Esai
Transformasi Sastra Panji dalam Cerita Pendek

Transformasi Sastra Panji dalam Cerita Pendek

Indonesia memiliki khazanah sastra lokal yang mendunia, yaitu cerita Panji. Kisah percintaan putra-putri mahkota dari kerajaan Panjalu dan kerajaan Jenggala di Jawa Timur ini menjadi salah satu cerita terbesar yang lahir dari bumi nusantara.

Cerita Panji dalam catatan Thomas Stamford Raffles adalah sastra paling panjang dalam sastra jawa modern yang isinya merupakan bagian penting dan menarik dalam sejarah Jawa. Senada dengannya, ahli sastra jawa kenamaan, Poerbatjaraka, juga menulis bahwa tidak ada hasil kesusastraan yang bersemangat Jawa yang penyebarannya di seluruh Kepulauan Nusantara menyamai penyebaran cerita Panji.  Tidak mengherankan, berkat upaya berbagai pihak, naskah-naskah cerita Panji juga telah ditetapkan sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO.

Meskipun cerita Panji sangatlah populer pada zamannya dan tersebar hingga ke penjuru Asia Tenggara, cerita ini belum banyak diketahui apalagi dimengerti oleh generasi kiwari bangsa ini. Cerita-cerita Panji yang berbentuk dongeng seperti Andhe-Andhe Lumut, Keong Mas, Ketlek Ogleng, Enthit dan masih banyak lagi perlu digaungkan dan dipopulerkan kembali.  

Selain karena cerita Panji adalah produk kebudayaan lokal bangsa, cerita Panji juga dianggap mengandung berbagai nilai-nilai universal yang masih terus relevan diterapkan di masa kini. Seorang profesor sastra Indonesia, Putera Manuaba (2012) mencatat bahwa terdapat sepuluh nilai dari Cerita Panji yang berupa; kesejarahan, edukatif, keteladanan, kepahlawanan, budaya, estetika, kearifan lokal, ekologi, politik dan moral.

Salah satu bentuk pengenalan kembali cerita Panji adalah transformasinya ke dalam sastra Indonesia modern yang berbentuk novel atau cerita pendek seperti antologi cerpen Metanarasi Panji (BrangWetan, 2019). Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek yang mengelaborasi dan memaknai ulang Cerita Panji. Dalam kata lain, menjadikan cerita Panji sebagai bahan baku bagi para sastrawan dalam proses kreatif dan penciptaan estetik cerita-cerita pendek mereka.

Transformasi cerita Panji ke dalam bentuk sastra Indonesia modern seperti ini sangatlah menarik karena dua alasan, yaitu: pertama, untuk mengamati respon, apresiasi dan kritik para sastrawan masa kini terhadap karya sastra masa lalu serta nilai-nilai yang diusungnya. Kedua, untuk meneropong bentuk-bentuk baru dari sastra Indonesia kontemporer yang terinspirasi dari karya-karya sastra lama asli Indonesia. Karena transformasi cerita Panji ke dalam sastra modern tentunya akan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.

Salah satunya adalah cerpen “Sri Tulis dari Lemah Tulis” karya Diana AV Sasa. Ia menulis cerita dengan membaginya dalam pupuh per pupuh. Padahal, pupuh dikenal sebagai bentuk puisi tradisional Jawa dan Sunda yang memiliki jumlah suku kata dan rima tertentu. Sementara itu, Diana menempatkan pupuh dalam cerita pendek dengan tanpa mempertimbangkan kesamaan jumlah kata, jumlah paragraf ataupun rima. Dengan cerpen sepanjang 30 pupuh ini, Diana mengeksplorasi cerita panji melalui bentuk yang langka dalam cerita pendek Indonesia kontemporer.

Adapula Gunawan Maryanto, seorang aktor teater, yang menulis cerpen “Panji Laras”. Yang menarik adalah bahwa ia memilih penceritaan yang sangat berbeda dengan kebanyakan cerita Panji dikisahkan. Bukan seperti cerita Panji yang menyajikan perjalanan Panji dengan kengerian dan simbah darah peperangan, Gunawan malah menyajikan petualangan Panji dalam pertandingan sepakbola. Ia menulis cerpen seperti komentator sepakbola dengan Panji sebagai pemain utamanya. Kemenangan Panji dalam menjuarai liga adalah simbol kembalinya perdamaian di tanah Jenggala dan Kediri.

Legenda Andhe-Andhe Lumut juga menjadi sangat berbeda ketika digarap oleh Ratna Indraswari Ibrahim. Penulis perempuan ini meniupkan semangat kesetaraan gender yang sangat kuat. Candra Kirana digambarkan sebagai wanita yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apakah ketika ia sudah menikah dengan Panji akan memiliki kebebasan dan mendapatkan kesetaraan seperti yang ia cita-citakan. Candra Kirana juga terus berdiskusi dengan Panji tentang bagaimana kelak ia akan diperlakukan saat mengarungi bahtera rumah tangga. Dari awal, ia sudah mewanti-wanti calon suaminya bahwa ia tidak mau hanya menjadi perhiasan laki-laki belaka.

Melalui pena Ratna, Kirana menjadi perempuan yang kuat dan tangguh.  Karena itu, Kirana juga belajar ketatanegaraan karena suatu kelak ia akan menjadi teman diskusi dalam menentukan kebijakan-kebijakan kerajaan dimana Panji menjadi raja dan ia menjadi permaisurinya. Ratna Indraswari Ibrahim mengistilahkan perempuan dalam perkawinan sebagai teman yang setara dan bijak.

Cerita Panji juga menjadi menarik saat ditulis oleh tangan anak-anak; sebuah cerita petualangan yang mampu menerbitkan rasa ingin tahu untuk terus menerus menelusuri kalimat per kalimat. Cerpen ini sangat kental dengan nuansa petualangan dan warna imajinatif khas anak-anak seperti lebah madu sebesar raksasa dengan sengat yang mematikan, beruang jahat, hutan lebat yang mengerikan, tiga belas gunung yang penuh rintangan seperti duri, darah, halilintar. Adalah Stephanie Yulianto, seorang pelajar SD yang masih berusia 9 tahun saat menulis cerita pendek berjudul “Panji dan Lebah Madu”.

Dengan eksistensi penulis laki-laki dan perempuan bahkan hingga anak-anak, kumcer ini cukup lengkap untuk mengetahui pelbagai perspektif tentang pemaknaan cerita Panji dan kontekstualisasinya di masa sekarang. Namun, di lain sisi, buku ini hanya berupa cerita-cerita pendek yang memuat penggalan-penggalan kecil dari fragmen besar cerita Panji. Sehingga perlu pembacaan yang lebih luas untuk meneropong proses transformasi cerita Panji ke dalam sastra Indonesia modern. 

Namun, buku ini sangat tepat untuk menjadi rujukan bagaimana hubungan intertekstualitas antara sastra tradisional cerita Panji yang ditransformasikan ke dalam bentuk cerita pendek kontemporer. Karena buku ini merupakan sebuah proses penciptaan ulang (re-create) akan kisah-kisah panji yang dikontekstualisasikan dengan kondisi zaman sekarang sebagai upaya intelektual para sastrawan dalam menginterpretasikan dan mentransformasikan tradisi masa lalu untuk diartikulasikan nilai-nilainya di masa kini. []


Penulis:

M. Rosyid H.W. Alumnus Kajian Sastra dan Budaya, Universitas Airlangga. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa. Kumpulan cerpennya Rembulan di Bibir Teluk (Pelangi Sastra, 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *