Cerpen
Jendela di Sudut Kiri Mataku, Lukisan Kakek di Sudut Kanan Mataku

Jendela di Sudut Kiri Mataku, Lukisan Kakek di Sudut Kanan Mataku

SEJAK dulu aku tahu: aku tak pernah diinginkan siapa pun. Bahkan sebelum aku lahir, sudah kurasakan upaya melenyapkanku, berkali-kali. Hantaman-hantaman yang tak henti, juga racun-racun yang terus dicekoki ke dalam tubuhku, tentu semua itu nyaris membuatku selesai. Tapi pada akhirnya, aku tetap bertahan dan terlahir ke dunia. Kupikir upaya-upaya melenyapkanku masih akan terus terjadi, bila saja Kakek—laki-laki tua yang pertama kalinya kulihat dan pertama kalinya juga melihatku—tidak berteriak lantang, “Biarkan dia hidup! Tak ada lagi yang boleh menganggunya!”

Walau itu jadi pertemuan pertama sekaligus terakhir dengan Kakek, aku tetap menganggapnya sebagai penyelamatku. Karena setelah hari itu, ia memberikan satu kamar di rumahnya yang besar ini. Walau letaknya di tempat paling tersembunyi, setidaknya ia juga membayar seorang pembantu yang khusus mengurusiku. Pembantu yang jelas-jelas tak berusaha menutupi kebenciannya padaku.

Tapi setidaknya, karena itulah aku hidup sampai sekarang.

   ***

Aku tumbuh dalam keheningan kamarku.

Maka itulah, keinginan terbesarku sangat sederhana: bisa keluar dari kamar ini. Tapi walau nampak sederhana, itu bukan perkara mudah. Pembantu yang mengurusku, tak mau melakukan apa-apa selain menjalankan tugasnya. Ia selalu berusaha secepat mungkin keluar dari kamar ini, tanpa sekali pun mengajakku bercakap-cakap.

Jadi yang bisa kulakukan adalah melirik  jendela yang ada di sebelah kiri, dengan  sudut mataku. Kupikir ini adalah upaya paling mungkin. Setidaknya dari jendela itulah banyak cerita yang dapat kutangkap. Kicauan burung yang bersahutan, seperti mampu melukiskan hari indah di luar sana. Juga tawa lepas anak-anak yang tak henti-henti, seperti melukiskan kegembiraan yang tak pernah usai. Aku bahkan menduga-duga kalau mereka semua adalah para sepupuku. Ya, aku yakin –walau tak pernah melihatnya– aku memiliki banyak saudara.

Karena bila aku melirik di sudut yang lain yang ada di sebelah kananku, dapat kulihat sebuah lukisan keluarga yang terpajang di dinding. Tentu itu lukisan milik Kakek. Di situ, kulihat Kakek duduk di kursi yang ada tepat di tengah-tengah lukisan, dikelilingi 5 anaknya. Semua nampak ada dalam pakaian terbaik dan senyum paling sempurna. Hanya satu gadis remaja yang nampak terlihat paling aneh, seperti merusak suasana lukisan. Ia—walau  juga berpakaian indah—seperti sosok asing di situ dengan mata bulat yang terus memandang langit-langit dan mulut setengah terbuka.

Tapi, gadis itu adalah ibuku.        

Selepas melahirkanku dulu, aku tak lagi melihat dirinya. Aku bertanya-tanya, apakah Ibu sudah meninggal saat itu? Atau ia hanya pergi tak ingin menemuiku karena aku seperti ini? Dan baru beberapa tahun kemudian aku mendapatkan jawabannya. Itu saat salah satu saudaranya yang berdagu lancip, yang dulu pernah membawa seorang dukun bertangan penuh kutil untuk melenyapkanku, berkata, “Kupikir aib keluarga ini berakhir pada ibumu, ternyata walau ia sudah tak ada, kau melanjutkan aib itu!”

Aku sedih mendengar kata-kata itu. Aku tahu bagaimana Ibu mencoba mempertahankanku, saat saudara laki-lakinya yang bertubuh besar, mencekokinya dengan racun beberapa hari sekali. Ia memberontak sedemikian rupa, hingga suatu kali pernah membuat saudaranya itu terpelanting.

Aku tiba-tiba merasa sangat bersalah pada Ibu. Aku tahu, akulah penyebab semua ini. Mereka hanya ingin melenyapkanku. Setidaknya, bila aku lenyap, aku rasa Ibu akan baik-baik saja.

***

Walaupun tak pernah bertemu Ibu, sosoknya jadi cerita abadi di benakku. Entahlah, aku seperti tiba-tiba saja mendapatkan kisah tentangnya, tanpa siapa pun menceritakannya. Aku hanya terbangun dari tidurku, dan melirik ke arah kiri, untuk mendapatinya duduk termenung di sana. Ya, ia hanya duduk menatap ke luar jendela, tanpa melakukan apa-apa. Sesekali ia menangis. Sesekali juga ia tertawa. Dan sesekali lainnya, ia berteriak-teriak histeris. Setiap hari seperti itu, hingga bertahun-tahun.

Sampai kemudian ia jatuh cinta pada salah satu pekerja kasar yang sedang membetulkan rumah. Aku tentu tak bisa menebak dengan pasti apakah itu memang yang dinamakan jatuh cinta. Tapi setidaknya Ibu tak henti memperhatikan laki-laki itu. Sampai suatu hari, pekerja kasar itu menariknya ke sudut gelap dan mulai melucuti semua bajunya.

Keadaan rumah ini seketika kacau saat mengetahui Ibu hamil. Sialnya, pekerja kasar itu sudah pergi entah ke mana.

Sejak itulah aku tahu, upaya melenyapkanku dimulai.

***

Semula aku tak pernah tahu apa alasan mereka semua ingin melenyapkanku. Namun kemudian dari sudut mataku, lukisan Kakek yang ada di sebelah kanan, seperti menjawabnya.

Di situ, semua saudara ibuku berdiri anggun dengan pakaian terbaik mereka. Aku tak akan dapat menduga seberapa mahal pakaian dan perhiasan yang mereka kenakan. Dari situ aku kemudian tahu, para pasangan mereka pun ternyata bukan orang-orang biasa. Saudara pertama –perempuan berdagu lancip itu– nampak suatu malam berdansa dengan seorang laki-laki tampan, yang nampaknya seorang aktor terkenal. Saudara kedua—laki-laki berbadan besar itu—juga pernah kulihat turun dalam mobil sport terbarunya dengan seorang perempuan yang berdandan bagai bidadari. Saudara ketiga, pernah menunjukkan gedung pencakar langit yang baru dibangunnya untuk kekasihnya yang juga cantik. Dan saudara keempat –yang paling jarang kulihat– juga kerap kulihat berfoto bersama presiden dan beberapa pejabat negara.

Melihat itu semua, aku kemudian menyadari kalau hanya kesempurnaan yang kulihat di sana. Dan Ibu dengan kondisi seperti itu, memang tak seharusnya ada di sana.

Termasuk diriku.

***

Aku menyadari kalau diriku ini memang tak berhak ada di sini. Aku tentu cukup tahu diri. Aku pun tak keberatan untuk pergi dari sini. Tapi apa yang bisa kulakukan? Selama ini yang bisa kulakukan hanyalah berbaring, dan menggerakkan kedua bolah mataku, ke kiri atau ke kanan. Bahkan saat aku ingin bersuara –sekeras apa pun aku mencobanya– yang terdengar hanyalah lenguhan lemah dari mulutku. Lalu, selebihnya, aku hanya merasa begitu lelah, dan kembali tergeletak dalam tidur panjangku.

Dari suara-suara di jendela yang ada di sebelah kiriku, masih tak henti  mengantarkan kisah-kisah baru. Kubayangkan di luar sana, dunia begitu cerah, seperti matahari pagi yang setiap hari merayapi tubuhku pelan-pelan. Kubayangkan juga anak-anak yang dulu bermain dengan gembira, kini mulai bergandengan tangan dengan kekasih-kekasih mereka. Dan aku benar-benar ingin ada di sana.

***

Setidaknya sepanjang hidupku sampai hari ini, aku merasakan perubahan drastis dalam hidupku. Pembantuku yang selalu bermuka masam, akhirnya menyerah. Ia tak mau lagi merawatku, berapa pun Kakek membayarnya. Dan ternyata, penggantinya adalah  seorang gadis muda yang nampak lugu.

Tentu awalnya ia melayaniku dengan terus menunduk. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai berani menatapku. Dan aku langsung terpesona padanya.

Ia mungkin bukan gadis yang jelita. Tapi sepanjang hidupku, tak pernah ada gadis yang menatapku, seperti yang ia lakukan. Terlebih lagi, ia akhirnya mulai berani mengajakku bicara.

“Ah, sudah berapa tahun kau terkurung di kamar ini?” suatu kali ia bertanya sambil menyuapiku makan.

Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, selain dengan tatapanku.

“Kau sama sekali tak pernah melihat di luar sana?” tanyanya di lain waktu, sambil membersihkan kotoranku.

Dan aku tentu tetap tak bisa menjawabnya, selain menatapnya.

Aku suka suaranya yang lembut. Aku sering membayangkan begitulah suara Ibu. Selama ini yang kubayangkan, suara Ibu hanyalah rintihan kesakitannya saat mulai mengeluarkan diriku dari tubuhnya. Sungguh, sekian lama, aku selalu ingin menghapus suara kesakitan itu. Dan suara gadis ini seperti mampu melakukannya.

“Sayang tubuhku kecil, jadi aku tak bisa membawamu ke jendela. Tapi setidaknya aku bisa menceritakan padamu apa yang ada di luar sana. Ya, di luar pagar besar rumah kakekmu ini, ada pemukiman kumuh di mana aku tinggal. Kau mungkin tak akan bisa membayangkannya. Tapi semua rumah hanya terbuat dari kayu, dan sebagian besar hanya menunggu untuk roboh.“

Gadis itu seperti menerawang ke arah jendela. “Ah seharusnya aku tak berkata- apa-apa padamu. Kau tahu, aku sebenarnya dilarang bercakap-cakap denganmu.”

Lalu ia buru-buru pergi dari hadapanku.

***

Sejak hari itu gadis itu tak pernah lagi datang. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi padanya. Apakah ia tak ingin lagi bertemu denganku? Atau ia telah dipecat karena berbincang denganku? Tapi bila benar begitu, kenapa tak ada pengganti lainnya?

Padahal ini adalah hari ketiga tanpa siapa pun yang datang ke kamarku. Aku telah begitu lapar dan haus, dan kotoran yang menumpuk sudah bercampur dengan air kencingku menguarkan bau yang sangat menusuk.

Aku ingat sehari lalu ada keributan panjang di luar jendela. Ratusan orang seperti berteriak-teriak tanpa henti, dan aku kemudian melihat cahaya terang bagai api yang menari-nari. Tapi hanya beberapa saat saja aku melihatnya. Aku terlalu lelah, dan memutuskan tidur begtu saja.

Tapi keesokan harinya aku bangun dalam keheningan paling sempurna. Tak ada suara apa pun di sekelilingku, bahkan cericitan burung-burung yang setiap pagi kutemui.

Aku mencoba berteriak. Tapi itu tentu upaya percuma. Jadi satu-satunya cara yang terpikirkan adalah: keluar dari kamar ini. Walau aku tahu itu sebenarnya juga upaya percuma, tapi berdiam diri di sini saja akan membuatku mati tanpa upaya apa-apa. Jadi dengan sekuat tenaga, aku kemudian mencoba mendorong tubuhku. Selama ini aku tak pernah mencoba upaya itu.

Dan itu rupanya berhasil. Tubuhku berguling dari kasur. Jatuh di lantai. Tapi sialnya, gara-gara itulah, aku tak bisa bergerak-gerak lagi. Aku bahkan tak bisa melihat ke arah jendela. Kini wajahku langsung berhadap-hadapan dengan lukisan Kakek yang selama ini hanya bisa kulihat di sudut kanan mataku.

Baru kusadari seperti apa wajah Kakek saat muda. Ia laki-laki dengan wajah keras dan sinar mata tajam yang menusuk. Aku bahkan sampai dibuat menggigil hanya karena melihatnya dalam lukisan. 

Tapi tak ada yang bisa kulakukan selain memandang lukisan itu, sekuat apapun aku menghindarinya. Entahlah, mungkin ini perasaanku saja. Tapi saat hari mulai gelap, semua kemewahan di lukisan itu seperti mengabur dan lenyap perlahan-lahan, meninggalkan bercak-bercak hitam, yang entah apa. Lalu aku seperti melihat Kakek yang tengah melangkah di sebuah tempat yang yang begitu gelap. Ratusan ular berbisa dan segala yang tak kasat mata nampak mengiringinya. Sampai di depan sebuah nisan, ia bersujud dengan suara terbata-bata, “Aku berjanji kalau Kau mengabulkan semua permohonanku… aku rela menyerahkan tujuh keturunanku kelak…”

Lalu aku dengar suara tawa panjang mengerikan yang seperti tak pernah selesai. Awalnya kuyakini tawa itu berasal dari lukisan di hadapanku ini, tapi kemudian aku menyadari kalau tawa itu berasal dari seluruh sudut rumah.(*)


Penulis:

Yudhi Herwibowo menulis cerpen dan novel. Buku terbarunya novel Cara Terbaik Menulis Kitab Suci (Banana Publishing), dan kumcer Umbira dan Keajaiban-keajaiban di Kotak Ajaibnya (bukuKatta)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *