Cerpen
<strong>Periuk Tanah</strong>

Periuk Tanah

SETELAH kubujuk hampir seminggu, barulah nenek mengangguk. Walau anggukan itu lirih dengan lirik mata yang kurang yakin, tapi cukup membuatku lega dan bahagia. Nenek ternyata masih mau menuruti permintaanku untuk membuat periuk tanah. Periuk tanah yang jauh hari kuceritakan melalui Zoom Meeting kepada teman-temanku di luar kota yang sebentar lagi akan berkunjung ke rumah. Mereka sangat penasaran pada periuk tanah, tepatnya mereka ingin membuktikan kebenaran ceritaku—apakah masakan yang dihasilkan periuk tanah benar-benar lebih enak daripada periuk aluminium.

“Jika memang begitu, aku akan menggunakan periuk tanah di semua usaha restoranku agar masakannya lebih nikmat.”

“Aku akan mengekspornya sebagai alternatif baru memasak sehat dan enak, sekaligus untuk membangkitkan kembali kekuatan produksi orang-orang kampung.”

Begitulah di antara percakapan teman-temanku tempo hari. Selain untuk kepentingan silaturrahmi, inti dari kunjungan mereka ke rumah adalah untuk mendapatkan periuk tanah.

***

Pagi ini nenek mengambil kembali linggis kayu buatan almarhum kakek yang diselipkan pada cagak dapur yang berhimpit agak longgar dengan batu penggiling jagung. Sebagaimana batu penggiling jagung, linggis kayu itu sudah usang berbalut jaring laba-laba karena lama tak digunakan. Sejak periuk aluminium masuk desa, permintaan periuk tanah terus menurun, hingga akhirnya semua pengrajin—termasuk nenek—terpaksa gulung tikar.

Aku terus membuntuti nenek yang sedang memegang linggis kayu itu dari belakang. Sejak langkah pertama dari pintu rumah, nenek melarangku bercakap dengan siapa pun hingga nanti setelah pulang dan sampai lagi di rumah, itu termasuk ritual tetua bila akan membuat periuk tanah untuk menghasilkan masakan lezat.

Sepanjang perjalanan, aku berusaha mengatuprapatkan kedua bibir meski kadang tanpa sadar ingin menanyakan suatu hal kepada nenek. Kami berdua melintasi jalan setapak yang jarang dilalui orang. Jalannya sempit dan berbatu, meliuk-liuk di lereng bukit dengan medan yang kadang menanjak dan kadang menurun, dipenuhi semak dan rumput panjang di kanan kirinya. Sesekali kibasan ujungnya membuat betisku gatal.

Berkali-kali nenek berhenti dan mengamati tanah di sekitarnya, tapi kemudian ia melanjutkan langkahnya lagi. Sepertinya nenek belum menemukan tanah yang pas dengan yang ia kehendaki. Masih dengan mulut bisu, aku terus membuntuti nenek ke berbagai medan jalan yang tetap meliuk-liuk dan disampiri rumput. Matahari kian meninggi, suara napas nenek yang terengah-engah semakin nyaring melantun ke lubang telinga. Langkahnya kulihat semakin tertatih dan bahkan kadang membuatnya sedikit terhuyung hingga nyaris roboh, tapi ia kemudian berusaha bangkit lagi dan melanjutkan langkah.

Saat matahari mendekati waktu zuhur, barulah nenek benar-benar menghentikan langkahnya di samping pohon nyamplung. Setelah bibirnya bergetar dengan kedua mata yang pejam, lantas ia menggali tanah di depannya dengan linggis kayu itu. Nenek selalu menepis tanganku saat aku berusaha untuk membantunya. Nenek menggali sendiri hingga tumpukan tanah dirasa cukup. Wajah nenek dibalur keringat. Dadanya naik turun oleh napas yang sengal. Ia duduk letih di hamparan rumput. Lalu dengan bahasa isyarat melalui gerak tangan, ia menyuruhku membungkus tanah itu dengan daun pisang dan membawanya pulang.

Hampir setengah hari aku jadi orang bisu, sepanjang jalan pulang, tak sabar aku ingin bertanya kenapa harus mengambil tanah ke area yang jauh sementara tanahnya sama juga dengan tanah yang ada di sekitar rumah.

***

Setiba di rumah, ternyata nenek tidak langsung mengolah tanah itu menjadi periuk. Ia masih menyuruhku memeramnya dalam daun pisang selama satu minggu dan menyiramnya dengan air setiap pagi dan sore. Itu membuatku kadang khawatir periuk itu masih belum jadi saat teman-teman sudah datang.

Malam harinya, di ruang makan, sambil mengunyah kapur sirih, nenek baru menceritakan perihal tanah bahan dasar periuk itu dengan raut yang sedih. Air matanya membutir jatuh berkilau oleh timpaan cahaya lampu.

“Tanah kita diam-diam mulai protes dan menunjukkan ketidaksukaannya pada manusia,” bibir nenek gemetar. Aku memfokuskan kedua mata ke arah wajahnya yang diliputi ekspresi sedih. “Maksud nenek bagaimana?” tanyaku bingung.

“Tadi pagi aku kesulitan untuk menemukan tekstur tanah yang tepat untuk bahan periuk, sebab hampir semua tanah yang kupijak memantulkan getar yang tidak enak, seperti marah kepadaku. Itulah sebabnya aku harus menempuh jarak hampir 3 kilometer ke lereng bukit demi menemukan tanah yang masih ramah.”

Sebentar hening. Hanya suara geletar angin dan sesekali ada bunyi jatuhan daun kering di halaman.

“Kenapa tanah seperti marah, Nek?”

“Tentu saja karena ada tindakan salah dari manusia.”

“Apa menggali tanah sekadar untuk bahan periuk itu salah, Nek?”

Nenek menggeleng.

“Lantas karena apa, Nek?”

Nenek mengambil napas dalam-dalam, lalu melepaskannya perlahan. Kedua matanya tak kedip menatap bulan. Ia seolah mulai mengambil ancang-ancang untuk memberikan penjelasan. Aku semakin penasaran.

“Mengapa kalian belum tidur?” Tiba-tiba paman datang. Berdiri di samping kami sambil menjinjing tas. Rambutnya kusut. Wajahnya berminyak, menunjukkan keadaan dirinya yang letih.

“Besok siapkan makanan yang lebih dari biasanya. Ada temanku dari kota mau ke sini untuk kembali mencari tanah.” Paman bergegas untuk masuk.

“Apa? Dia mau membeli tanah lagi? bukankah sudah banyak tanah warga yang telah ia beli?” suara nenek tiba-tiba nyaring, membuat paman meghentikan langkah tepat di depan pintu. Ia balik melempar pandangannya ke arah kami berdua.

“Kenapa? Apa ada larangan? Setiap kali aku berhasil membujuk warga untuk menjual tanah kepadanya, aku dapat imbalan. Imbalannya buat biaya hidup kita. Mestinya tak perlu ada banyak pertanyaan atau bantahan untuk hal ini.”

Paman menutup daun pintu agak keras. bunyinya memantul ke dalam bola mata nenek hingga berlinang air mata. Aku masih belum sepenuhnya paham untuk memaknai linangan air mata itu. Malam itu nenek urung untuk memberi penjelasan perihal kemarahan tanah.

***

Setelah paman dan tamunya pergi, nenek baru beranjak masuk ke tempat pembuatan periuk. Aku mengikutinya, lagi-lagi tidak boleh berbicara sepatah kata pun kecuali dengan bahasa isyarat, itu pun jika sangat penting.

Nenek duduk mengangkang di sepotong kayu. Tangannya meremas-remas tanah itu, sesekali menghaluskannya dengan palu batu setelah ia lembapkan dengan percikan air. Dan entahlah, baru kali ini aku melihat air yang dipercikkan itu dicampur dengan air yang menetes dari kedua mata nenek. Aku ingin bertanya. Tapi ingat; tidak boleh bicara selama pengambilan tanah dan pembuatan periuk.

Aku hanya bisa diam, memandangi gerak kedua tangan nenek yang keriput itu lincah mengolah tanah, mengatur jari-jemarinya hingga menghasilkan cerukan dan tekanan yang membuat tanah seolah takluk dan turut membentuk dirinya lekas menyerupai lambung periuk. Di sela itu, nenek menghaluskannya dengan sesobek kain.

Selain melihat itu, kedua mataku juga alih menatap wajah nenek yang tetap tak berkeringat meski terpapar sinar matahari dari celah atap yang retak. Aku bisa membaca wajah nenek hari ini; ia sedang sedih, entah karena memikirkan paman atau apa. Dia membuat periuk hanya karena keterpaksaan demi memenuhi keinginanku. Gerak organ fisiknya sebenarnya berseberangan dengan keadaan jiwanya yang seperti diam dalam banyak luka.

Menjelang zuhur, nenek berhasil menyelesaikan dua buah periuk—sesudah jari nenek meratakan bibir periuk itu—dengan bahasa isyarat, ia menunjuk daun pisang kering yang menjuntai ke bawah, menjubahi pohonnya. Itu artinya aku disuruh mengambilnya untuk bahan pembakaran periuk.

Aku pun mengumpulkannya di pojok ruangan, pada bidang yang dipagari barisan genting kuno yang sejak dulu biasa nenek gunakan untuk membakar periuk. Nenek kemudian menimbuni tumpukan pisang kering itu dengan jerami. Dengan bibir menggetarkan sebentuk lafal, tangan nenek menyalakan korek api dan menyulutnya dari pojok tenggara, pada bagian daun pisang yang mencuat ke luar.

Api menyala dalam tumpukan jerami, memburaikan asap tebal yang nyaris memenuhi ruangan walau sebagian besar sudah dihalau angin ke ladang sebelah, lalu nenek memasukkan periuk itu ke dalam api hingga hanya tampak bulatan merah yang sesekali memercikkan bara.

Nenek mundur seraya menarik lenganku untuk keluar. Periuk itu ia biarkan matang dalam api selama berjam-jam. Nenek terus menimbuninya dengan jerami setiap setengah jam. Begitu seterusnya.

***

Sudah dua hari dua malam periuk itu dalam api, sudah banyak daun pisang kering dan kayu lainnya yang habis menjadi abu di tempat pembakaran itu, tapi—kata nenek—periuk itu tetap tak bisa mengeras, tetap lembek dan basah, padahal lazimnya hanya butuh sehari semalam saja untuk menghasilkan periuk yang kepadatannya berkualitas.

 Di hari ketiga, dengan langkah lirih yang dihantui perasaan putus asa, nenek melangkah ke tempat pembakaran. Tak ada lagi api menyala, selain lenggok kepulan asap tipis dari tumpukan abu yang sudah tebal. Setelah beberapa saat nenek mengais-ngais abu itu dengan sepotong ranting, akhirnya periuk itu perlahan terlihat; masih lembek dan bentuknya tak lagi bulat.

“Tanah kampung ini sudah tak mau bersahabat dengan kita. Buktinya, ia tidak mau lagi jadi periuk,” jelas nenek dengan raut sedih.

“Kenapa hal itu bisa terjadi, Nek?” tanyaku penasaran.

“Tanah di desa ini sudah banyak yang dijual ke pihak asing.”

Aku terkejut dengan jawaban nenek. Keadaan mendadak hening.

“Cepat taruh tanah yang menolak jadi periuk ini di ruang tamu pamanmu, biar dia paham pada perubahan yang sudah terjadi,” suruh nenek padaku.

Aku tidak berani untuk melakukan apa yang diperintahkan nenek itu karena paman pasti marah, tapi aku juga tidak tega menolak perintah itu. Aku bingung.

“Ayo cepat lakukan!” ulang nenek dengan suara keras.

Tapi tiba-tiba paman datang bersama teman-temannya seraya terbahak-bahak, menandakan keberhasilannya membeli tanah warga untuk yang kesekian kalinya. Lalu tiba-tiba HPku bergetar. Salah seorang teman memanggil. Lekas kuterima meski dengan tangan yang gemetar.

“Aku sudah masuk kabupatenmu, apa periuknya sudah siap?” tanyanya di ujung telpon. Tak ada kata yang bisa kugetarkan selain diam menatap bentuk periuk yang masih seperti telur keriput itu.

~Gaptim, 2022


Penulis:

A.Warits Rovi lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *