sunyi,
Disimpang-siur temali tiang kapal jenjang tinggi,
Bulan menggantung nun jauh sangat
Itu tak lain balon anak-anak, setelah lepas dilupa.

Sekarang mari kita bandingkan “Above the Dock” dengan bait pertama “Senja di Pelabuhan Kecil”:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu, tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.[12]

Kita tidak mendapatkan citraan konkret dari bait pertama “Senja di Pelabuhan Kecil” di atas. Bait pertama tersbut (dan seluruh puisi) merupakan gambaran abstrak dari suasana hati, perasaan kesepian yang genting. Jelas sekali kombinasi kata yang disusun untuk membentuk frasa oleh Chairil Anwar berbeda kontras dengan Hulme.

Selain menyatakan memperluas bentuk syair, Nirwan juga menyatakan “Senja di Pelabuhan Kecil” memperluas bentuk pantun. Menurut Nirwan, “Senja di Pelabuhan Kecil” memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, sedangkan bait ketiga adalah isi. Setidaknya ada tiga problem dari klaim Nirwan tersebut. Pertama, Nirwan menyatakan bahwa bait pertama dan kedua adalah lanskap murni. Bagaimana mungkin bait pertama dan kedua merupakan citraan lanskap murni, jika citraan lanskap dilukiskan dengan hubungan antar frasa, antar kalimat, antar baris yang menggantung dan dengan kombinasi kata yang “tak kunjung dipahami”. Apalagi Nirwan juga menyatakan bahwa “Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah”. Pembaca tidak mungkin dapat “melihat” lanskap pada “Senja di Pelabuhan Kecil”. Kedua, Nirwan menyatakan bait pertama dan kedua “seakan-akan dikatakan orang ketiga”: saya tidak tahu bagaimana Nirwan dapat mengimajinasikan ada orang ketiga yang diam-diam menyelinap masuk dan berbicara pada bait pertama dan kedua tanpa ada tanda baca yang mengindikasikan demikian dan dengan topografi puisi yang rata kiri secara seragam  atau tanpa huruf-huruf yang dimiringkan. Dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” pembaca hanya dapat menemukan satu persona yang dinyatakan secara eksplisit: “Aku”.

Problem ketiga, masalah sampiran dan isi, merupakan problem paling penting. Sampiran dan isi merupakan elemen artistik paling vital pada pantun, sebagaimana elemen jukstaposisi pada haiku. “In A Station Of The Metro” tidak patuh pada ketentuan jumlah baris dan jumlah kata serta penggunaan kigo, tetapi penerapan jukstaposisi dapat menghubungkan puisi pendek karya Pound itu pada haiku. Jika pernyataan Nirwan tepat bahwa bait pertama dan bait kedua adalah sampiran dan bait ketiga adalah isi, kita tak dapat menyatakan lain kecuali sepakat dengan Nirwan.

Faktor penting dalam konsep sampiran dan isi pada pantun adalah hubungan keduanya. Pertama, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun diatur, paling tidak, sebagai keberpautan skema rima akhir antara sampiran dan isi. Rima akhir stanza pantun biasanya AB-AB, rima akhir baris pertama sampiran diulang pada rima akhir baris pertama isi dan rima akhir baris kedua sampiran diulang pada rima akhir baris kedua isi. Pada “Senja di Pelabuhan Kecil” kita sama sekali tidak menemukan keberpautan skema rima antara sampiran yang terdiri dari dua bait – yang masing-masing baitnya berjumlah empat baris – dengan satu bait isi yang terdiri dari empat baris. Kedua, hubungan antara sampiran dan isi pada pantun adalah keberpautan sugestif, hubungan antara pembayang maksud dan maksud. Amir Hamzah menyebut sebagai tali-sakti yang mengikat dua baris sampiran dan dua baris isi, yang ikatannya “. . . hanya dapat dirasa-rasakan tiada mungkin diuraikan nyata”,[13] kata Amir Hamzah. Hubungan sugestif antara sampiran dan isi yang merupakan hubungan antara kiasan dan apa yang dikiaskan tersebut berlangsung dalam pararelitas simbolik yang dapat bersifat kontradiktif ironi atau pun penegasan. Kita tidak diberitahu oleh Nirwan Dewanto bagaimana hubungan antara sampiran dan isi dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”. Nirwan hanya menyatakan bahwa kemunculan sekonyong-konyong subyek pertama tunggal (aku) pada bait ketiga (isi) bersifat menggarisbawahi “apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu”[14]. Jikapun menggarisbawahi sama dengan penegasan maksud isi atas pembayang maksud sampiran, hubungan sampiran dan isi yang menegaskan dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” tidak berlangsung dalam pararelitas yang memisahkan bagian sampiran dari isi atau isi dari sampiran. Maksudnya, tidak ada retakan antara bagian sampiran dan isi yang hanya mungkin diikat oleh tali-sakti-nya Amir Hamzah. Bagian sampiran dan bagian isi pada “Senja di Pelabuhan Kecil” meleleh bersama dan menutup retakan atau celah di antara keduanya untuk menjadi konsep bersinambung tunggal. “Senja di Pelabuhan Kecil” sama sekali bukan cerminan perluasan bentuk pantun, baik dalam hubungan antara sampiran dan isi maupun dalam organisasi bunyi dan aspek musikal yang mencakup skema rima dan pola irama.[15]

Tidak ada satu pun puisi Chairil Anwar yang dapat disebut pantun atau dapat disebut memperluas bentuk pantun, jika pantun dikarakterisasi oleh hubungan antara sampiran dan isi yang merupakan hubungan sugestif yang berlangsung secara pararel dan diatur oleh organisasi bunyi berupa skema rima dan pola irama tertentu. Bahkan puisi Chairil yang dikenali secara umum sebagai puisi pertamanya dan kerap dianggap meneladani pantun, “Nisan”, hanyalah bentuk kuatrin yang mencerminkan bentuk luar pantun berupa skema rima dan pola irama. Bagi Francois Rene Daillie, bentuk kuatrin yang hanya diatur berdasarkan skema rima dan pola irama pantun tapi tidak menunjukan korespondensi antara pembayang dan maksud dalam hubungan antara sampiran dan isi adalah bukan pantun.

Argumen Nirwan untuk menyingkapkan alusi atau hubungan “Senja di Pelabuhan Kecil” dengan pantun dan syair sangat serampangan. Secara ambisius Nirwan berusaha melekatkan cap modernisme kepada si binatang jalang dengan membuktikan hubungan puisi Chairil dan tradisi sastra lama, tetapi mengabaikan prinsip alusi modernis yang lebih meletakan hubungan dengan tradisi sastra sebelumnya sebagai suatu korespondensi antara masa kini dan masa lalu yang disadari. Peminjaman atau pengambilan elemen-elemen sastra lama yang disadari, berupa kutipan yang “diselewengkan” dan penerapan gaya sastrawi masa lalu tertentu yang vital, pada modernisme membentuk metode pembacaan yang membaurkan referensi kondisi konkret kontemporer yang ditunjuk secara denotatif  dan referensi literer masa lalu yang ditunjuk secara konotatif yang seringkali membangkitkan satir.

Sebagaimana Nirwan Dewanto, Malkan Junaidi dalam “Kredo Modernis dan Solusi Noda”[16]  juga berupaya membuktikan bahwa Chairil Anwar adalah penyair modernis. Dengan mendasarkan pada penggunaan atau pengerjaan ulang karya satra yang ditulis sebelumnya yang dilakukan Chairil, Malkan mendudukan Chairil sebagai penyair modernis atas nama kesinambungan tradisi sastra. Katakanlah,  jika puisi-puisi Marsman dan Slauerhoff  kita anggap saja sebagai tonggak romantisisme – ingat luminous detail-nya Pound dan teori impersonalitas puisi-nya Eliot menyaring secara seksama tonggak-tonggak sejarah yang dianggap sebagai representasi unggul dari tradisi periode tertentu –, Malkan mengabaikan prinsip alusi modernis yang mendasarkan diri pada korespondensi antara masa lalu dan masa kini. Bukan sekedar pengerjaan ulang berupa salinan terjemahan yang kehilangan referensi kondisi konkret hari ini yang secara serempak juga referensi literer masa lalu. Bukan pula salinan terjemahan yang merupakan upaya menemukan suara perasaan dan emosi personal. Agar lebih jelas, mari kita periksa dan bandingkan puisi “Rumahku” karya Chairil Anwar dan bagian dari “The Waste Land” karya Eliot.

Mengikuti H. B. Jassin, “Rumahku”, menurut Malkan, adalah puisi “saduran puitis atau apropriasi”  dari “Woninglooze” (Homeless/Gelandangan) karya Slauerhoff. Bagi Malkan Junaidi, “‘Rumahku’ dan ‘Woninglooze’ sama-sama bicara tentang pemikiran penyair bohemian, obsesi mereka terhadap desain puisi yang mengayomi”[17]. Jikapun memang benar bahwa ‘Rumahku” merupakan saduran puitis atau apropriasi atas “Woninglooze”; apakah apropriasi yang dilakukan Chairil tersebut dapat dikatakan sebagai implementasi dari “kredo modernis”? Apakah pada “Rumahku” kita dapat menemukan depersonalisasi, citraan-citraan konkret, dan korespondensi kritis antar masa lalu dan masa kini yang merupakan elemen-elemen puitik modernisme dari teori impersonalitas puisi? Mari kita baca dan bandingkan dua puisi tersebut.

Rumahku[18]

Rumahku dari unggun timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di Pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak 

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu

Gelandangan[19]

Hanya dalam sajak kuberumah,
Naung tak kutemu pun di mana;
Dalam kepalaku tak tertancap rumah,
Sebuah kemah yang dicerabut topan. 

Hanya dalam sajak kuberumah.
Selama tanah bebas terbuka,
padang rumput, kota dan pun hutan
kudapat, khawatir tak kupunya. 

Lama bakal, tapi pasti tiba
Jelang malam aku hilang daya
Menggali percuma getas kata,
Yang pernah bangkitkanku, dan tanah
Harus melipatku meringkuk dalam
Ruang kuburku yang nganga gelap.

Baik “Rumahku” maupun “Woninglooze” (Gelandangan) tak membangun citraan yang membuat pembaca dapat membayangkan suatu penglihatan visual konkret dari kedua puisi tersebut. Dengan kata lain, dua puisi tersebut menyusun gambaran abstrak untuk mengekspresikan suatu perasaan penyairnya yang  mungkin dapat menala pembacanya secara somatis melalui ungkapan-ungkapan metaforis. Sebagai contoh, bagaimana membayangkan secara konkret dari pernyataan: Rumahku dari unggun-timbun sajak atau Hanya dalam sajak kuberumah?  Gampangnya, dapatkah dibayangkan rumah konkret dibangun dari sajak atau puisi? Kedua sajak itu tidak memberikan penglihatan pada pembaca, tetapi mendorong pembaca untuk merasakan sesuatu melalui pertanyaan seperti; kenapa berumah atau tinggal di dalam puisi? Apakah tinggal di dalam rumah yang bukan rumah itu pilihan atau keterpaksaan? Mungkin pertanyaan tersebut tak terjawab secara definitif, tetapi mungkin pembaca dapat merasakan suatu perasaan utuh tertentu melalui keseluruhan puisi. Sebab, berumah di dalam puisi mungkin dapat dimaknai sebagai cara hidup tidak normal yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang nekat karena terpinggirkan atau yang menerapkan hidup bebas. Dalam konteks Slauerhoff, “Woninglooze” dapat dibaca dengan mengaitkannya pada  pengalaman hidup penyair sendiri. “Woninglooze” mengungkapkan kegagalan Slauerhoff untuk hidup secara normal, berulangkali kontrak kerjanya terpaksa putus karena kesehatannya yang buruk. Kondisi tersebut memaksanya untuk hidup secara bohemian. Ekspresi perasaan yang lahir dari gaya hidup bohemian Slauerhoff tersebut persis disalin oleh Chairil Anwar yang juga menjalani gaya hidup bohemian dalam “Rumahku”. Bahkan pengungkapan ekspresi kebohemianan Slauerhoff  secara kebahasaan, melalui penggunaan frasa atau kalimat yang memproyeksikan citraan abstrak, juga digunakan oleh Chairil. Puisi sebagai ungkapan langsung (spontan[20]) perasaan penyairnya sama-sama diacu oleh kedua penyair tersebut, baik oleh penyair generasi romantisisme akhir Belanda maupun oleh si binatang jalang. Artinya, melalui penerjemahan, Chairil mengambil alih personalitas puitik Slauerhoff untuk menghidupkan secara puitik personalitasnya sendiri: Chairil Anwar memperoleh suara batin, perasaan personal, dari Slauerhoff. Penerjemahan atau pengerjaan ulang yang dilakukan oleh Chairil bukan perbandingan, tetapi lebih sebagai pengepasan: tidak ada korespondensi kritis antara “Rumahku” dan “Woninglooze”.

Kita beralih ke “The Waste Land”, puisi karya T. S. Eliot yang dianggap sebagai salah satu batu pancang modernisme. Kita akan mengupas “The Waste Land” pada bagian yang juga sudah diulas oleh Malkan Junaidi pada “Kredo Modernis dan Solusi Noda”: baris 60 – 65 dari “The Waste Land”. Dalam ulasannya, Malkan Junaidi menunjukan baris 60 – 65 “The Waste Land” mengandung alusi pada karya Charles Baudelaire (“Les Sept Vieillards”)  dan seven Alighieri (“The Divine Comedy”) dengan mengutip kembali anotasi yang dibikin oleh Eliot. Meskipun Malkan menyatakan bahwa alusi berfungsi menghubungkan ingatan pembaca pada teks lain (sebelumnya) untuk menunjukan paralelisme atau menimbulkan efek parodi, namun Malkan lebih menitikberatkan alusi sebagai pembasuh tuduhan plagiarisme terhadap “pembajakan” Chairil Anwar atas teks-teks sastra lain. Dengan membandingkan Chairil pada Eliot, Malkan nampaknya hendak menyatakan  bahwa “pembajakan” yang dilakukan Chairil tak lebih merupakan praktik kreatif modernisme. Namun pembajakan karya sastra lain untuk dibikin karya sastra baru sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kaum modernis. Pada akhir abad 16 atau awal abad 17 misalnya, Fenelon mengerjakan ulang bagian dari Odyssey karya Homer dalam “The Adventures of Telemachus”. Fenelon bahkan mengubah bentuk metrikal Odyssey Homer menjadi prosaik dalam karyanya yang cenderung bersifat didaktik tersebut. Namun, apa yang menjadi penting dalam modernisme bukan sekedar perkara pengambilan karya lain, melainkan bagaimana karya lain tersebut digunakan dalam konteks baru. Oleh karenanya mengupas kutipan-kutipan karya lama dalam “The Waste Land” yang berkorespondensi secara kritis dengan hari ini sebagai singkapan arkeologis atau atropologis di balik teks puisi yang terbaca menjadi penting untuk menunjukan ciri modernisme.

Sekarang mari kita baca larik 60 – 65 “The Waste Land”:

Unreal City, 60
Under the brown fog of a winter down, 61
A crowd flowed over London Bridge, so many, 62
I had not tought death had undone so many. 63
Sighs, short and infrequent, were exhaled, 64
And each man fixed his eyes before his feet.[21] 65   

Kota khayali, 60
Diseliput kabut coklat fajar musim dingin, 61
Kerumunan merayap di atas Jembatan London, sangat banyak, 62
Tak pernah aku bayangkan kematian mengudar sangat banyak, 63
Desahan-desahan, kembang-kempis nafas, terhembus, 64
Dan tiap orang menunduk terpaku pada kakinya.  65

Pertama, frasa-frasa atau kalimat-kalimat pada larik 60 – 65 “The Waste Land” hampir semuanya berupa deskripsi yang memproyeksikan visualisasi konkret panorama sebuah kota dan kerumunan orang. Hanya pada larik ke 63 yang berupa kalimat abstrak; narator menyatakan pikirannya atau kesannya terhadap panorama kota yang dilihatnya, terutama kesan terhadap kerumunan yang merayap di atas Jembatan London.

Kedua, visualisasi konkret larik 60 – 61 mengacu pada sebuah kota – diindikasikan pada baris ke 62 “Jembatan London” –, yakni London. Berdasar pada letaknya, Jembatan London mungkin tepatnya mengarah pada bagian distrik keuangan pada masa itu yang merupakan jantung dari modernitas Inggris, bahkan Eropa atau global. Kombinasi kata “brown fog” pada larik 62 dapat ditafsir sebagai fenomena musim dingin yang aneh, tetapi bukan berarti tidak dapat dibayangkan secara visual; kabut pagi musim dingin biasanya merupakan kabut uap air berwarna putih akibat temperatur yang turun pada malam hari. “Brown fog” (kabut coklat) juga dapat diacu sebagai kiasan untuk kondisi yang kotor atau menjijikan. Larik 60 – 61 secara simultan juga merujuk pada baris 1 – 2 “Les Sept Vieillards” (The Seven Old Men/Tujuh Orang Tua)[22] karya Baudelaire yang mengacu pada kota Paris yang pada sekitar dua dekade awal paruh kedua abad sembilan belas sedang mengalami modernisasi besar-besaran. Proyek modernisasi Paris masa itu mencakup penghancuran elemen-elemen kuno kota Paris, baik fisik maupun relasi sosial. Baris 1 “Tujuh Orang Tua” – Kota kerumunan, kota penuh impian – “diterjemahkan” Eliot secara singkat menjadi “Kota khayali”. Sedangkan kombinasi dua kata pada bagian awal larik 1 “Tujuh Orang Tua” – Kota kerumunan – mengantisipasi munculnya kerumunan yang merayap di atas Jembatan London pada larik 62 “The Waste Land”. Larik 2 “Tujuh Orang Tua” – Hantu gentayangi pelintas di siang bengkak! – merupakan fenomena ganjil sebagaimana larik 61 “The Waste Land”: kabut coklat yang muncul pada fajar musim dingin sama tak lazimnya dengan hantu-hantu yang gentayangan di siang bolong. Seperti kabut coklat, hantu-hantu juga elemen gangguan. Jukstaposisi laten London dan Paris dijembatani dengan modernitas; jukstaposisi laten kabut coklat dan hantu-hantu dijembatani dengan elemen gangguan atau keganjilan .

“Kota kerumunan” pada baris 1 “Tujuh Orang Tua” menjadi “Kerumunan di atas Jembatan London” pada baris 62 “The Waste Land” secara simultan juga merujuk pada baris 55 – 56 Canto III, bagian Inferno dalam “The Divine Comedy”[23], yang juga bicara kerumunan orang: “. . . dan di belakangnya (di belakang pataka yang berkibar-kibar) kerumunan manusia berbaris sangat panjang . . .”. Baris 62 “The Waste Land” yang merujuk pada baris 55 – 56 Canto III Inferno tersebut mengimpresikan orang-orang yang berkerumun di atas Jembatan London sebagai mayat hidup. Baris 55 – 56 Canto III Inferno (Neraka) bercerita tentang narator yang memasuki gerbang neraka dengan dipandu oleh Virgil. Satir atau sindiran terhadap massa modern kota London dengan dibandingkan pada mayat-mayat hidup di neraka. Kondisi massa modern yang seperti mayat hidup, hollow man, tersebut ditegaskan lagi dalam baris 63 yang merupakan salinan nyaris persis baris 56 – 57 Canto III Inferno.

Keempat, baris 64 – 65 “The Waste Land” mendeskripsikan kondisi kerumunan di atas Jembatan London. Kondisi tak berdaya dan menjijikan orang-orang modern tersebut dibandingkan dengan orang-orang mati yang beriringan menapaki gigir jurang melingkar di neraka pada baris 25 – 27 Canto IV[24] Inferno dalam “The Divine Comedy”. Sekali lagi, Eliot dalam “The Waste Land” menggambarkan secara satir manusia-manusia modern.

Apa yang dapat kita tarik dari pengupasan baris 60 – 65 “The Waste Land” adalah; bahwa alusi modernis tidak hanya perkara menerjemahkan atau mengalih-bahasakan karya sastra lain/lama menjadi karya sastra baru dalam kerangka pengepasan personalitas. Penerjemahan atau pengerjaan ulang Chairil atas puisi Slauerhoff yang merupakan upaya penemuan bunyi personal untuk mengekspresikan perasaan dan emosi melalui frasa-frasa atau kalimat-kalimat abstrak, jelas tidak dapat disebut sebagai praktik alusi modernis. Alusi modernis menekankan impersonalitas dan penerapan secara sadar “historical sense” (rasa kesejarahan) dengan mengacu bahasa sebagai material yang memiliki lapisan-lapisan arsip  arkeologis dan antropologis sekaligus merujuk pada kenyataan konkret yang dideskripsikan secara dramatik. Oleh karena itu, mendudukan Chairil Anwar sebagai penyair modernis dengan didasarkan pada perluasan pantun dan syair dan penerjemahan puisi-puisi yang telah ditulis oleh penyair sebelumnya hanya dapat disepakati jika modernisme sastra dimaknai dari seberang lautan.

Chairil Anwar tetaplah si binatang jalang. Mengacu puisi-puisi Chairil Anwar sebagai puisi-puisi romantik tidak lantas melulu mengarahkan kita ke jalan buntu desas-desus riwayat kehidupan pribadinya. Perasaan dan emosi individual yang menjadi jantung puisi-puisi romantik bukan cuma proyeksi personalitas yang kedap terhadap ruang hidup komunal. Perasaan dan emosi individual dipelajari oleh individu melalui kehidupan bersama dengan orang lain melalui pengenalan dan pemahaman atas kaidah-kaidah sosial yang mungkin dapat ditanggapi dengan menolak atau konform. Pada sisi lain, kaidah-kaidah sosial yang merupakan pengaturan beragam interaksi sosial – mencakup kehidupan politik, ekonomi, sampai seni/sastra dan juga perpotongan di antara bidang-bidang tersebut – merupakan hasil dari pengendapan atau kristalisasi sejarah.

Sebagaimana puisi-puisi Eliot yang merupakan suara dari zaman dan geografisnya sendiri, puisi-puisi Chairil adalah suara dari derak-dengus lokomotif revolusi nasional. Namun, keduanya sama-sama anak kandung kesusastraan modern yang eranya mungkin terus membentang sampai hari ini. Kesustraan modern yang dihidupi oleh konsep kreatif yang diwarisi dari abad pertengahan, salah satunya  melalui Thomas Aquinas, yang menggantikan konsep mimetik pada era klasik dan menghancurkap prinsip representasinya. Konsep kreatif yang kemudian menyungsang-sumbalkan tatanan hirarkis inventio, dispositio, dan elocutio yang menjadi pondasi prinsip representasi. Pengutamaan elocutio (eloquence) dalam modernitas adalah meletakan bahasa sebagai titik-tolak dan problem kreatifitas. Eloquence yang berdiri di atas ketepatan bahasa dalam menyatakan sesuatu berkait-kelindan dengan parole dan mengimplikasikan keragaman gaya sastrawi. Modernisme dan romantisisme yang merupakan anak kandung modernitas sama-sama dihantui oleh doxa modernis dalam mengaitkan apa yang dikatakan dan apa yang dapat dilihat, antara word (kata) dan world (dunia).

Petanda-petanda dianggap menakjubkan: “Kita bakal melihat petanda!”
Kata di dalam kata; tak bisa mengatakan sepatah kata,[25] []


[1] Dikutip dari puisi karya Chairil Anwar, Selamat Tinggal dengan menggabungkan dua kuplet pertama dan kedua menjadi satu kuatrin dan mengubah dua kata terakhir baris ketiga dari “penuh luka” menjadi “Eliot-Ezra”.

[2] Alusi pada baris 65 – 66 Gerontion karya T. S. Eliot. Teks aslinya:

With pungent sauces, multiply variety
In a wilderness of mirrors. What will the spider do

[3] Alusi pada puisi Ezra Pound, In a Stasiun of the Metro.

[4] Dalam Ezra Pound, Erzra Pound’s Poetry and Prose: Contributions to Periodicals, Vol. I: 1902 – 1914 (1991), yang menghimpun salinan puisi dan prosa karya Ezra Pound yang dimuat pada berbagai terbitan berkala, “I Gather The Limbs of Osiris” dapat dibaca pada hal. 43 – 58 dan 67 – 71.

[5] Baca Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on a Immediate Data of Consciousness. Suatu risalah kritis tentang objektivikasi intuisi di dalam ruang dan waktu yang dialami secara subyektif.

[6] Baca T. S Eliot, ‘Tradition and the Individual Talent”, terutama hal. 54, dalam The Sacred Wood (1957)

[7] Baca di https://tengara.id/esai/mungkin-chairil-anwar-tidak-terlalu-modernis/

[8] Baca Nirwan Dewanto, “Kata Pembuka” dalam Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang, Koleksi Sajak 1942 – 1949, (2011).

[9] Ibid. hal. IV.

[10] Dari Ezra Pound, Ezra Pound’s Poetry and Prose, Volume I: 1902 – 1914, hal.137, (1991).

[11] Dalam John Carey, 100 Poets, hal. 213, (2021).

[12] Dalam Chairil Anwar, Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang, hal. 71, (2011)

[13] Baca Amir Hamzah, “Pantun Melayu” dalam Sastra Melayu Lama dan Raja-Rajanya, hal. 24.

[14] Baca Kata Pembuka Nirwan Dewanto untuk Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942 – 1949, hal. xvii.

[15] Sebagai perbandingan, barangkali Nirwan Dewanto perlu juga meninjau pantun versi Perancis, Pantoum, yang kerap dihubungkan dengan Victor Hugo sebagai pelopornya. Pantoum lebih mengacu pada bentuk pantun berkait yang mereduksi kualitas puitik pantun hanya pada skema rima dan pola irama serta pengulangan baris kedua dan keempat bait pertama pada baris pertama dan baris ketiga bait kedua tanpa memahami hubungan antara sampiran dan isi dalam pantun. Baca Francois Rene Daillie, “From the ‘Pantoum’ a la francaise to the Malay Pantun” dalam Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun, hal. 17 – 35.

[16] Baca di https://tengara.id/esai/kredo-modernis-dan-solusi-noda/

[17] Ibid. Baca pada bagian pembahasan yang membandingkan antara puisi Chairil dan Slauerhoff.

[18] Dari Chairil Anwar, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, hal. 27,  (1989)

[19] Diterjemahkan dari terjemahan bahasa Inggris “Woninglooze” yang dikerjakan oleh Paul Vincent, Homeless”. Baca di https://www.poetryinternational.com/en/poets-poems/poems/poem/103-17886_HOMELESS#lang-en

[20] Aku kira istilah “spontan” yang berkaitan dengan mode pengekspresian perasaan atau emosi ini harus dijernihkan. Istilah “spontan” pada konteks ini kerap kali dimaknai sebagai “tanpa permenungan” atau “tanpa pemikiran”. Nirwan Dewanto dalam “Kata Pembuka” memang tidak secara terbuka menentang istilah “spontan”, tetapi menekankan “pemikiran” yang dipertentangkan dengan “meradang dan menerjang” yang mengimpresikan spontanitas emosi – tanpa pikir panjang. Sementara Malkan Junaidi dalam “Kredo Modernis” secara terbuka menentang mode spontan dalam mengekspresikan emosi atau perasaan pada puisi Chairil dengan mendasarkannya pada pernyataan Chairil tentang “pikiran yang yang berpengaruh besar dalam hasil seni . . .”. Tidak keliru mengidentikan Romantisisme dengan spontanitas pengungkapan emosi atau perasaan. Tetapi, penyair modernis juga berupaya keras dalam mengungkapkan perasaan atau emosi secara spontan. Jadi, dari pada mempertentangkan antara modernisme dan romantisisme berkait dengan spontanitas pengungkapan emosi atau perasaan, akan lebih tepat memilah antara mode spontan modernis dan mode spontan romantik. Romantisisme cenderung mengeksplorasi dan mengeksploitasi aspek musikal kebahasaan untuk mencapai spontanitas. Sementara modernisme lebih mengeksplorasi dan mengeksploitasi aspek visual kebahasaan untuk mencapai spontanitas. Untuk menerangi perkara spontanitas pengungkapan emosi dan perasaan ini lebih lanjut silahkan baca esai lumayan panjang Ezra Pound, “Vorticism” dalam Ezra Pound’s Prose and Poetry, Vol. I: 1902 – 1914, hal. 275 – 285, (1991),  yang terbit pertamakali di Fortinightly Review tahun 1914.

[21] Dikutip dari T. S. Eliot, The Waste Land: A Norton Critical Edition, hal. 7, (2001)

[22] Charles Baudelaire, Charles Baudelaire: His Prose dan Poetry, baca bagian “The Flower of Evil”, terjemahan F. P. Sturm, hal. 162 – 164 (1919). Berikut terjemahan bahasa Inggris dan terjemahan bahasa Indonesia bait pertama puisi tersebut. Terjemahan bahasa Indonesia dikerjakan dengan membandingkan beberapa terjemahan bahasa Inggrisnya, seperti terjemahan oleh Roy Campbell (1952) dan Edna St. Vincent Millay (1936):

O Swarming city, city full of dreams,
Where in full day the spectre walks and speaks;
Mighty colossus, in your narrow veins
My story flows as flows the rising sap.        

Kota kerumunan, kota penuh impian,
Hantu gentayangi pelintas di siang bengkak!
Misteri tumpah mengalir bak getah
Di saluran-saluran sempit patung raksasa.

[23] Dante Alighieri, The Divine Comedy, terjemahan Charles Eliot Norton, (1952). Untuk Inferno, Canto III, baris 52 – 69, baca hal. 4. Berikut terjemahan bahasa Inggris dan terjemahan bahasa Indonesia dari baris-baris tersebut:

And I, who was gazing, saw a banner, which, whirling, ran so swiftly that it seemed to me disdainful of any pause, and behind it came so long a train of folk, that I should never have believed death had undone so many. After I had recognized some among them, I saw and knew the shade of him who made, through cowardice, the great refusal. At once I understood and was certain, that this was the sect of the caitiffs displeasing to God and to his enemies. These wretches, who never were alive, were naked, and much stung by gad-flies and by wasps that were there; these streaked their faces with blood, which, mingled with tears, was gathered at their feet by loathsome worms.

Dan aku, yang terbelalak, melihat pataka yang berkibar-menggelombang sangat cepat tanpa jeda, di belakangnya kerumunan orang berbaris mengular, tak pernah ku bayangkan maut mengudar sangat banyak jiwa. Setelah aku kenali beberapa diantara mereka, aku tahu apa yang membuat mereka menjelma hantu, kepengecutan dan pengingkaran. Seketika aku sadari dan yakin, mereka adalah kelompok para jahanam yang bikin muak Tuhan dan musuh-musuh mereka. Orang-orang hina ini tak pernah hidup bertelanjang untuk disengat lalat pengganggu dan tawon-tawon; kehinaan mencoreng wajah-wajah mereka dengan darah bercampur air mata, di kaki-kaki mereka berkerumun cacing-cacing menjijikan.

Catatan :

Bandingkan baris 65 “The Waste Land” dengan baris terakhir (69) dari Canto III tersebut: antara Dan tiap orang menunduk terpaku pada kakinya” dan “di kaki-kaki mereka berkerumun cacing-cacing menjijikan”.

[24] Ibid. hal. 5. Berikut terjemahan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia baris 23 – 30 dari Inferno, Canto IV:

Thus he placed himself, and thus he made me enter into the first circle that girds the abyss. Here, as one listened, there was no lamentation but that of sighs which made the eternal air to tremble; this came of the woe without torments felt by the crowds, which were many and great, of infants and of women and of men.

Jadi ia mengambil tempatnya sendiri, karenanya juga mendorongku masuk dalam pusar pertama gigir melingkar jurang. Di sini tidak terdengar ratapan, kecuali desah nafas yang membuat udara baka bergetar; ini berasal dari kepedihan tanpa dera siksa yang dirasakan oleh kerumunan membludak, para bayi dan para perempuan dan para laki-laki.

[25] Terjemahan baris 17 -18 puisi Gerontion karya T. S. Eliot (1920).


Penulis:

Dwi Pranoto. Menulis puisi, esai, dan menerjemahkan. Buku puisi tunggal yang sudah terbit “Hantu, Api, Butiran Abu” (Gress Publishing 2011). Terjemahannya yang sudah terbit “Piramid”, novel karya Ismail Kadare (Marjin Kiri, 2011). Memenangkan, Pemenang Pertama, Sayembara Kritik Sastra 2020 yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *