Esai
Kereta Api dan Puisi

Kereta Api dan Puisi

Para penggubah dan pembaca puisi berada di gerbong-gerbong kereta api. Mereka tak berada di situ setiap hari. Peristiwa sejenak untuk memenuhi hasrat dengan pilihan tempat mungkin selaras dengan kehadiran kereta api dalam perpuisian di Indonesia, dari masa ke masa.

Sejak awal abad XX, penulisan teks sastra di tanah jajahan mulai menempatkan kereta api sebagai perkara besar. Kereta api tak sekadar alat transportasi. Sekian perkumpulan atau sarekat menjadikan kereta api sebagai simbol mengenai modernitas. Kereta api dimengerti secara ideologis saat kaum pergerakan politik menggunakan kereta api dalam pembesaran dan sebaran propaganda. Kereta api memindahkan barang dan manusia, mengikutkan pula ide-ide.

Masa lalu tak terlalu berkaitan dengan acara diadakan di Yogyakarta, 12 November 2022. Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia mengadakan acara Gerbong Sastra. Di kereta api jurusan Stasiun Tugu-Stasiun Yogyakarta International Airport, sekian orang membawakan puisi untuk para penumpang. Di lima gerbong, puisi dianggap “menghibur” dan “tantangan”. Joko Pinurbo turut berada di gerbong dengan mempersembahkan puisi-puisi.

Acara itu diberitakan di halaman depan Kedaulatan Rakyat, 14 November 2022. Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta berdalih: “Gerbong Sastra menjadi salah satu alternatif cara menikmati sastra yang tidak hanya dapat dilakukan di perpustakaan, panggung pertunjukan, melainkan di segala tempat bahkan ketika kita dalam perjalanan sekalipun.” Pengumuman mengenai tempat dan menikmati sastra. Kita maklum dan agak mendapat kejutan dengan peristiwa sastra di kereta api meski belum dijanjikan rutin diadakan setiap minggu atau bulan.

Para tokoh sastra moncer di Indonesia biasa membentuk biografi dengan kereta api. Mereka pun menggubah puisi mengenai kereta api. Puisi-puisi itu terus bertambah meski kadang melupakan babak awal penulisan kereta api di tanah jajahan dalam puisi gubahan peranakan Tionghoa akhir abad XIX dan awal abad XX. Puisi pun biasa hadir dalam novel-novel bercap “bacaan liar” dan terbitan Balai Pustaka.

Kereta api dalam perpuisian Indonesia masa lalu mungkin kalah moncer dengan lagu untuk bocah berjudul “Naik Kereta Api” gubahan Ibu Sud. Konon, lagu itu digubah pada 1934. Sejak masa 1950-an sampai sekarang, kereta api sering dituliskan dalam sastra dibandingkan bus, pesawat terbang, atau kapal. Para penggubah sastra masih saja terkesima stasiun, gerbong, rel, dan lain-lain.

Pada abad XXI, kereta api masih memikat ditulis dalam sastra atau terpilih dalam persembahan sastra kepada publik. Di Yogyakarta, puisi-puisi itu bergerak bersama laju kereta api. Berita di koran bermaksud peristiwa tak lekas berlalu untuk dilupakan. Kita menanti terjadi lagi sambil menantikan ratusan puisi bertema api digubah orang-orang di pelbagai tempat.

Kita membaca puisi lama berjudul “Setasiun Tugu” gubahan Taufiq Ismail (1963). Puisi bisa terbaca sepanjang masa bagi orang-orang selalu mengenang Yogyakarta. Tokoh tenar itu menulis: Berhentikah waktu di setasiun Tugu, malam ini/ Di suatu malam jang renjai, tahun empatpulih tudjuh/ Para pendjemput kereta Djakarta jang penghabisan/ Hudjanpun aneh di bulan Mei, tak kundjung teduh. Indonesia sedang gelisah. Orang-orang di pelbagai tempat ingin selamat dan hidup saat merdeka memicu seribu perkara. Puisi dari masa lalu. Puisi mungkin teringat sedikit orang saja. Kita tak mengetahui puisi itu dibacakan dalam Gerbong Sastra.

Kereta api memang tak sekadar alat transportasi. Di situ, ada sejarah, kekuasaan, biografi, kota, dan lain-lain. Hartojo Andangdjaja dalam Buku Puisi (1973) turut menguliskan kereta api dengan keterangan “buat sang pemimpin”. Puisi itu berjudul “Sebuah Lok Hitam”. Puisi cukup mencekam: Sebuah lok hitam/ terlepas dari gerbong/ sendiri melancar dalam kelam/ ia menderam ia melolong// Ada lok hitam melancar sendirian/ Kami yang melihatnya bertanya keheranan: ke manakah lok berjalan/ adakah stasiun penghabisan. Pembaca seperti melihat dan berada di suatu tempat. Kesaksian tanpa jawab. Kita mengerti Indonesia belum usai resah. Di akhir, kita membaca penasaran: Jauh di depan tak ada sinyal kelihatan/ jauh di depan hanya malam terhampar di jalan.  

Kita belum menuntut puisi-puisi mengenai kereta api itu asmara. Puisi-puisi romantis berlimpahan dalam kesusastraan Indonesia berkaitan kereta api. Tragedi-tragedi pun terbaca. Dua puisi dari tokoh-tokoh lama tak mengajak pembaca bergembira. Kita mendapatkan kesan-kesan sedih. Duka tak harus digamblangkan.

Di suatu tempat mungkin jauh dan kita tak mengetahui nama, Ahda Imran mengisahkan manusia, kota, dan stasiun. Di puisi berjudul “Di Sebuah Stasiun” kita masih membaca hal-hal belum menggirangkan. Ahda Imran menulis: Menjemputmu di stasiun/ berdiri tegak lurus di peron. Mendengar/ orang-orang tergesa pergi, mungkin pulang/ atau mungkin bukan untuk keduanya. Di peristiwa, sekian maksud dan mau belum terketahui. Kereta api datang dan pergi tapi tanpa pekabaran pasti atas nasib manusia-manusia.

Puisi digubah pada 1999-2003 itu memberi suguhan agak romantis kepada pembaca: Seorang gadis/ turun dari kereta, menuju kekasihnya menunggu/ dengan setangkai bunga. Dari kereta/ yang lain, sunyi itu turun begitu tenang/ memandang dan meraih tubuhku// sebelum keretamu datang. Kita sedang membaca puisi, bukan melihat adegan dalam film cap asmara. Begitu.


Penulis:

Bandung Mawardi. Kuncen di Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Titik Membara (2021), dan Persembahan (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *