Cerpen
Nahi Mungkar Jatuh Cinta

Nahi Mungkar Jatuh Cinta

NAHI Mungkar duduk di sofa dengan gelisah. Ia terlihat seperti terpidana mati yang menunggu giliran eksekusi. Kakinya mendepak-depak lantai, jantungnya berdebar-debar tak karuan, dan pakaiannya basah oleh keringat. Padahal, cuaca saat itu sedang dingin-dinginnya. Seperti halnya setiap orang yang akan melakukan sesuatu untuk pertama kali, Nahi dibekap ragu atas apa yang hendak dilakukannya. Ia berkali-kali berpikir untuk pulang, membatalkan niatnya melepas keperjakaannya dengan seorang gadis yang tidak lagi gadis. Namun, ketika ia menoleh ke belakang, ia seperti melihat wajah mengejek teman-temannya yang tadi mengantarnya ke tempat ini.

Sejak Dedi, Anton, dan Alif tahu bahwa Nahi masih perjaka, mereka kerap menjadikan Nahi sebagai bahan ejekan. Dari semua kawan sepergaulannya, hanya Nahi yang masih perjaka. “Alif saja yang alumnus pesantren sudah begituan. Ah, kau ini kuno sekali,” kata Dedi. Nahi jadi menyesal karena mau saja diajak minum oleh Dedi. Saat itu ia tidak tahu bahwa itu hanya akal-akalan Dedi untuk mencari kebenaran tentang Nahi. Dedi, Anton, dan Alif telah bersepakat untuk pura-pura minum. Ketika giliran mereka tiba, mereka membuang gelas berisi tuak itu ke tanah. Hanya ketika Nahi memperhatikannya, baru mereka benar-benar meminumnya.

Gadis itu keluar kamar. Gaun malam yang ia kenakan begitu tipis hingga memperlihatkan siluet tubuhnya yang membuat Nahi menelan ludah. Apalagi dengan warnanya yang merah terang selaras dengan bibirnya yang merah menantang—menatang berahi Nahi. Namun, entah mengapa, begitu wanita itu mengajaknya masuk, tubuh Nahi menggigil. Mendadak ia merasa kakinya linglung. Nahi tidak mampu beranjak dari tempatnya duduk. 

“Mari Kak,” ajak gadis itu. Suaranya lembut sekali. Suara itu membungkam keraguan di hati Nahi.

***

“Aku jatuh cinta,” kata Nahi.

“Maksudnya?” tanya Dedi.

“Kamu ini benar-benar bodoh atau bagaimana? Jatuh cinta pun tak kau mengerti.”

“Dia jatuh cinta sama Laudya,” kata Alif.

“Laudya itu siapa?” tanya Dedi heran.

“Wanita yang itu…” Anton memberikan ekspresi yang tidak Nahi mengerti.

“Pelacur itu?”

“Jaga mulutmu, Ded. Kamu tidak kenal orangnya.”

Nahi yakin bahwa perasaan yang ia miliki pada Laudya adalah cinta. Ia mulai merasa begitu sejak Laudya memperlakukannya dengan istimewa. Ketika Laudya memanggilnya masuk untuk ngamar, Nahi malu-malu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia diam saja ketika Laudya membuka bajunya. Ia diam ketika Laudya menciumi wajah dan tubuhnya. Ia juga diam ketika Laudya berlutut di hadapannya. Ia diam saja sampai kemudian ia mengerang.

“Terima kasih,” kata Nahi.

Laudya memasang wajah heran. Baru kali ada yang berterima kasih atas apa yang ia lakukan. Ia merasa dihargai lebih dari lembar demi lembar rupiah yang diberikan padanya. Sejak hari itu Laudya melayani Nahi melebihi pelayanan seks semata.

Sejak kunjungan pertamanya, Nahi rutin mengunjungi Laudya. Ia datang tidak hanya untuk melampiaskan berahi yang meluap-luap seperti gunung merapi yang hendak erupsi, kadang ia datang sekadar mencari teman bicara. Ia merasa nyaman dengan Laudya. Ia merasa seperti Adam yang menemukan kembali tulang rusuknya yang hilang, dan Laudya terus saja membuatnya merasa istimewa, dan Nahi tidak pernah lupa berterima kasih karenanya.

“Itu sih dia lakuin sama siapa saja, tolol. Kamu saja yang kepedean,” kata Dedi.

Nahi merasa seperti ada yang melemparkan bara ke lubang telinganya. Panasnya luar biasa. Dan panas itu tidak berhenti di sana, ia terus masuk ke relung dadanya. Nahi hampir saja menghantam Dedi karenanya. Beruntung ia mampu menahan diri.

“Kamu tidak mengerti,” kata Nahi.

Nahi yakin seyakin-yakinnya bahwa Laudya tidak melakukan itu kepada orang lain selain dirinya. Dedi tidak percaya. Ia mengatakan pelacur di mana-mana sama saja. Mereka akan melayanimu berdasarkan jumlah rupiah yang kamu berikan. Nahi benar-benar memukul Dedi ketika kata pelacur meluncur lagi dari mulut Dedi.

“Anjing. Kamu pukul saya cuma karena pelacur itu,” kata Dedi.

Dedi dan Nahi hampir saja baku hantam jika Alif dan Anton tidak segera melerai mereka. Sejak hari itu tali pertemanan mereka putus.

Nahi ingin bercerita tentang Laudya kepada teman-temannya. Ia ingin bercerita bagaimana Laudya sudah menjadi yatim piatu di usia yang teramat muda, bagaimana Laudya dibebani tanggung jawab membesarkan adik-adiknya, bagaimana pamannya menjualnya untuk jadi pekerja seks, Nahi ingin Dedi tahu hal itu agar Dedi tidak lagi melihat Laudya dari satu sisi saja. Namun, Nahi urung juga melakukannya. Ia sadar betul Dedi tidak akan peduli.

***

“Bagaimana kalau kita kabur saja?” ajak Nahi.

“Kabur?”

“Iya. Kita tinggalkan hidup yang brengsek ini.”

“Hidupku mungkin brengsek, hidupmu tidak.”

“Hidupku juga brengsek, kamu tidak tahu saja.”

“Kamu punya orang tua. Kamu punya masa depan.”

“Aku mencintaimu.”

Laudya tidak menjawab. Ia menatap Nahi lekat-lekat seperti seorang istri yang sedang menelisik kebohongan suaminya. Bagaimanapun ia mencari, ia tidak menemukannya. Jika ada satu saja yang tidak bisa Nahi lakukan di dunia ini, itu adalah berbohong. Laudya memeluknya, tidak berkata apa-apa dan menangis. Ia menangis seperti bayi yang pertama kali lahir ke dunia. Ia menangis seperti bayi yang pertama kali lahir ke dunia dan tidak langsung dipeluk ibunya. Ia menangis seperti bayi yang pertama kali lahir ke dunia dan tidak langsung dipeluk ibunya karena ibunya mati setelah melahirkannya. Laudya menangis sejadi-jadinya. Jika saja Laudya adalah bumi, mungkin para keturunan Nuh harus membangun kembali bahtera mereka.

Sejak hari itu Nahi menyusun rencananya. Ia akan membawa Laudya lari, pergi jauh dari kota yang selalu menginjak-injaknya ini.

“Tapi bagaimana dengan Adikku?” tanya Laudya.

“Kedua adikmu itu laki-laki dan mereka cukup besar untuk menjaga diri,” jelas Nahi.

Apa yang dikatakan Nahi benar. Tidak ada keuntungan yang bisa diambil pamannya dari kedua adiknya. Bukannya tidak ada, setidaknya tidak akan seperti yang didapatkan laki-laki itu dari Laudya. Lagi pula jika saat ini keduanya tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, setidaknya suatu saat mereka akan bisa. Mereka laki-laki, dan laki-laki akan menemukan jalan hidupnya sendiri. Laudya sebenarnya sudah lama sadar akan hal itu. Tapi moral melarangnya untuk meninggalkan kedua adiknya.

“Peduli tahi dengan moral, moral saja tidak peduli pada kita,” kata Nahi berapi-api.

Perkataan Nahi itu mengaktifkan insting purba yang selama ini tenggelam dalam kode moral. “Temui aku lusa di kafe Ngomong Doang,” kata Laudya.

Nahi senang sekali mendengarnya. Keluar dari kamar ia bersiul-siul ketika lagu-lagu India lembut menyapa telinganya. Ia merasa lagu itu memang ditujukan untuknya. Ia berjalan dengan langkah yang ringan, teramat ringan, seolah tubuhnya terbuat dari kapas. Belum pernah ia keluar dari kamar Laudya dengan langkah seringan itu. Ia selalu merasa berat setiap kali harus berpisah dengan Laudya. Ia semakin yakin bahwa perasaan itu cinta. Apalagi ketika beberapa kali ia mendengar desas-desus orang-orang di kompleks pelacuran itu membicarakan Laudya. Ia mendengar cerita bahwa Laudya kini dekat dengan seorang lelaki yang menjadi pelanggan tetapnya. Laki-laki itu adalah mahasiswa tingkat akhir. Seketika Nahi merasa semesta bekerja untuk melayani keinginannya.

***

Nahi menunggu dengan gelisah. Berulang kali matanya tertuju pada jam tangan. Ia bolak-balik memandang pintu masuk kafe Ngomong Doang setiap ada wanita yang datang. Berulang kali pula ia dibuat kecewa karena yang datang bukan Laudya. Telah empat gelas kopi tandas dibuatnya. Telah dua piring kentang dan sosis mengisi perutnya. Pelayan bolak-balik mendatanginya. Berulang kali pelayan itu bertanya, apakah ia ingin memesan lagi. Nahi sampai muak mendengarnya. Ingin rasanya ia tampar mulut pelayan itu.

Ketika pukul 12.13 pelayan itu mendatanginya lagi dan mengatakan kalau kafe akan tutup, Nahi sadar bahwa Laudya tidak akan datang. Nahi tidak mampu menutupi rasa kecewanya. Ia keluar dari kafe dengan perasaan yang sungguh ajaib kosongnya.

 ***

Setelah mengurung diri selama dua hari, Nahi duduk di teras rumah membaca sebuah berita di koran pagi seperti yang biasa ia lakukan. Koran itu selalu ditinggalkan di meja teras setiap ayahnya selesai membaca. Ketika membacanya, Nahi terkejut karena ada berita yang terasa menohoknya. Berita itu tentang seorang mahasiswa tingkat akhir yang ditemukan gantung diri di sebuah kamar bersama pacarnya yang merupakan seorang pekerja seks komersial. Mereka gantung diri lantaran tidak disetujui oleh kedua orang tua si mahasiswa untuk menikah karena orang tua si mahasiswa telah memilihkan jodoh perempuan baik-baik untuknya. Nahi langsung merasa ditampar oleh isi berita itu. Kemudian ketika ia melihat foto wanita yang bunuh diri, Nahi muntah. Baru kali ini hatinya patah. Ternyata mahasiswa yang dimaksud oleh orang-orang di kompleks pelacuran itu bukan dirinya. []

~Gang Metro, 2021


Penulis:

ALIURRIDHA, Penerjemah dan pengajar penerjemahan di suatu perguruan tinggi. Ia menulis esai, puisi, dan cerpen. Karyanya tersebar di berbagai media. Ia juga telah menjuarai beberapa lomba menulis. Cerpennya yang berjudul Metamorfosa Rosa masuk dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *