Cerpen
<strong>Perempuan yang Ingin Jadi Kapas</strong>

Perempuan yang Ingin Jadi Kapas

EKOR matamu memicing. Menelusur perempuan di seberang-yang telah belasan menit menjarah seluruh perhatianmu sejak kedatangannya hingga ia duduk menunggu di lobi—dari ujung ke ujung. Mata, hidung bibir dan perawakannya begitu mirip dengan seorang perempuan di desa yang telah hampir kau lupakan.

Rambutnya beda. Mungkin saja dismoothing sehingga keriwilnya tak lagi kentara. Kulitnya benar-benar mulus. Bisa saja karena tak lagi bersentuhan dengan kasar tali timba.  Kini perawatan salon bisa melakukan segalanya. Termasuk membidadarikan siapa saja.

Ia duduk dengan cara yang berbeda. Sebelah kaki jenjangnya menumpang silang hingga paha ranumnya seolah-olah dijaja. Dadanya tegap membusung seakan-akan gunung tinggi yang menantang untuk ditaklukkan. Sesekali ia seperti sengaja memilin rambut yang jatuh tergerai di bahunya. Lentik jemarinya seakan memberi isyarat khusus.

Dadamu berdesir. Aliran darah menderas. Meski beberapa hal tampak berbeda, kau telah yakin sembilan puluh sembilan persen perkiraanmu tidak akan keliru. Lalu kau mau apa kalau memang ia perempuan yang sama yang pernah melabuhkan kecup di sebelah pipi dan memintamu pulang secepatnya?

Hai, tunggu dulu! Bagaimana ia sampai ke kota? Bukankah pantang baginya menginjak kota? Lantaran masa lalu sang Ibu membuatnya trauma mendalam.

“Kang, kapan kau akan pulang?” ia bertanya di suatu petang menjelang magrib di bawah pohon randu.

“Kau ini! Aku belum berangkat, kau sudah rewel,” tukasmu. Wajahnya seketika memerah selayak udang matang.

“Rencanaku, aku baru akan pulang kalau sudah kuperolehi kesuksesan, Til. Aku tak mau kembali sebagai pecundang,” ujarmu tegas bagai prajurit siap perang.

“Pasti akan lama….” lirihnya. Ia memilin ujung keriting karung bekas pupuk urea yang separuhnya telah terisi kapuk.

“Ada apa?” tanyamu saat kau tangkap keresahan menjalari lonjong wajahnya.

“Aku tak punya teman selagi kau pergi, Kang. Tega kau meninggalkanku seorang diri?” balasnya keruh. Terdengar emosi yang tak beraturan pada penggalan kalimatnya. Kau hela napas. Kau tatap wajahnya lekat.

“Ikutlah denganku ke kota. Kita cari kerja dan berjuang bersama,” bujukmu seraya menggenggam tangannya.

“Aku tak pintar. Berhitung pun bodoh. Mau kerja apa aku di Jakarta?”

“Aku juga cuma lulusan SMP. Tapi kata Mas Taufan, pekerjaan untuk orang seperti kita itu banyak serta mudah memperolehnya. Asal niat pasti dapat. Beda halnya dengan para sarjana yang menjunjung tinggi gengsi. Sementara prinsip kita ialah asal perut terisi,” terangmu panjang lebar. Mencatut pendapat dari anak kepala desamu.

“Bagaimana? Kau mau ikut?”

“Tidak. Aku takut, Kang,” ucapnya pilu. Sangat jelas tertangkap gendang telingamu dalam suaranya mengalir parau. Kau tahu ia trauma tetapi tak kau kira sampai sedalam itu.

Masalah ini tidak lain tidak bukan berkaitan dengan almarhum ibunya. Konon, dulu ibunya membabu di kota. Dua tahun tak pulang kampung, tiba-tiba menampakkan diri dengan perut buncit. Usai melahirkannya, ibunya meninggalkannya yang masih bayi pada neneknya. Lalu ibunya pergi lagi tanpa kabar hingga berita mewartakan bahwa ibunya meninggal di sebuah lokalisasi.

Hmm, sayang sekali. Aku pasti akan merindukanmu, Til,” katamu akhirnya.

“Kalau memang demikian, kau harus cepat pulang ya Kang,” harapnya. Wajahnya perlahan maju mendekat. Kau kira ia hendak menyeka kapas yang mungkin menempel di wajahmu tetapi ternyata sebuah ciuman mendarat di pipimu. Sejenak hangat. Kau tergugu sementara ia berlari membawa pipinya yang merona tomat.

Mendadak aliran darahmu menghangat selepas kau pungkasi lamunanmu. Kau tegakkan kepala. Kau teropong lagi keberadaan perempuan yang duduk dalam penantiannya itu bulat-bulat.

Kau merindukan perjumpaan ini sejak sekian lama. Kau rasa ia pun demikian halnya. Mungkin inilah jalan takdir yang diperuntukkan bagimu dan baginya.  

Mantap. Kau gesek sepatu pada keramik. Sebelah menyebelah langkah kakimu kian memangkas jarak. Tak kurang sepuluh langkah lagi, wajahmu dan wajahnya akan bertatap. Kau khayalkan ia akan sangat terkejut saat mendapatimu. Bisa jadi ia akan menubruk tubuhmu seperti subuh ketika kau pergi.

Otakmu tengah mengatur intonasi sapaan ketika tiba-tiba embus angin menghempaskanmu. Seorang pria separuh baya dengan dandanan perlente menghampirinya. Dengan manja, ia bergelayut pada lengan pria berpakaian rapi. Kau tercenung di tempat berdirimu.

 “Hai, kau! Sedang apa kau berdiri di situ?” suara supervisor menggugahmu dari gagu. Serta merta kau pandangi diri sendiri pula sekitarmu. Dan kau dapati keadaan busuk yang serta-merta menyadarkanmu.

Ember, lap, pel, sapu. Kau memang berada di gedung yang sama dengannya tetapi bukan berarti kalian masih sederajat seperti dahulu. Ia datang ke sini bersama pria kaya gandengannya. Menghambur-hamburkan jutaan uang yang menyesaki kantong. Sedangkan kau berada di sini demi memungut lembaran uang ribuan sebagai penukar nasi.

Ia datang sebagai tamu agung sementara kau pekerja berstrata paling rendah. Maka ketika angin itu membawanya pergi, kau yang hanya udara tak bisa berbuat apa-apa.

Ia menjauh. Tidak, ia terbang. Bagai kapas. Ringan. Ikut ke mana angin membawa. Sementara kau hanya diam tidak berkutik.

“Kau mau dipecat? Lihat itu masih kotor!” sentakan supervisor menabrak gedang telingamu untuk kali kedua.

***

Siang gersang. Debu-debu beterbangan di jalanan. Kaos oblong yang kau kenakan kuyup oleh keringat. Langkahmu terseok pulang bersamaan dengan nyaring azan zuhur.

Seperti biasa, kau tak langsung pulang ke rumah. Sebuah tawaran air segar dalam kendi selalu membuatmu mampir. Kau letakkan pacul yang tadinya kau panggul di teras rumahnya.

Senyum ayu menyapa kedatanganmu. Sebelah tangannya memegang kain garis-garis sementara satunya meliuk-liuk bersama jarum dan benangnya. Segenggam kapas ia jejalkan ke mulut sarung bantal yang menganga.

“Simbah mana?” tanyamu menanyakan neneknya.

“Sudah sejak kemarin, simbah ulur kacang di sawah Pak Gino,” jawabnya sekilas menatapmu. Ia kembali fokus pada pekerjaannya.

“Sawahmu kapan ulurnya, Kang? Nanti aku bantu,” tawarnya empuk.

 “Tak tahulah, Til. Aku pusing,” tukasmu berat. Kemudian kau menceritakan padanya tentang segala tantangan yang kau hadapi. Tanah kering kerontang, harga benih, pupuk, pembasmi hama dan sebagainya. Ia mengangguk-angguk paham.

“Lantas, kau sendiri apa tak bosan dengan kapuk-kapuk itu, Til?”

 “Aku ingin jadi seperti kapuk ini malah, Kang,” ujarnya sambil meraup kapas kembali. Kali ini dimasukkannya ke dalam mulut guling. Beberapa helai kapas melayang-layang.

Ah, kapuk terlalu ringan. Ia akan ikut ke mana angin membawanya. Mengapa kau memilih menjadi kapuk?”

“Memang. Tapi apa kau lupa Kang, bahwa kapuk punya kekuatan? Ketika kumpulan kapuk bersatu menjadi kasur, bantal dan guling, ia akan memaksa kita tinggal. Ia akan memberi kita kenikmatan yang menjerat. Hingga kita seolah tak mau bangkit dan meninggalkan nikmat yang diberi oleh kasur, bantal dan guling.”

Oh, pantas.”

“Pantas apa?”

“Aku selalu betah berada di sisimu. Kau ternyata kapuk yang menjelma serupa kasur, bantal dan guling,” tandasmu mengeluarkan jurus rayuan.

Pipinya langsung bersemu merah. Bibirnya melengkung senyum. Tahi lalat di belah bibir bawahnya seolah mengejek ketidakberdayaanmu. Kau cuma sanggup berkhayal bibir itu suatu saat nanti bisa kau cumbu.

***

Pagi masih muda kala ia keluar lagi dari sebuah kamar mewah di hotel berbintang lima tempatmu bekerja. Hampir tiap malam ia menginap dengan pria yang berbeda tetapi dari jenis dan spesies yang sama. Pria-pria berjas, berdasi pula berkantung tebal.

Hotel ini sudah serupa rumah baginya. Dalam seminggu ini, kau sudah melihatnya empat kali datang. Kecantikan dan kemudaannya memang pantas menjadikannya primadona.

Semalam ia datang bergandeng mesra dengan pria enam puluh tahunan. Ia bagai anak gadis yang bermanja-manjaan dengan bapaknya. Kasihan ia, seumur hidupnya belum pernah mengenal bapaknya. Ibunya pun sebatas ia kenal dari cemoohan orang.

Tak lagi naif. Kau tahu dan bisa membayangkan apa yang semalaman ia lakukan di dalam kamar. Tujuh tahun berada di kota telah menyiramkan banyak pelajaran klasik padamu. Sepengetahuanmu, hanya ada sedikit pilihan pekerjaan ringan bagi perempuan yang hanya bermodal tubuh semata.

Selayak pagi-pagi kemarin, ia berjalan agak sempoyongan. Wajahnya mencoba memajang senyum manis walau hasilnya hanya seringai kengiluan. Sudah pasti, pria yang membayarnya mahal tak mau rugi. Bahkan menjadi hal yang lumrah, petugas pembersih sepertimu kerap menemukan bekas kemasan obat kuat di bak sampah.

Kau tinggalkan pel dan peralatan kerjamu untuk bersembunyi ketika ia berjalan maju. Terlalu sakit bagimu bila harus berjumpa dengannya. Kau biarkan dirimu tetap menjadi udara. Berada di sekitarnya meski ia tak menyadari.

 “Aw!” suara itu memacu gerak refleksmu. Kau tangkap tubuhnya yang hampir terjerembap ke lantai basah. Mata kalian bertemu. Wajahnya serupa orang menghadapi sakaratul maut kala ia sadari keberadaanmu.

Pertemuan berlanjut di kasur sebuah kamar penginapan murah. Perempuan kapas itu telah mengubah udara sepertimu menjadi lebih agresif. Kau menerbangkannya. Oh, tidak! Kalian sama-sama terbang menuju puncak kenikmatan.

“Kau tahu bukan profesiku apa, Kang? Ah, ternyata buah memang tak jauh dari pohonnya,” katanya sedih.

“Aku tak mau tahu. Kau tetap Srintil yang aku kenal. Jangan ceritakan apa-apa karena aku tak perlu mendengar apa-apa.”

“Satu yang perlu kau tahu, Kang. Ini bermula dari keinginanku mencarimu usai tiga tahun tak ada kabar apa pun darimu. Aku serupa kapas yang tak tahu arah. Angin kota terlampau ganas untukku, Kang,” jelasnya seraya mempererat pelukannya.

“Tapi tak apa. Yang penting sekarang kita sudah bertemu,” lanjutnya sambil mendaratkan bertubi-tubi kecupan.

 “Maafkan aku, Til. Aku sudah beristri,” akumu pelan. Sesal.

“Sebagaimana kau tak peduli, aku pun tak peduli,” pungkasnya ringan.

Kapas itu kini benar-benar telah menjeratmu. Kau tidak tahu lagi, masih sanggupkah kau pulang pada anak istrimu?(*)


Penulis:

Endang s. Sulistiya menetap di Boyolali. Alumnus FISIP UNS jurusan Administrasi Negara. Tujuh tahunan vakum, ia berusaha kembali ke dunia tulis menulis pada awal tahun 2021. Tergabung dalam Grup Diskusi Sahabat Inspirasi membuatnya selalu termotivasi untuk terus berkarya. Pernah menggunakan nama pena Lara Ahmad lalu berganti menjadi Endang S. Sulistiya. Cerpen-cerpennya sudah cukup banyak yang mendapatkan kesempatan dimuat media lokal dan nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *