Esai
Kemandirian dan Kritik

Kemandirian dan Kritik

Ralph Waldo Emerson, sastrawan transendental (romantis) Amerika, menulis esai berjudul Self-Reliance di tahun 1841. Pikiran dalam Self-Reliance, atau kurang lebih berarti ‘kemandirian’ itu membuat kita seharusnya merenung. Setidaknya bila melihat perkembangan sastra modern Indonesia di tahun 1940-an hingga era pascamodern kini (abad 21). Terutama, bila menyadari bahwa sastra Indonesia, baik dari gagasan filosofis dan bentuk estetikanya, katakanlah – ‘belum mandiri’, menggunakan istilah Emerson. Bahkan, bila mengingat perjalanan sastra kita–cenderung lamban merespon setiap gelombang tren sastra baru dunia, dan tak pula menghasilkan bentuk baru. Renungan transendentalis itu seolah mengalir sebagai wahyu yang memberikan energi untuk bergerak.

Tentu saja saya tidak bermaksud untuk mensubordinasi sastra Indonesia di bawah sastra lain. Sastra Indonesia, dipenuhi karya-karya yang luar biasa dengan ukurannya sendiri. Tidak bisa disangkal, Pramoedya Ananta Toer, W.S Rendra, Goenawan Mohamad, Eka Kurniawan, Seno Gumira Ajidarma adalah para sastrawan yang menghasilkan karya yang pantas dikagumi. Pramudya bahkan pernah menjadi salah satu nomine Nobel sastra. Tetapi, maksud saya adalah bagaimana menyertakan semua itu ke dalam lanskap sastra dunia yang lebih luas – sebagai sastra sebuah bangsa yang memiliki identitas. Seperti pula cita-cita kita dan negara yang menginginkan sastra kita bersaing di panggung dunia. Jawabannya menurut saya adalah adanya ‘kemandirian’ dan melakukan klaim identitas, seperti saran Emerson. Kemandirian yang menghadirkan otoritas, otentisitas artistik dalam berkarya. Meskipun, ada banyak faktor yang mungkin mempengaruhinya untuk sampai di sana, tetapi identitas dan otentisitas adalah satu variabel yang menentukan, seperti halnya ‘realisme magis’ menjadi identitas Amerika Latin sejak Alejo Carpentier mendeklarasikan dalam klaim pengantar novelnya El Reino De Este Mundo atau The Kingdom of This World di tahun 1949 dengan semangat ‘Lo Real Maravilloso Americano’. Dalam catatan kaki prolog novelnya itu, Alejo menuliskan keterangan ringkasnya dari semangat mandiri itu:

“…El surrealismo ha dejado de constituir, para nosotros, por proceso de imitación muy activo hace todavía quince años, una presencia erróneamente manejada. Pero nos queda lo real maravilloso de índole muy distinta, cada vez más palpable y discernible, que empieza a proliferar en la novelística de algunos novelistas jóvenes de nuestro continente.” 

“…Surealisme bagi kami sudah selesai, dengan proses imitasi yang sangat aktif lima belas tahun yang lalu, kehadiran yang dikelola secara salah. Tetapi kita meninggalkannya dengan kesadaran ‘realitas luar biasa dengan sifat yang sangat berbeda, semakin gamblang dan dapat dilihat, yang mulai berkembang biak dalam novel-novel beberapa novelis muda di benua kita.”

Seperti halnya Alejo Carpentier, Ralph Waldo Emerson memberikan saran semacam itu pula dalam esainya di atas untuk kemandirian seni dan sastra Amerika Serikat:

“…Dan mengapa kita perlu meniru model Doric atau Gotik? Keindahan, kenyamanan, keagungan pemikiran, dan ekspresi kuno sangat dekat dengan kita, dan jika seniman Amerika akan belajar dengan harapan dan menyukai hal yang tepat. yang harus dilakukan olehnya, dengan mempertimbangkan iklim, tanah, panjang hari, keinginan rakyat, kebiasaan dan bentuk pemerintahan, ia akan membuat sebuah rumah di mana semua ini akan menemukan diri mereka sendiri, dan rasa dan sentimen akan terpuaskan juga…”

Kita, seharusnya dalam semangat kemandirian seperti Emerson dan Alejo meyakini itu. Dan untuk sampai pada keyakinan itu, kita membutuhkan sarana tertentu. Standar kita sendiri, dan dengan demikian, menghidupkan kritik adalah bagian penting untuk mencapai sasaran itu. Kritik adalah tradisi intelektual semenjak masa lalu. Kritik melahirkan standar-standar dan memungkinkan koreksi atas kekeliruan yang bisa saja dilakukan oleh seorang pengarang pada jalan mazabnya. Misalnya dalam fiksi sejarah. Bukankah Homer di masa lalu juga menerima kritik oleh Xenophanes dan Heraclitus, karena memberikan gambaran yang salah tentang para dewa. Kritik juga menjadi periskop bagi pembacanya untuk mencapai kesenangan imajinasi. Kritik mengawal standar yang ingin kita capai. Friedrich Schlegel, tokoh romantisme Jerman awal (abad 18) bahkan menulis, “kritik adalah pilar umum di mana seluruh bangunan pengetahuan dan bahasa bersandar” (Critique: 271).

Kritik juga akan merangsang sastrawan untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih bermutu, dsn melahirkan kanon dan teori baru – meskipun tidak selalu berhasil menjadi dominan, seperti misalnya ‘dirty realism’ diperkenalkan oleh Bill Buford di Majalah Granta di tahun 1980-an atau ‘metarealism‘ yang dikenalkan oleh Mikhail Epshtein di majalah “Voprosy Literatury Rusia tahun 1981”. Juga jenis-jenis teknis sastra pascamodern sejak menjadi perhatian kritikus sastra seperti John Barth, Ihab Hassan hingga Fredric Jameson versus Linda Hutcheon di tahun 1970-80-an.

Kritik menghidupkan, mengawasi, dan menandai setiap produk budaya. Dengan semua itu, sastrawan di kemudian hari bisa membandingkan, mempelajari dan menghasilkan klaim identitas. Kita membutuhkan itu. Untuk tujuan kemandirian sastra Indonesia. Dan, faktanya, toh kita mengikuti seluruh konvensi setiap aliran sastra dunia yang ada saat ini. Baik romantisme abad 18, realisme abad 19, modernisme abad 20, dan terakhir pascamodernisme di abad 21 ini. Artinya setiap karya tak akan lepas dari pembacaan kritis atas mazhabnya.  

Akhirnya, kesimpulannya adalah kita membutuhkan kemandirian sastra, dan dengan demikian membutuhkan media kritik sebagai pengawas yang akan menandai kelahiran sastra baru kita. Kritik seperti darah yang harus mengalir dalam tubuh agar manusia tetap hidup. Tanpa kritik, kebudayaan kita, terutama–sastra kita akan lamban tumbuh mandiri dan susah memiliki privilege di dalam lanskap sastra dunia, seperti halnya Amerika Latin. Dan demi kebutuhan itu, seharusnya kita berani bersikap seperti Alejo Carpentier: “Surealisme sudah selesai bagi kami…” []


Penulis

Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya “Mitoni Terakhir” diterbitkan penerbit Nyala (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *