Cerpen
Misteri Hutan Gantungan

Misteri Hutan Gantungan

SUDAH tiga hari Dukuh Kali Banteng diliputi kengerian. Bagai desa mati yang tidak berpenghuni, suasana tampak begitu sepi. Terlebih jika matahari sudah terbenam suasana desa terasa mencekam. Jika berjalan seorang diri seperti ada yang mengawasi, membuntuti, kadang-kadang menemani. Jika menampakkan diri yang melihatnya akan dibuat pingsan. Begitulah malam mengundang setan, dedemit, jin, dan makhluk sejenisnya. Jika azan Magrib sudah berkumandang di langgar, penduduk desa tidak ada yang berani keluar rumah. Mereka percaya para memedi akan gentayangan meneror siapa saja yang ditemuinya.

Empat hari yang lalu, tiga pemuda yang sedang meronda mendengar suara gemercik lonceng dan ringkikan suara kuda. Mereka mengira itu Nyi Rantamsari, lelembut penunggu Laut Tegal. Ternyata bukan, kereta kencana dengan enam kuda yang mereka lihat lebih mengerikan daripada apa yang dibayangkan. Kereta kencana itu lewat dengan diiringi rombongan memedi menggendong keranda yang sedang mengelilingi desa. Tiga pemuda itu seketika pingsan dan esok harinya ditemukan tergeletak di kuburan. Satu di antara mereka bahkan sekarang masih dalam keadaan gila. Begitulah cerita mengerikan itu tersebar dari satu mulut ke mulut lainnya.

Banyak cerita ganjil dan kejadian tidak masuk di akal di kampung ini. Mbah Basyirun sebagai sesepuh yang dipercaya dapat melindungi desa, sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tergolek di tempat tidurnya. Sudah dua tahun badannya habis dimakan penyakit. Ia tidak bisa berbuat lebih untuk menolong salah seorang warga yang sudah beberapa hari hilang di Hutan Gantungan.

“Apa yang bisa diharapkan dari seseorang pak tua yang sudah berumur seratus tahun kurang tiga bulan lagi? Menjaga kesehatan badannya saja sudah tidak bisa, apalagi menjaga desa,” kata Syarif dengan bahasa ngapak. Ia baru saja pulang dari Batavia setelah mendapat kabar sudah tunangannya, Rapiah, hilang di Hutan Gantungan yang terkenal angker.

“Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika tidak ada yang berani masuk hutan, biar aku sendiri yang akan melakukannya. Aku tidak percaya setan, dedemit, memedi maupun tuyul. Semua cerita yang aku dengar tidak lebih dari takhayul. Omong kosong!” Itulah ucapan terakhir Syarif sebelum meninggalkan dukuh untuk mencari perempuan yang akan dinikahinya. Slamet Kondel dan Guprot tidak bisa mencegah Syarif petang itu. Sebagai petugas keamanan Dukuh Kali Banteng, kedua pemuda itu telah kehilangan martabatnya setalah dituding tidak bisa memberikan apa-apa selain menyebar cerita mistis yang tidak masuk akal.

Malam itu juga keduanya bergegas ke rumah Kang Huda. Di depan rumahnya sudah berkumpul sejumlah pemuda. Saat masuk ke dalam rumah keduanya mendapati Kyai Syam, Pak Lurah, dan Aryo yang juga baru pulang dari padepokan Tegal. Aryo tidak sendiri ia mengajak gurunya Sunan Ahyar—cucu Gendowor—orang kepercayaan Tumenggung Martoloyo Adipati Tegal. Mereka semua bukan orang sembarangan. Begitulah warga mempercayainya. Itu sebabnya, warga menyerahkan segala urusan di luar nalar di pundak mereka.

Slamet Kondel lantas menceritakan jika Syarif menuju Hutan Gantungan seorang diri untuk mencari Sopiah. Semua orang yang mendengarnya dibuat kaget. Tidak terkecuali Sunan Aryo.

“Sinting,” ujarnya geram mendengar adiknya nekat ke Hutan Gantungan. Padahal, ia berulang kali sudah mengingatkan untuk jangan ke gabah.

“Sabar, tenangkan dirimu. Saat ini yang bisa kita lakukan hanya menunggu Kang Huda. Semua penduduk desa tahu ia titisan terakhir Mbah Manggar. Kita tunggu saja sampai tengah malam,” kata Kyai Syam mencoba menenangkan.

“Sudah berapa hari Kang Huda tirakat?”

“Tiga hari tiga malam.”

“Kalau boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan desa ini. Aku melihat banyak keganjilan di desa ini,” kata Sunan Ahyar mengajukan tanya untuk memuaskan rasa penasaran yang berkelindan di hati dan pikirannya.

“Dalang semua ini adalah Gareng,” Kyai Syam mencoba menjelaskan.

“Siapa Gareng?”

“Namanya Gali Ireng, ia murid ketiga Mbah Lungga. Semenjak mempelajari ilmu hitam di Hutan Gantungan, kini ia menyebut dirinya sebagai Gareng. Tanpa sepengetahuan kami, ia mencabut semua benda pusaka di desa ini. Padahal, benda pusaka itu sudah disebar oleh Mbah Basyirun puluhan tahun silam atas perintah Tumenggung Martoloyo Adipati Tegal untuk menghalau Nyi Lampar masuk ke pedukuhan ini. Pendeknya, Gareng berusaha membebaskan Nyi Lampar dan gurunya Mbah Lungga yang terkurung di Hutan Gantungan. Hanya dengan cara memberikan korban dan membersihkan pedukuhan dari kodam-kodam penjaga mereka dapat bebas. Nantinya mereka akan menjadikan tempat ini sebagai desa mati. Itu sebabnya semua lelembut, dedemit, jin dikerahkan untuk meneror warga.”

Sunan Ahyar mengerutkan kening mendengar cerita mengerikan di pedukuhan yang baru disinggahinya ini. Sebelum datang ke sini ia sudah mendengar keangkeran Dukuh Kali Banteng dari muridnya Aryo yang meminta bantuan padanya saat menceritakan tunangan adiknya hilang di hutan.

Baginya, nama Nyi Lampar bukanlah sosok yang asing. Semua orang tua tahu jika Nyi Lampar murid kesayangan Mak Lampir yang kini dikerangkeng di lembah Merapi. Ia meninggalkan lereng Merapi dan hidup gentayangan dari satu tempat ke tempat lainnya. Usianya sudah melintasi zaman. Dengan cara meminum darah gadis perawan yang tubuhnya belum disentuh lelaki ia akan tetap hidup.

“Tetapi kalau boleh tahu, kenapa Nyi Lampar memilih pedukuhan ini sebagai tempat persinggahannya?” Sekali lagi Sunan Ahyar mengajukan tanya.

Kyai Syam dengan tenang menceritakan asal muasal kenapa Dukuh Kali Banteng penuh dengan misteri. Semua orang yang hadir di tempat itu memasang telinganya lebar-lebar, tidak terkecuali mereka yang berada di luar.

***

Minggu yang kelabu. Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Petir sahut menyahut di langit Dukuh Kali Banteng. Kilatannya bagai cambuk Malaikat Izrail yang menyambar-nyambar memburu punggung iblis terlaknat. Entah bertanda apa. Begitulah Mbah Basyirun membaca alam ditemani kodam yang setia menjaga dirinya: Mbah Manggar.

Kurang dari tiga kilometer dari Dukuh Kali Banteng, di dalam hutan Gendowor yang waktu baru menjabat sebagai Adipati Tegal menggantikan Tumenggung Martoloyo dan anak prajuritnya mencoba bertahan setelah tiga hari tiga malam bertempur dengan serdadu VOC. Gendowor bersama pasukannya berjuang mempertahankan wilayah Tegal dari serbuan tentara VOC yang ingin membumihanguskan lumbung padi yang disiapkan untuk prajurit Mataram. Saat itu Sultan Agung berencana menyerang Batavia untuk kedua kalinya. Didukung persenjataan mutakhir ratusan prajurit VOC dengan mudah menerobos pertahanan yang dibuat Gendowor.

Kadipaten Tegal jatuh.

 Namun perlawanan belum selesai. Segera saja Gendowor memerintahkan prajurit yang tersisa mundur ke dalam hutan untuk menjalankan perang gerilya.

Setelah seharian keluar masuk hutan, Adipati Tegal itu akhirnya melihat pedukuhan kecil. Tanpa pikir panjang mereka masuk ke pedukuhan untuk meminta pertolongan. Setidaknya ada makanan untuk mengganjal perut mereka yang sudah tiga hari belum melihat nasi.

Di rumah lurah mereka menyambung nyawanya dari kematian yang mengintainya. Gendowor dan prajuritnya diterima dengan baik oleh Mbah Basyirun seorang lurah yang dihormati warganya. Dengan ramah ia memperlakukan Adipati Tegal itu dengan sangat baik.

“Silakan diminum kopinya, Adipati,” kata Mbah Basyirun dengan ramah.

“Terima kasih,” balas Gendowor.

“Kenapa Dukuh Kali Banteng begitu sepi, Mbah?” tanya salah seorang prajurit sambil menyeruput kopi tubruk yang masih panas.

“Pedukuhan ini sedang tidak aman,” balas Mbah Basyirun sambil menggulung bako dari kulit jagung yang sudah dikeringkan.

“Tidak aman bagaimana, Mbah? Apa karena kami, atau….”

“Nyi Lampar sedang meminta korban,” potong Kliwon anak Mbah Basyirun. Dua detik kemudian ia melanjutkan, “Sudah dua anak perawan mati dihisap embun-embunnya.”

“Nyi Lampar itu siapa?”

“Entah, sebutan apa aku harus menjelaskannya. Yang jelas anak hasil kawin silang antara raja jin dengan manusia terkutuk.”

“Dedemit, barangkali?” tanya prajurit yang lainnya.

“Bisa jadi. Dia anak kesayangan Mak Lampir. Sebelum Mak Lampir ditangkap dan dikurung di lembah Merapi oleh senapati Sultan Agung, ia sudah memberikan separuh kesaktiannya pada Nyi Lampar.”

Di saat mereka sedang asyik mengobrol tiba-tiba pasukan VOC menyergap Gemdowor. Dengan satu serangan kilat Gendowor dan pasukannya berhasil dikalahkan. Tidak hanya mereka, separuh warga juga ditahan prajurit VOV terutama orang dewasa. Dengan beringas para prajurit itu menggiring tawanannya masuk ke tengah hutan.

Sesampainya di tengah hutan para prajurit berpesta pora. Mereka memperkosa para perempuan sebelum digantung. Sedangkan para lelaki sudah terlebih dahulu dicincang setelah mati digantung. Tidak kurang dari dua ratus orang mati berjamaah dengan cara digantung di pepohonan.

Gendowor dan Mbah Basyirun yang selamat dari penyergapan setelah ditolong oleh Mbah Manggar segera diamankan di sumur tangku. Ia dimasukkan ke dalam pohon beringin untuk mengelabui prajurit VOC. Setelah tiga hari tiga malam bersembunyi barulah Gendowor dan Mbah Basyirun keluar dari tempat persembunyiannya. Ia kemudian menyusup ke dalam hutan ditemani Mbah Manggar. Sesampainya di dalam hutan ia melihat pemandangan mengerikan. Ratusan mayat bergelantungan. Atas bantuan Mbah Manggar mata batin Gendowor dan Mbah Basyirun dibukanya, maka tampaklah para dedemit, memedi dan jin sedang mengadakan ritual. Mereka yang mati digantung ternyata ruhnya terkurung di alam gaib. Mereka sedang dijadikan budak untuk membangun istana raja jin.

Di antara makhluk mengerikan itu terlihat Mbah Lungga dan Nyi Lampar sedang melakukan ritual. Dari situ diketahui dalang di balik penyergapan prajurit VOC ternyata Mbah Lungga—musuh bebuyutan Mbah Basyirun.

Tanpa pikir panjang Gendowor memerintahkan Mbah Manggar dan Mbah Basyirun untuk mengurung mereka dengan kekuatan maunah yang diberikan Tuhan. Setelah tujuh hari tujuh malam keduanya berhasil mengurung para budak iblis terlaknat. Mbah Lungga yang kalah dalam pertarungan itu mengancam akan menghancurkan Dukuh Kali Banteng dan akan menjadikan warganya sebagai budak Iblis. Dari peristiwa itulah tempat tersebut kini dinamai Hutan Gantungan.

Begitulah Kyai Syam menceritakan kenapa Dukuh Kali Banteng begitu mengerikan. Di saat mereka sedang mengobrol tiba-tiba Kang Huda keluar dari kamarnya diikuti seberkas cahaya yang berkilauan berwujud kakek tua dengan jenggot setengah badan.

“Tidak lain, inilah Mbah Manggar penjaga Dukuh Kali Banteng—jin piaraan Tumenggung Martoloyo,” kata Kyai Syam dalam hatinya.

“Bagaimana Kang, sudahkah ada petunjuk?” tanya Aryo penasaran.

Kang Huda mengangguk. “Ibumu sudah dijadikan budak di Gantungan,” ujarnya pelan. “Sekarang semua ambil wudu, kita akan masuk ke alam jin.”

Para pemuda di luar rumah diperintahkan untuk berjaga-jaga. Baru saja ritual dilekasi,  angin kencang menerjang mereka. Pohon-pohon bertumbangan. Burung gagak terbang meliuk-liuk. Suara tangis bayi, jeritan suara perempuan, dan suara erangan buto ijo terdengar di telinga mereka.

“Ada apa ini,” kata seorang pemuda.

“Jangan hiraukan. Mereka sedang menguji iman kita. Tetap berselawat. Jangan bukan mata kalian sebelum ada perintah atau kalian akan menjadi budak mereka,” seru Sunan Ahyar dari dalam sambil membaca wirid.

Alam jin pun terbuka. Di hadapan mereka terbentang pintu kerajaan jin yang megah. Di dalamnya terdapat istana berwarna hitam yang dijaga ratusan dedemit, lelembut, jin dan makhluk mengerikan lainnya. Kuntilanak bergelantungan di atas pohon. Genderuwo memandang mereka dengan bola mata apinya. Tuyul mondar-mandir mengintip kedatangan makhluk bernama manusia.

Kang Huda segara mendobrak pintu kerajaan jin. Lalu ia masuk diikuti rombongannya. “Semua tetap di sini,” perintahnya. “Biar aku, Kyai Syam, Sunan Ahyar dan Mbah Manggar yang akan menghancurkannya.”

Baru saja Kang Huda membaca doa-doa, Nyi Lampar tertawa terbahak-bahak. Di sampingnya berdiri Mbah Lungga. Di atas kursi singgasana raja jin bercokol dikelilingi ratusan prajuritnya. Tidak jauh dari situ, Sopiah perempuan yang hilang sedang dijadikan budak. Tubuhnya dililit rantai api yang menyala.

“Mak tolong, Mak…”

Semua orang yang mendengar jeritan itu dibuat kaget alang kepalang melihat Syarif sedang dikerangkeng.  Aryo hendak menolongnya sebelum dicegah oleh Sunan Ahyar.

“Jangan. Mereka sedang mempermainkan iman kita. Kita tunggu waktu yang tepat.”

Kang Huda segera meloncat ke udara sambil melemparkan tasbihnya. Ledakan besar menghancurkan sebagian istana jin. Mbah Lingga yang masih merawat dendamnya langsung saja mengejarnya. Pertarungan sengit tidak terhindarkan. Sunan Ahyar memerintahkan semuanya membaca wirid sekeras-kerasnya. Sesuatu yang mengerikan pun terjadi. Jeritan melolong bagai serigala. Tangan-tangan para dedemit mulai putus dari tubuhnya. Mbah Manggar dan Kyai Syam langsung memburu Nyi Lampar. Di saat itulah Aryo menyelinap untuk membebaskan adiknya Syarif.

Pertarungan baru berhenti saat azan berkumandang. Raja jin memerintahkan prajuritnya untuk lari ke gunung-gunung. Mereka berhamburan saat bersamaan Kang Huda meledakkan istana  raja jin dengan berkat doa yang ia panjatkan. Mbah Manggar juga berhasil meringkus Nyi Lampar dan menggantungnya di antara pepohonan tempat pemujaan mereka. Istana jin itu pun meledak bersamaan meledak pula tubuh Mbah Lingga.

“Mak,” teriak Syarif melihat  Sopiah jatuh tersungkur diinjak-injak para prajurit raja jin yang kalang kabut. Ia berusaha menolongnya namun tongkat Mbah Manggar menghalangi langkahnya. “Semua sudah suratan. Ikhlaskan dan doakan,” katanya.

Keesokan harinya warga ramai-ramai masuk ke dalam Hutan. Di tempat pemujaan yang ditandai tumpukan batu, Sopiah ditemukan sudah menjadi mayat. Aryo  dan Syarif tidak henti-hentinya menangis memeluk jasad Sopiah. Tiba-tiba dari semak belukar muncul Gareng. Tubuhnya dipenuhi lumpur, hingga warga kesulitan mengenali wajahnya. Ia bernyanyi sambil menari-nari tanpa sehelai pakaian pun sebelum lari dan menghilang di telan lebat hutan. Sebagian warga hendak mengejar tetapi Kyai Syam melarangnya: “Jangan ganggu orang gila jika kalian tidak mau menjadi gila. Ini pelajaran buat siapa saja. Jauhi hal yang dilarang agama atau kalian akan tersesat karenanya.”[]


Penulis:

Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Tulisannya dimuat di sejumlah media seperti Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Harian Rakyat Sultra, dan Majalah Harmoni. Novel terbarunya Namaku Bunga (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *