Esai
Absurditas Mistik dan Tragedi Kekuasaan

Absurditas Mistik dan Tragedi Kekuasaan

KERIS, mistik, dan tragedi kekuasaan menjadi obsesi penciptaan novel Panji Sukma. Dalam novel Kuda (Gramedia Pustaka Utama, 2022), ia mengisahkan kehidupan Empu Manyu, seorang pembuat keris, yang memperoleh popularitas, pengaruh, dan harta melimpah pada zaman Orba. Para pejabat rezim Orba sering memesan keris pada Empu Manyu sebagai hadiah kepada pejabat lain. Keris  diberikan sebagai simbol kesepakatan proyek dan hadiah pertemanan. Rezim Orba melanggengkan kekuasaan dengan cara merangkul tokoh-tokoh pakar dalam berbagai bidang, dan empu salah satunya. Empu Manyu mengalami kebangkrutan setelah rezim Orba tak lagi berkuasa. Ia kehilangan jati dirinya di tengah pusaran kekuasaan baru.  

Kutukan, dendam, pertarungan kekuasaan dan tragedi kematian  yang tak terduga, mewarnai struktur narasi novel Panji Sukma. Absurditas mistik memberi warna konflik antartokoh novel ini. Melalui tokoh Kuda, anak yang dibesarkan Empu Manyu, pengarang menyingkap pertarungan kekuasaan yang digerakkan pertikaian dan pembunuhan.

Sebagaimana Leila S. Chudori yang menulis novel Laut Bercerita (Kepustakaan Populer Gramedia), Panji Sukma memilih latar sosial politik keruntuhan Orba dan kejatuhan rezim militer. Yang mengesankan, bagi saya, Panji Sukma menarasikan kejatuhan rezim Orba dari sudut pandang Empu Manyu dan Kuda Anjampiani, anak yang dibesarkan empu pembuat keris itu. Panji Sukma menyibak ruang mistik, mitos, dan dunia kebatinan untuk menarasikan pertikaian-pertikaian politik  rezim Orba dan masa keruntuhannya.

***

ABSURDITAS mistik menjadi warna perkembangan struktur narasi novel ini. Keris yang ditempa Empu Manyu dipesan banyak tokoh dalam novel ini untuk (1) mengambil hati atasan, (2) menjalin relasi kekuasaan, dan (3) menuntaskan ambisi meningkatkan karier jabatan. Akan tetapi, sebilah keris pusaka bisa juga digunakan untuk (1) membunuh lawan, (2) membalas dendam kematian, dan (3) menjadi kutukan pembunuhan secara turun-temurun. Struktur narasi novel ini dikembangkan dengan kedua jalur absurditas mistik keris, yakni sebagai negosiasi kekuasaan dan senjata untuk membunuh lawan, membalas dendam kematian.

Tokoh Empu Manyu menjalani hidup dengan segala absurditas mistik dalam seluruh pergolakan batinnya. Ia menempa karier dengan berguru pada seorang empu pembuat keris dan menjalani lelaku dengan puasa mutih 40 hari untuk mendapatkan pencerahan Sang Pencipta. Ia bertemu dengan Abdul Aziz, teman masa kecil, pejabat militer, yang memesan keris padanya. Nama besar Empu Manyu tersiar di antara jenderal-jenderal militer. Tokoh-tokoh politik memesan keris padanya. Konflik batin Empu Manyu meruncing ketika ia diminta menikahi Marini, wanita yang telah dihamili Abdul Azis.  Pada usia kandungan tujuh bulan, Marini melahirkan anak,. Marini meninggal dunia, tetapi bayi yang dilahirkannya selamat dan dibesarkan Empu Manyu. Anak itu diberi nama Kuda Anjampiani.

Panji Sukma sangat sadar akan pertaruhannya terhadap absurditas mistik yang menjadi obsesinya dalam mengembangkan karakter tokoh, menyusun konflik antartokoh, dan mengembangkan latar: ruang, waktu, dan suasana. Absurditas mistik juga mewarnai tragedi kematian tokoh-tokoh novel ini. Begitu banyak tokoh novel ini mati dengan absurditas mistik. Kematian  Marini dan Kuda Anjampiani pun dibayangi absuritas mistik karena keris pusaka dan kutukan dendam.

Tragedi kekuasaan Orba yang mengalami keruntuhan digambarkan melalui tokoh Empu Manyu yang kehilangan relasi pemesan keris dari kalangan perwira militer. Ia juga kehilangan kekayaan yang selama ini mengalir dari kalangan perwira militer. Ia kehilangan semangat hidupnya, karena tak lagi menempa besi untuk dijadikan keris.  Ia kehilangan status sosialnya sebagai seorang empu. Tokoh Empu Manyu mewakili gambaran manusia  yang gagal melakukan transformasi terhadap pergeseran kekuasaan. Ia gagap menghadapi atmosfer politik dan demokrasi, ketika simbol-simbol mistik dalam meraih kekuasaan mulai ditinggalkan.    

Tokoh Kuda Anjampiani merupakan korban atmosfer absuritas mistik,  tragedi dendam dan kutukan leluhur. Leluhurnya  seorang pembunuh  yang dikutuk akan memiliki keturunan yang terbunuh. Ia kehilangan ibu semenjak lahir. Ia diasuh Empu Manyu yang bukan ayah kandungnya, meskipun memiliki kasih sayang yang penuh. Ia hidup menderita karena rezim Orba jatuh dan Empu Manyu mengalami kebangkrutan. Ia mati ditembak ajudan Abdul Aziz, ayah kandungnya sendiri.   

***

DALAM novel terdahulu, Sang Keris (Gramedia Pustaka Utama, 2020) Panji Sukma juga berobsesi pada absurditas mistik keris. Novel Kuda  meneguhkan  obsesi Panji Sukma pada akar tradisi kehidupannya. Dengan mengangkat kehidupan seorang empu pembuat keris, novel ini melihat pergeseran kekuasaan yang membawa pengaruh besar terhadap cara pandang manusia, keyakinan, dan atmosfer budaya yang melingkupinya.

Kehadiran novel ini menyempurnakan pencarian identitas para sastrawan akan akar tradisi masyarakatnya, sebagaimana dilakukan Faisal Oddang (Puya ke Puya), Muna Masyari (Damar Kambang), Erni Aladjai (Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga), dan Felix K. Nesi (Orang-Orang Oetimu). Panji Sukma menemukan identitas penciptaannya sendiri, dalam melihat pergeseran kekuasaan. Ia tidak memandang rezim Orba dari sisi dominasi kekuasaan, dengan kekerasan militer yang menindas rakyatnya. Ia melakukan eksplorasi absurditas mistik: pencarian posisi kekuasaan dengan pengaruh pamor keris.   

Eksplorasi yang dilakukan Panji Sukma dengan kembali pada akar tradisi dan absurditas mistik, memberikan kompleksitas tafsir makna novel. Ia menciptakan teka-teki. Ia menghadirkan sisi lain permainan kekuasaan Orba, yang tak tersentuh sastrawan lain. Absurditas yang dikemasnya dalam novel bukanlah sebuah “hibrida” dari budaya Barat. Dengan berobsesi pada akar budaya yang menandai identitas kepengarangannya ini, ia memperoleh jati diri. Eksplorasi-eksplorasi yang dilakukannya dalam proses kreatif di masa mendatang, tentu akan memberikan warna teks-teks sastra yang khas. []


Penulis:

Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.  

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit  Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021.  Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022).       

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *