Resensi Buku
Lare Segara: Membaca Ketabahan Hidup Perempuan Laut

Lare Segara: Membaca Ketabahan Hidup Perempuan Laut

Judul                           : Perempuan Laut
Penulis                         : Usman Arrumy
Penerbit                       : Penerbit Diva Press
Cetakan                       : Pertama, Maret 2022
Jumlah Halaman         : 152 halaman
ISBN                     : 978-623-293-652-2

Perempuan laut menjadi novel seri pertama dari trilogi karya Usman Arrumy yang terdiri dari 152 halaman. Novel tersebut menceritakan sisi ketabahan hidup seorang perempuan yang sejak kecil tumbuh dan diasuh oleh gelombang laut, debur ombak, dan gemerisik angin pantai. Orang-orang menyebutnya sebagai perempuan laut, namun semenjak mengenal pria bernama Kidung Sorandaka yang mengaku sedang melakukan riset kepenulisan di Pulau Caraca, pulau yang ditempatinya, ia mulai memiliki nama ‘Lare Segara’

Secara keseluruhan, novel ini berisi tiga bagian yang membentuk struktur penting dalam konflik cerita. Dan bagian penting tersebut seolah diungkapkan penulis sejak di bab awal yang menyoroti sisi ketabahan dan kesabaran perempuan laut dalam menjalani kehidupan. Ia, perempuan itu, sudah mahir berduka ketika aku mengenalnya kali pertama. Rasanya, kebahagiaan telah mengucapkan selamat tinggal kepadanya sejak lama. (Hal 15)

Bagi Lare Segara, laut adalah ibu sekaligus keluarga yang paling memahaminya, ia tak pernah merasakan bagaimana rasa kasih sayang dan pelukan orang tua, hanya sepoi-sepoi angin pantai, debur ombak yang senantiasa setia menjadi penenang hati di saat merasa sendiri dan kesepian.

 “Aku tidak tahu siapa namaku. Warga kampung hanya memanggilku ‘anak laut’. Aku bahkan tak berhak membayangkan wajah orangtuaku. Aku tak tahu bagaimana merasakan sentuhan seorang ibu dan itu sebabnya aku tak tahu apakah aku mencintainya.” (Hal 16)

Tak hanya membidik tema ketabahan dan makna kesabaran dengan segala takdir yang telah digariskan oleh Tuhan, namun novel ini juga bisa dijadikan referensi ketulusan cinta dua orang yang baru saja mengenal dan mencoba memahami arti jatuh cinta pandangan pertama. Bagaimana perasaan debar jantung saat mencintai, sebuah rindu tumbuh ketika akan berpisah, hingga luka dari perpisahan tertulis secara puitis dan romantis.

Rangkaian kata-kata tentang cinta seolah sengaja penulis hadirkan dalam novel ini, karena dari setiap bab selalu ada bagian ruang berpuisi. Dalam bagian blurb, penulis mengatakan bahwa ia menyadari tidak setiap sesuatu dapat ditulis ke dalam puisi, dan ruang untuk mengungkapkan isi hati secara lebih luas salah satunya menuliskan ke dalam novel. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang penulis yang sebelumnya menerbitkan lima antologi puisi, jadi pembaca memahami bahwa latar belakang permainan diksi, rangkaian kata dipilih secara cermat dan matang, itulah yang menjadi dasar dari novel perempuan laut.

Barangkali, buku ini bisa disebut sebagai kolaborasi antara puisi dan novel. Hal ini dilihat dari pemilihan dan penentuan kata-kata cinta, rindu, luka yang padat dan bermakna, serta unsur pembentuk prosa seperti konflik, tokoh, setting, sudut pandang, dan lain-lain yang telah menjadi satu kesatuan menjadi sebuah novel berjudul Perempuan Laut.

Selain itu, penulis juga mengusung tema tentang kehidupan sosial yang menjadi identitas atau konflik utama dalam novel mengenai sisi ketabahan perempuan laut dalam menjalani kehidupan. Kehidupan Lare Segara sengaja dibangun penulis dengan penuh penderitaan di masa kecil, meskipun pada akhirnya kehidupan dunia yang memiliki konsep terus berputar juga dialami Lare Segara. Ia mulai hidup makmur saat beranjak remaja.

Ada tiga bagian penting yang menjadi garis besar ketabahan hidup perempuan laut  dalam membentuk unsur utama novel ini. Pertama, hidup Sebatang Kara. Lare Segara, tokoh utama dalam novel ini telah diliputi penderitaan sejak kecil, ia diperkenalkan sebagai sosok sebatang kara, dalam KBBI bermakna tak memiliki sanak saudara. Kehidupan di masa kecilnya bergantung pada pemberian orang-orang, ia juga terpaksa bekerja mengangkut ikan nelayan untuk menghidupi diri sendiri demi bisa bertahan hidup.

Penulis ingin menyampaikan bahwa ketabahan dan kesabaran Lare Segara telah dijalaninya sejak dini. Meski pada akhirnya, suatu hari saat beranjak remaja keberuntungan itu mendatanginya. Melalui ketua suku, ia bertemu dengan Bu Lintang, pemilik Pulau Madaskara yang ingin menjadikannya calon menantu.

Kedua, dianggap Pembawa Sial dan Diusir Warga. Kesabaran Lare Segara terus saja diuji, salah satunya dianggap pembawa sial karena menjadi penyebab beberapa nelayan tak kembali dari melaut, hingga seringkali diusir warga kampung. Namun, berkat ketabahannya ia tertolong oleh pesan gaib disampaikan kepala suku agar nelayan yang ingin selamat ketika berangkat melaut berpamitan kepada Lare Segara.

Lalu, kepala suku dari warga kampung sini mendapat pesan gaib yang isinya: bila wargamu ingin selamat, tiap berangkat mencari ikan, usaplah kepala anak perempuan itu dengan hati gembira. (Hal 18)

Ketiga, jatuh Cinta tapi Akhirnya Terluka. Saat beranjak menjadi gadis remaja, Lare Segara pernah merasakan arti jatuh cinta meskipun harus dikubur kembali karena menyadari bahwa kondisi masa lalunya tak mungkin diterima oleh sebagian orang. Namun, semenjak mengenal Kidung Sorandaka, tak disadarinya seiring waktu berjalan benih-benih cinta tumbuh begitu saja. Lare Segara jatuh cinta dengan Sora yang tulus menerima apapun keadaannya, termasuk tentang masa lalunya. Bahkan takdir cinta seolah semakin diperkuat dengan pertemuan kedua di Pulau Madaskara, beberapa jam sebelum Sora benar-benar harus kembali ke tempat asal. 

Meskipun Lare Segara pada akhirnya mengenal rasa bahagia dari jatuh cinta karena mengetahui balasan atas segala isi hatinya, penulis seolah masih membuat penderitaan Lare Segara tak bersisa. Pembaca diajak merasakan air mata kesedihan perempuan laut yang baru saja menerima kehadiran rasa bahagia dari ketulusan cinta Sora, namun, harus menghadapi kenyataan luka dari perpisahaan yang melibatkan Tuhan, yaitu kematian.

“Perahu yang terakhir kali berlayar tenggelam digilas ombak yang tengah pasang, sekitar 500 meter dari dermaga. Pihak dermaga memantau bahwa cuaca drastis menjadi lebih buruk dari yang semuanya diperkirakan. Perahu kelebihan muatan …” (Hal 85) 

Membaca hidup dan kesabaran perempuan laut memberikan amanat kepada pembaca bahwa setiap ujian yang datang pasti ada kebahagiaan di akhir jika senantiasa bersabar dalam menghadapinya, sebagaimana Lare Segara yang menjalani penderitaan semenjak kecil, hingga akhirnya derajatnya mulai terangkat saat mengenal Bu Lintang. Dari novel ini, pembaca juga seolah turut mengalami penderitaan, kesedihan dari kematian, hingga debar jantung bahagia saat jatuh cinta yang dikemas menyatu dalam perpaduan emosi yang lengkap.  []

Blitar, September 2022


Penulis:

Alfa Anisa. Lahir di Blitar 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api dan sunyi. Alumni mahasiswa ilmu komunikasi Universitas Islam Balitar (UNISBA) dan alumni santri di Pondok Pesantren Mabhajatul ‘Ubbad. Sehari-hari berkegiatan di Komunitas Sastra Hangudi. Beberapa karyanya dimuat di media massa dan antologi bersama. Bisa dihubungi di fb alfa anisa, ig @alfa anisa dan rumah karyanya di alfaanisaa.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *