Resensi Buku
Poterunia: Kehancuran dan Kritik Atas Modernitas

Poterunia: Kehancuran dan Kritik Atas Modernitas

Judul               : Alice di Tanah yang Gila
Penulis             : Evald Flisar
Penerjemah      : Nunung Deni Puspitasari
Penerbit           : Jejak Pustaka
Terbit               : Oktober 2022
Tebal               : vi + 167
Halaman ISBN : 978-623-8007-46-2

Pada pembacaan awal, ada dugaan kalau novel Alice di Tanah yang Gila karya penulis Slovenia, Evald Flisar, berhubungan dengan karakter Alice yang fenomenal itu. Intertekstulitas atas karya Carol, Alice’s Adventures in Wonderland, rupanya memang dilakukan dan tak hanya dugaan semata. Kita lihat di halaman awal, “Tapi Alice, mengingat petualangannya di Negeri Ajaib, bukanlah gadis biasa. Bahkan, kita dapat mengatakan bahwa dia adalah sesuatu yang istimewa.” (Hal. 2) Memangnya apa keistimewan Alice? Sejauh apa Flisar melakukan tautan atas cerita Carol? Jikapun demikian, apa yang membedakan novel ini dengan karya Carol dan menjadi daya tariknya?

Kendati mengalusi pada tokoh cerita milik penulis lain, inti novel ini tentu berbeda. Petualangan ke negeri yang absurd dan aneh masih menjadi bobot utama cerita. Narasi penulis juga dibangun atas logika yang tak masuk akal: dialog ketat dengan topik yang sukar dibayangkan ada di dunia nyata. Sekian hal itu, mengitari kisah Alice yang, jelas, tak lagi berkutat dengan lubang kelinci, tetapi berpijak dalam kisah yang sama sekali lain, bersama karakter yang sama sekali baru. Terdiri dari 20 bab, kisah novel ini berjalan di atas plot maju yang mudah diikuti, tapi penuh jebakan fragmen cerita yang mengundang tanya, tawa, dan ketidakjelasan.

Mula-mula digambarkan Alice memiliki paman, yaitu Paman Hopper; dan si paman lama tak berjumpa dengan Alice, sejak kali terakhir Alice berkelana di dunia ajaib. Alice kini sudah berusia dua belas tahun dan di usia segitu, ia memiliki tiga gelar di tiga universitas yang berbeda. Alice bukan lagi anak-anak. Alice beranjak dewasa. Alice ingin berhenti mengurusi hal-hal bergelimang dongeng dan mulai memikirkan untuk mengurusi hal yang serius. Tapi setelah mengikuti pamannya yang melompat ke pusaran air, keduanya terdampar di pulau antah-berantah. Katanya, “’Paman,’ kata Alice, saat dia dan Profesor kembali berdua, ‘Aku khawatir kita telah jatuh melalui corong bawah laut di Segitiga Bermuda. Kita telah jatuh ke dalam dunia yang begitu tidak nyata sehingga seolah-olah itu tidak ada sama sekali!’” (Hal. 27) Kelak, mereka mengetahui kalau pulau itu bernama Poterunia, pulau yang diduga berdiri di atas Perairan Segitiga Bermuda. Apa yang Alice dan pamannya hadapi di sana?

Abu-abu. Itu pandangan pertama yang mereka dapat saat mengobservasi pulau itu. Segalanya terdiri dari lempung liat warna abu-abu, dari jalan, rumah, plang toko, gedung, bahkan orang-orangnya sendiri yang, juga, digambarkan berwajah kusam dan pucat. Hal lainnya, Poterunia hanya berisi poti, bahan yang ditambang di bawah kota dan yang menjadi cikal bakal segala hal yang ada di sana. Sistem masyarakat di Poterunia juga penuh kekacauan, kendaraan di jalan saling tubruk, chaos, tapi begitulah Poterunia: negara itu berdiri atas kekacauan yang membangun—logika kontradiktif yang berarti semakin banyak hal yang kauhancurkan, maka pembangunan bisa terus dilakukan. Tapi pula, segera mereka tahu, kalau tempat itu diambang kehancuran, katastrope berupa gempa bumi yang meruntuhkan sekujur tubuh kota mengancam setiap saat.

Maka-maka pilar dibangun untuk menopang. Bahkan ada kengerian yang dijelaskan oleh karakter yang mendatangi Alice dan pamannya, Potter Pots, bahwa, “Beberapa bulan yang lalu, kami berhenti mengkremasi mayat. Sekarang, kami membalsem mereka, mengisinya dengan sampah anorganik dan membawanya ke gua bawah tanah tempat kami merakitnya menjadi pilar pendukung.” (Hal. 40) Situasi Poterunia juga sedang dalam situasi memanas akibat pemilihan presiden—dua kanditat, yaitu Poterspot dan Potter Pots, saling bersaing memperebutkan tampuk kekuasaan. Akibat situasi itu, mereka yang tadinya hanya mampir sebab pamannya memiliki tujuan lain, untuk menyelamatkan kota Trinidad dan Tobago yang diambang krisis ekonomi, jadi mesti tinggal lebih lama di Poterunia. Apakah mereka tidak ingin pergi? Sejujurnya, mereka ingin secepatnya melenggang dari tempat itu, tapi ancaman membayang diri pamannya. Potter Pots menyematkan bom di kedua kakinya, dan meminta mereka tinggal dengan menawarkan Paman Hopper sebagai menteri ekonomi baru dan Alice sebagai penyair dan penyanyi dalam kampanye presiden Potter Pots.

Dari penjabaran itu, Flisar jelas meminjam karakter Alice dan formula kisah petualangan yang digagas Carol. Tapi begitu, ia tak terjebak dalam upaya plagiasi, sebab keseluruhan cerita berjalan dalam plot yang sama sekali baru. Hubungan novel ini dengan teks lain sebatas meminjam elemen teks tersebut, bahkan kerap menyitirnya dan menjadikannya bahan dialog serta candaan yang dilontarkan karakter. Di sisi lain, penulisnya Flisar, tampak tak melepaskan diri dari keterpengaruhan dunia nyata yang ditubrukan dengan semesta imajiner. Ada beberapa tempat yang eksis di dunia nyata, sementara lainnya merupakan buah imajinasinya. Hal tersebut berlaku juga menyoal keberadaan sekian karakter dan konflik kekuasaan yang berkelindan di dalamnya.

Kedua karakter yang berkonflik di medan politik juga mempresentasikan phatological narsisme penguasa yang pernah eksis di Slovenia. Mereka egois dalam artian ingin mewujudkan semua keinginannya, seperti salah satu karakter yaitu Potter Pots. Masyarakat Poterunia, yang biasa dipanggil para Poterunian, dikontrol dengan alat-alat yang membungkam mereka manakala ada ketidaksetujuan atau ketidaksenangan yang terlontarkan. Misalnya, alat itu disebut dalam kata-kata Potter Pots kala menjelaskan penemuan terbarunya, “’Orang-orang sudah lelah menampar,’ Potter Pots menjelaskan. ‘Peredam poti sudah menjadi ritual sosial, seperti secangkir teh. Inilah sebabnya mengapa Tuan Potpoterunko menemukan bentuk ketiga untuk mengungkapkan ketidaksenangan. Jika Anda ingin menunjukkan kepada seseorang bahwa mereka telah melewat ambang batas toleransi, Anda menusuk pelampung mereka dengan penusuk. Tuan Potpoterunko, tolong tunjukkan penemuannmu.’” (Hal. 124)

Tiga temuan itu bertendensi untuk mengatur masyarakat supaya patuh. Perpaduan hal ini dengan kenyataan bahwa Poterunia diambang katastrope, menjadikan semesta Poterunia merupakan distopia yang nyata. Penguasa nihil empati, masyarakat yang patuh saja dikendalikan, dan dunia yang segalanya berwarna abu-abu serta diambang kehancuran. Di semesta yang semacam itu, kedua orang itu mesti bertahan hingga akhir. Mereka mau tak mau tenggelam dalam kelindan intrik politik penuh konspirasi, sampai akhirnya keputusan untuk menghancurkan seluruh kota diambil. Keputusan itu, sialnya lagi, berlandaskan kepentingan pribadi hampir setiap karakter: bahwa kehancuran total bisa menjadi cikal-bakal dari pembangunan kota ke arah yang lebih adidaya, kendati hal itu harus dicapai dengan mengorbankan banyak nyawa penduduk yang tak bersalah.

Dari situ, banyak interpretasi atas sekian fragmen di dalam kisah ini. Tentu ia menyindir abad modern yang makin menihilkan empati dan berorientasi pribadi tanpa memperdulikan kemaslahatan orang banyak. Sedikitnya moralitas demi bayangan masa depan cerah nyatanya hampir sama dengan konsep kehancuran itu sendiri. Manusia, dalam hal ini orang lain, tak lagi dipandang penting demi tercapainya sesuatu yang diimpikan oleh segelintir penguasa. Inilah gambaran kehancuran peradaban, persis seperti nasib Poterunia. Dengan begitu, novel Flisar ini berdiri maju ke depan dalam hal penyisipan kritik atas kemanusian dan peradaban modern. Ada tendensi lebih serius, melepas dari bayangan dongeng imajinatif semata. Sampai kemudian, hal itu bisa saja menjadi kelebihan dari novel ini; di samping juga, bagi yang mencari keasyikkan bacaan, cerita dari novel ini tak sepenuhnya menyediakan hal tersebut. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *