Resensi Buku
Semesta Kuda Mardi Luhung

Semesta Kuda Mardi Luhung

Judul: Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya
Penulis: Mardi Luhung
Penerbit: Basabasi
Tebal: 88 halaman; 12x19cm.
Terbit: November 2022

Di dunia yang pengap dengan kisah manusia, semesta kuda adalah oase yang segar. Puisi-puisi Mardi Luhung menampilkan sebuah semesta di mana kuda menjadi titik pusatnya. Menawarkan pembacaan ulang kehidupan dengan cara pandang yang berbeda.

Pada bulan November 2022, penyair kelahiran Gresik peraih Khatulistiwa Literary Award ini menerbitkan buku kumpulan puisi bertajuk “Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya”. Sebuah buku kumpulan puisi yang berisi 40 puisi. Dibagi menjadi 4 bab yakni “Bulan Tiga”, “Tuah Tanam”, “Pangkal”, dan “Lampirannya”. Masing-masing bab dihuni oleh 10 puisi, dan kesemua puisinya memiliki tipografi yang sama. Rata kanan-kiri.

Pada pengantar buku ini, penyair meriwayatkan masa kecilnya ketika sering mengunjungi kakeknya dan menemaninya menjadi kusir dokar. Pada masa itulah penyair mulai bertanya-tanya tentang besi yang dipaku di kaki kuda. Apakah si kuda tidak merasa kesakitan dengan benda tersebut? Ketika SMP ia baru mengetahui bahwa besi itu bernama ladam, atau sepatu kuda. Sedangkan di kaki kuda sebenarnya terdapat lapisan kuku yang tebal sehingga kuda tidak merasa kesakitan dengan ladam yang dipasang di sana. Penyair juga menyebutkan bahwa “waktu kecil, ladam, dan takdir” itulah yang berkelindan di buku puisi ini.

“Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya” adalah semesta yang memuat berbagai macam kuda. Mulai dari kuda yang masuk akal, sampai pada yang magis. Mulai yang memang sebagai tunggangan, sampai pada yang dipersonifikasikan.

Pada puisi pertama dengan judul “Bulan Tiga” misalnya, tiga kuda digambarkan memilih jalan masing-masing di tiga jalan yang berbeda. Yakni jalan ke kiri, ke kanan, dan ke tengah. Jalan yang ditempuh oleh masing-masing kuda, menjadi semacam isyarat pilihan ideologi maupun keyakinan dari “kuda-kuda” itu.

Penyair mengangkat kuda mitologis dalam puisi berjudul “Memang” (hlm. 46) yang mengisahkan seekor makhluk bertubuh ayam, berkepala kuda (hippalectryon). Pada puisi ini, aku lirik mempertentangkan dualisme dalam diri yang satu, dengan simbol hippalectryon tersebut.

Pada puisi “Samar” (hlm. 59) aku lirik terkesan mengenang seseorang yang samar-samar dalam hidupnya kini. “Yang pasti, jejak ladam kudamu yang tertinggal itu menyebar ke setiap tempat dan sudut. Ke tembok, ke pohon, ke pilar, ke pagar, ke sumur, ke bukit, juga ke kunci-kunci pesan, dan teka-teki yang berlayangan di udara.” Jejak ladam yang terasa mengacu pada ladam kuda kakek dari penyair. Seperti yang dipaparkan dalam pengantar buku ini.

Puisi “Tembok” (hlm. 60) menarik karena menggambarkan seseorang dan kudanya yang memasuki sebuah lukisan penuh tembok yang bisa jadi merupakan tamsilan dari kehidupan kota dengan pembangunan gedung-gedung di mana-mana sehingga tak ada tempat tersisa untuk kehidupan organik: hewan dan ekosistemnya, termasuk kuda. Uniknya, di puisi selanjutnya “Ungu”, penyair menyajikan puisi yang berlawanan sudut pandang. Jika dalam puisi “Tembok” aku lirik merupakan tokoh yang masuk ke dalam sebuah lukisan, pada puisi “Ungu” aku lirik adalah seorang bapak yang memergoki tokoh kuda dan penunggangnya yang keluar dari sebuah gambar karya anaknya yang dipajang di pintu kamar.

Pada puisi berjudul “Gandum” terlihat bahwa puisi ini mengacu pada kisah Nabi Muhammad yang memberi makan seorang buta. Dalam puisi yang sama juga menyinggung soal seorang pembuat kapal yang terlihat mengacu pada Nabi Nuh.

Mardi Luhung, kadang kala memakai diksi yang cukup jarang dipakai oleh penyair tapi terasa menyatu. Diksi “ngungun” misalnya, dalam puisi berjudul “Kini”, juga diksi “pulung” dalam puisi ‘”Pangkal”. Ia juga mampu menghadirkan kuda beserta alam dan pikiran kuda dalam puisi-puisinya.

Meski begitu, bab terakhir yakni “Lampirannya” terasa seperti anomali. Karena dari 10 puisi dalam bab terakhir ini, tak ada satu pun puisi yang menyinggung mengenai kuda. Berbeda dengan 30 puisi sebelumnya yang selalu menyebut dan mengacu pada kuda. Saya kira itulah mengapa buku ini diberi judul “Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya”. []


Penulis:

Ahmad Farid Yahya, penulis asal Lamongan. Bergiat di komunitas Sastra dan Teater Lamongan (KOSTELA). Saat ini mengelola toko buku Sastrakelir. Instagram: @ahmadfaridyahya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *