Cerpen
<strong>Teror</strong>

Teror

Tiba-Tiba dia terbangun dengan kaki tangan terbelenggu. Mitos itu benar. Sebentar lagi tubuhnya jadi santapan setan-setan jahanam.

***

Letaknya di atas bukit di sebuah kampung terpencil tak jauh setelah menembus rimbunan hutan jati. Di bawahnya mengalir anak sungai yang airnya, konon, pada ujung hari dan bulan tertentu bakal memerah layaknya darah. Cerita samar berkisah, itu darahnya keluarga meneer pemilik rumah.

Bangunan tua art deco. Langit biru muda. Matahari cerah. Sekawanan burung beterbangan rendah di sawah. Barno terpukau dari kejauhan. “Seperti lukisan mooi indie.”

“Kalau malam, berganti kawanan kelelawar.” Marto menemaninya sebagai juru kamera. Dialah yang memberitahu adanya tempat ini. 

Petani atau siapa pun yang sekadar lewat pasti pernah mendengar suara-suara merambang. Seperti bukan rumah kosong. Kadang terdengar suara-suara perempuan yang tertawa meringis. Sekali tempo seperti para lelaki terbahak, riuh anak-anak remaja yang bermain. Namun terkadang pula terdengar rintihan pilu yang membikin siapa pun pendengarnya, tanpa ancang-ancang, gegas mengambil langkah seribu. Atau sejuta. Sebatang kepala berlumur darah menyembul dari dalam sungai, melotot, dan menyeringai dengan gigi taring pekat pernah kedapatan oleh seorang pemancing, alih-alih ikan yang mengait di kail. Seorang remaja yang nekat masuk, keluar-keluar jadi gila. Banyak cerita seram, malah mengundang penasaran.

“Kau percaya mitos-mitos itu?”

“Sejauh banyak tempat yang kita datangi, ini paling berprospek.”

“Semoga beruntung kali ini. Jangan lupa, rekam terus.”

Nekat mendatangi rumah kosong dan angker bagai kedunguan akut yang menjangkiti narasi-narasi horor. Apa boleh buat. Mereka butuh penampakan nyata lebih dari pancingan judul yang bombastis tapi palsu. Video-video yang mereka unggah di internet mulai sepi penonton.

***

Mereka menginjak anak tangga setelah melewati gapura yang dipenuhi jamur dan lumut dan setengah tiangnya hampir ambruk. Ilalang tumbuh di sana sini. Terdapat satu pintu dua lubang angin di muka beranda. Kayu-kayu penyangga atap masih terlihat kukuh. Sebagian dinding tinggal batu bata yang telanjang. Sebagian lain dirisak coretan-coretan vandal nan cabul yang jauh dari kesan estetika.

Barno mendahului melangkah melewati jendela yang hanya bertutup tripleks seadanya. Mereka sengaja datang sejak petang agar leluasa menjelajahi setiap sudut ruangan, meski di dalam, gelap bertemperasan. Semakin dalam menjelajah, suara-suara semakin bias antara siutan angin atau helaan gelisah. Setiap memasuki ruangan menyerupai kamar, pikiran Barno melayang, mungkin di sinilah keluarga itu dibantai secara sadis atau diam-diam ketika lelap masih melekap.

Keluar pintu samping, tak jauh dari ceruk sumur tua, ada bangunan lain yang silap dari pandangan muka. Luasnya setengah bangunan utama. Di dinding atapnya terdapat tulisan horizontal yang huruf-hurufnya sudah tidak lengkap:  AB … R

Abattoir. Rumah jagal hewan zaman kolonial. Penyuplai tenaga buat tentara-tentara KNIL. Meski baru diumumkan tahun 1916 lewat koran Bataviaasch Nieuwsblad, rumah-rumah jagal sudah banyak dibangun sejak tahun-tahun sebelumnya.” Marto menukas panjang, membetulkan letak kacamata.

“Yakin cuma hewan?” Barno menutupi rasa takjub. 

“Yang ganjil, kenapa di sini, di balik rumah ini, di kampung yang jauh dari kota pangkalan militer?” Marto ganti melangkahi Barno yang masih terbengong.

“Mungkin ilegal. Semacam permainan korup.”

Atap-atapnya melapuk. Di dalam, tonggak-tonggak bambu berdiri di samping tiang-tiang berkarat tempat mengikat hewan. Lantai-lantai batu dingin telentang. Ada area memanjang untuk pemotongan, kait besi, bak tempat air, dan … penjara! Di ruangan paling sudut itu sekat-sekat dinding beton berpintu terali besi saling berhadapan. Barno dan Marto menatap kalut, membayangkan penderitaan nasib orang-orang bumiputra.

Barno melirik sekeliling. “Mungkin baiknya berpencar. Tempat ini cukup luas untuk disisir berdua.” Langit mulai remang-remang, “Ada baiknya begitu.” Marto setuju.

Barno menyusuri sisi barat. Mengoyak jaring laba-laba. Titik-titik debu melayang tersorot cahaya. Masuk ke ruangan utama, dia melihat sebuah lorong kecil menuju lantai atas. Baru akan melangkah, bayangan sumir tiba-tiba melesat.

Barno hendak berteriak memanggil Marto ketika bayangan itu pelan-pelan mengintip, menjelma sosok berambut pirang panjang berwajah jelita, berpakaian gaun tidur tembus pandang menonjolkan lekuk-lekuk tubuh sintal sempurna. Barno menelan ludah. Berahinya tiba-tiba naik, mengalahkan rasa takut.

Bagai terhipnotis dia membungkam, lekas menghampiri sosok itu selangkah demi selangkah. Sosok itu mundur pula selangkah demi selangkah, sampai tiba di lantai atas, Barno mendapati sebuah ruangan bersantai: meja kayu, beberapa kursi, lemari buku, dan sebuah potret keluarga Belanda, menggantung di atasnya.

“Akhirnya datang juga kau, Barno.” Sosok itu tersenyum misterius. Dan sesuatu tiba-tiba menghantamnya dari belakang. Semua hitam.

***

“Sudah berapa jam? Kayaknya sebentar lagi siuman.”

Hanya suara-suara yang dapat dijangkau. Mata Barno susah payah mengerjap, seperti dihajar puluhan mili morfin. 

“Yang ini lebih menggiurkan ketimbang si kurus. Lihat otot-ototnya.”

“Cukup bawang putih. Tanpa perasa buatan.”

“Sedikit cuka dan kecap.”

“Pasti teksturnya kenyal.”

“Hmm. Aku membayangkan bola matanya pecah di mulut.” Seberkas cahaya menembus retina. Kesadaran Barno pelan-pelan kembali. Dua wajah menatapnya—dua wajah muda.

“Hai.” Wajah seorang gadis menyapa.

 “Gitu dong, cantik. Rasanya bakal sepat kalau hidangan kita depresi.” Perempuan sintal bergaun tidur tembus pandang tadi menimbrung. “Tuh, jadi pada nggak nafsu, kan.” Dagunya yang lancip menuding ke arah samping. Barno turut melirik sekuat tenaga. Di atas meja itu sudah berjajar piring-piring kotor, gelas anggur setengah isi, dan … kepala Marto yang terpejam. Hanya gelondong kepalanya!

“Setan alas!” Rahang Barno mengeras, tetapi tubuhnya sukar digerakkan.

“Kami bukan setan, Barno. Tidak ada setan yang hobi mengunyah orang.”

“Kalian apakan Marto!”

“Protein mahal. Tak ramah lingkungan. Lagian populasi orang makin meluber.”

“Tolooong!!” Barno berteriak kencang.

“Sempal mulutnya pakai plester,” ujar lelaki paruh baya di depan televisi, “merepotkan saja.”

“Bawa dia.” Perempuan sintal itu menyuruh pemuda berjerawat membawa Barno ke ruangan lain. Lelaki paruh baya beringsut dari sofa, mematikan televisi secara dingin, berjalan ke arah dapur. Memasang celemek, dia mengasah dua jenis pisau sambil bersenandung:

Fly me to the moon

Let me play among the stars ….

***

Tidak sia-sia Barno menjadi anggota ormas bergaya semi militer. Fisiknya terlatih untuk setiap tantangan. Berkat internet pula, bagai trik ala Houdini, belenggu di tangan kakinya luruh seperti daki. Lecet-lecet memang. Ketimbang jadi santapan! Barno kira orang-orang sinting pemakan manusia hanya ada dalam film. Ini ibarat mimpi, pikir Barno menampar-nampar pipinya sendiri. “Aku tak pernah kalah dalam kehidupan, jika pun harus mati, bukan mati layaknya cincangan dendeng sapi!” Dengus Barno dengan napas naik turun.

Dia lantas sembunyi di balik pintu. Derap suara langkah kian dekat. Pemuda berjerawat yang sedari tadi bolak-balik memastikan kondisi, lengah kali ini. Barno mendekap mulutnya setangkas reptil menangkap kumbang. Hap! Pemuda berjerawat itu malah menggigit Barno seenak udel. Jika dia lepas, pemuda itu pasti teriak dan keluarga setan bakal datang dengan senapan. Terpaksa Barno melumpuhkannya; memuntir kepala mungil itu 360 derajat. Tubuhnya ambruk. Selunglai anai-anai. 

Mengendap-endap telusuri setiap ruangan, Barno melirik area dapur. Lelaki paruh baya sedang memotong-motong sayuran, seperti menyiapkan salad. Barno mengambil sekop yang tergeletak di dekat pintu. Tanpa ba-bi-bu, dilayangkanlah ujung sekop ke pundak lelaki paruh baya hingga tersungkur, mengerang. Barno meraih pisau daging dan langsung menghunjamkannya ke dada lelaki itu secara bertubi-tubi.

“Ini untuk Marto,” bisik Barno sebelum mengerat lehernya hingga sesuatu memuncrat bagai pancaran selang air di taman bunga.

Barno berlutut, terhenyak. Barno kelelahan. Dia lepas bajunya yang basah oleh semprotan darah. Cuci muka sebentar. Bertelanjang dada, Barno melangkah menuju ruangan pertama dia siuman. Dilihatnya kepala Marto yang tergolek di atas meja. “Maafkan aku Marto ….” Air matanya langsung tumpah, meringis, menangisi kenangan masa lalu.

Surprise!”

Lampu ruangan tiba-tiba menyala. Barno mengerjap.

Marto mencungul dari balik pintu.

Barno melongo. Hantu.

“Kau bangkit lagi?”

“Ini aku, kawan. Marto. Hari ini ulang tahunmu!”

“Hah?”

“Ah, kau sungguh pelupa. Bahkan ulang tahunmu sendiri.”

“Tapi kepalamu sudah jadi sup.” Barno menggeragap.

“Tidak kawan. Itu guyonan. Lihatlah, ini hanya patung lilin.” Marto menenteng kepalanya sendiri di atas meja. Dilempar-lemparkannya ke atas gelondongan itu seperti bola kasti. 

Barno terhenyak, meremas-remas kepalanya yang korsleting.

“Rumah ini ….”

“Jangan percaya artikel di internet. Lagian yang kau baca itu semua tulisanku, hehe. Aku kan menulis cerita pendek.”

“Orang-orang bule itu ….”

“Oh, mereka kenalanku. Program pertukaran mahasiswa fakultas budaya. Aku mengajak mereka dalam proyek ini,”

“Proyek?”

“Film pendek. Biar terkesan nyata, kita pasang kamera di sini. Lihatlah sekelilingmu. Peran mereka jadi kanibal. Semacam adagium homo homini lupus di era modern.”

Barno terduduk lemas di kursi, meremas-remas jidatnya yang meledak sebentar lagi.

“Kau dari mana saja?”

“Sedari tadi mengedit syuting kalian sambil dengerin lagu-lagu senja.”

“Berengsek! Kau menipuku ….”

Prank! Haha. Aku yakin penonton kita bakal jutaan.”

“Kau masih dendam, soal pacarmu yang pernah kutiduri?”

“Ah, bukan masalah besar.” Tangan Marto menampik. “Yang lalu sudah kulupakan.” Dia lantas menyalakan rokok, “Ngomong-ngomong, pada kemana mereka? Seharusnya Roni sudah menghidangkan nasi goreng salad acar untukmu.”

“Nasi goreng?!” Barno menatap geram kepala rusa di dinding yang tanduknya meruncing, cukup runcing untuk menghunjam punggung manusia ketika tiba-tiba teringat dua sosok lain.

“Jadi, perempuan bule seksi itu pacar barumu?”

“Perempuan?”

“Tidak ada perempuan di sini. Hanya Roni dan adik lelakinya.”

Barno kembali terhenyak. Matanya melotot, mau copot.

“Mungkin aku terlalu banyak memberimu morfin.”

Tribute untuk Abdullah Harahap dan Sony Karsono.

 


Penulis:

D. Hardi banyak mengarang cerpen, menetap di Bandung. Karya telah tersiar di berbagai media cetak dan digital seperti Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Solopos, Padang Ekspres, Detik.com, Bacapetra.co, Magrib.id, Satupena.id, dan lainnya. 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *