Esai
Paradoks Kesakralan dan Radikalisme

Paradoks Kesakralan dan Radikalisme

BAGI penyair, religiusitas menjadi obsesi yang menyita perhatian. Begitu pula dengan kepenyairan Ahda Imran. Ia cukup banyak mengangkat suasana paradoks kesakralan dan radikalisme yang dilakukan orang-orang suci. Ia mengambil obsesi terhadap kehidupan mutakhir, kekuasaan yang dijalankan dengan penyimpangan-penyimpangan religiusitas dan fatwa. Ucapan, kata-kata, dan bahasa disampaikan seorang tokoh agama demi kepentingan ideologi dan kekuasaan. Ia mencipta puisi untuk menyampaikan hal-hal yang kontradiktif.

Kumpulan puisi Lidah Orang Suci (Teroka Press, 2021) ini menerima penghargaan sastra Badan Bahasa 2022. Dengan bahasa yang bernas, kadang memanfaatkan bahasa simbol, Ahda Imran mengelupas berlapis-lapis dusta, kebusukan, kejahatan yang dilakukan tokoh-tokoh yang disakralkan.  Tentu perlu penafsiran terhadap bahasa simbol yang menyimpan berbagai paradoks dalam puisi-puisinya itu.  

Pilihan terhadap kata yang memiliki makna paradoksal telah menjadi bagian utama buku kumpulan puisi ini. Pertaruhan yang dilakukan Ahda Imran fokus pada pilihan kata yang mencipta olok-olok, kritik, satire terhadap perilaku orang-orang suci dan penguasa. Ia mencipta puisi-puisi dengan muatan kesadaran religiusitas, hal-hal yang transendental, untuk menyingkap kedok-kedok kekuasaan yang menyelubunginya. Ia menyingkap tabir gelap perilaku orang-orang suci yang menyimpang, bahkan bermuatan ideologi radikal. Ia mencipta puisi untuk membongkar dusta, kedok, arogansi, bahkan pemujaan di balik ucapan-ucapan verbal.  Lidah menjadi simbol ucapan-ucapan verbal yang berisi kebohongan, agitasi, dehumanisasi, dan konfrontasi terhadap pihak-pihak lain yang tidak selaras dengan pandangan ideologi mereka. Ia juga menyingkap simbol-simbol pakaian orang suci seperti “jubah” yang tidak mencerminkan kesucian perilaku, tindakan, bahkan menjadi selubung kedok untuk melakukan pelanggaran toleransi beragama.

***     

KESAKRALAN dan radikalisme  menjadi bagian paling dominan dalam kumpulan puisi ini. Orang suci yang melakukan dusta menjadi obsesi yang terus berulang dalam buku kumpulan puisi ini  Dalam puisi “Silsilah Kesombongan”, tampak benar bahwa Ahda Imran menciptakan paradoks mengenai orang-orang suci yang diberhalakan, dan selubung keculasan yang menyertai perilakunya: “Sebab kutahu benar penciptaanmu/ kulambungkan dirimu ke rasa paling kudus/Makhluk pesolek yang memuja imannya/ di permukaan air, yang menyangkal/ manusia, yang bertuhan pada jubah/dan pucuk lidah//. Iman, kesucian,  busana (“jubah”), dan fatwa telah diperalat manusia untuk menemukan kesombongan dan menentukan stratifikasi sosial berdasarkan trah.

Di saat lain Ahda Imran menulis larik-larik puisi tentang  orang-orang suci bergelimang dosa kekuasaan, bahkan terlibat dalam sejarah berdarah. Pembantaian manusia telah menjadi bagian konfrontasi yang melibatkan orang-orang suci, atas nama pahala, kitab suci, surga dan bidadari. Dalam puisi “Di Bawah Pohon Ingatan”,  Ahda Imran melontarkan peristiwa paradoks: “Di sebatang pohon bernama ingatan/ Di bawahnya aku berkubur. Jantungku/ sedingin batang pisang. Menjelma mata air/ Memancur ke tengah kolam. Tempat orang suci/ menyuci jubah dari percik darah//. Ahda Imran ingin mengatakan bahwa kenangan akan sejarah tak mungkin dilupakan, akan hadir ke tengah kita sebagai narasi yang menyingkap kebiadaban para pelakunya. Untuk menjaga kesakralan, orang-orang suci itu membersihkan nama mereka dari peristiwa-peristiwa berdarah yang pernah dilakukan.

Radikalisme atas nama agama dan peran orang suci yang dikritik Ahda Imran tampak benar dalam puisi “Lidah Orang Suci” yang dijadikan judul buku ini. Dengan bahasa bernas dan terpilih, ia  melancarkan kritik terhadap perilaku orang suci yang berfatwa untuk melakukan konfrontasi berdarah terhadap pihak-pihak tertentu, dengan kekerasan, bahkan pembunuhan. Larik-larik berikut ini melukiskan kritik penyair akan peran orang-orang suci terhadap radikalisme atas nama agama dan kebiadaban hukum rimba: “Lidah orang suci itu menyeru darah/Di jubahnya orang sekaum berseru:/Bunuh/Bawa kayu bakar. Ikat dia di tiang/Biarkan api menyala. Hukum lama/biar berlaku// Jubah orang suci/ penuh asap mayat dan abu/ Dipandangnya langit biru// 

Ancaman radikalisme orang suci diekspresikan Ahda Imran dalam puisi “Cara Mengasah Pisau”. Orang-orang suci melakukan kekerasan atas nama agama, dengan laskar dan senjata. Dalam puisi berikut ini tampak kritik tajam penyair akan perilaku orang-orang suci dengan laskar yang mengiringinya: “Bentangan angin. Kain jubah/ yang berkibar barisan gagah para laskar/ Selat yang dingin. Kapal seberangkan/ gelap ke pusat pulau, mengangkut/ para pengasah pisau//. Kekerasan senjata menjadi ancaman barisan laskar, dalam perilaku yang didorong kegelapan hati nurani.  

Orang-orang suci, dengan fatwa yang disampaikan, dalam pandangan penyair, sesungguhnya hanyalah permainan politik untuk memperoleh kekuasaan. Tak ada perseteruan dan pertarungan di antara politisi, kecuali rakyat yang dimobilisasi dan dikorbankan seperti dalam puisi “Percakapan di Kantor Politik”: “Dan kuharap kau tahu/ Ini permainan belaka, kelana/para pesolek dari bandar ke bandar/Tak ada seteru atau pertarungan apa pun/melainkan cara menebar umpan/agar ikan-ikan berkerumun// Lalu kami memasang jaring/Di pulau yang tenang – dekat gedung/ parlemen atau istana presiden – kami/ saling berbagi// Penyair menggunakan simbol “ikan-ikan” untuk menyatakan umat yang mengikuti mobilisasi massa yang dilakukan orang-orang suci untuk memenuhi kerakusan kekuasaan, di parlemen dan istana negara.    

***

APAKAH daya tarik utama buku kumpulan puisi ini?  Ahda Imran telah mengemas puisi-puisi pendek yang secara tajam meledek pembagian kekuasaan, keculasan orang-orang  suci, dan umat yang dipermainkan karisma mereka. Dalam kumpulan puisi ini, penyair melancarkan satire terhadap fatwa orang-orang suci sebagai (1) kesombongan yang diberhalakan, (2) perilaku membersihkan diri dari peristiwa sejarah yang berdarah, (3) mobilitasi berbuat radikal atas nama agama, (4) cara membentuk laskar untuk melakukan kekerasan, dan (5) upaya memanfaatkan umat untuk memperoleh kekuasaan.  

Dengan kumpulan puisi ini, Ahda Imran berusaha mengembalikan kesadaran dan nalar dalam menghadapi fatwa orang-orang suci yang memperlakukan umatnya sebagai komoditas politik, demi kekuasaan. Ia mencipta satire atas penyimpangan ideologi orang-orang suci dengan fatwa dan atribut keagamaan yang disandang. Ia memberi kesadaran pembaca akan kekuasaan komoditi umat melalui kesakralan religi.   

Penyair memiliki kecerdasan  untuk memilih diksi yang bernas, kalimat-kalimat yang pendek, dan bahasa simbol yang mudah dimaknai. Penyair sadar benar akan pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan pada pembaca agar mudah ditafsirkan. Ia telah membuka kesadaran akan kebusukan-kebusukan radikalisme dibalik kedok kesakralan orang-orang suci.  []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *