Esai
Dono: Tertawa dan Cerita

Dono: Tertawa dan Cerita

Pada akhir 1988, ia tak sekadar dipuja sebagai pelawak. Tahun berganti tapi ia tetap melawak. Ia belum ingin pensiun dari dunia penuh tawa. Ia justru menambahi dengan peran sebagai pencerita.

Kalender baru bertahun 1989 belum dipasang di dinding atau ditaruh di atas meja, novel itu berada di tangan dan pangkuan pembaca. Novel berjudul Cemara-Cemara Kampus diterbitkan oleh Aya Media Pustaka. Novel berukuran kecil dengan 356 halaman. Si penulis cerita bernama Dono.

Ia telanjur dianggap sebagai sumber atau pemicu tawa. Pada saat menulis novel, ia pun membagi tawa kepada pembaca. Ia tak mau manusia selalu menangis dan meratap. Tawa itu perlu meski hidup memang menderita. Tawa itu hak bagi orang-orang menanggungkan azab atau bergelimang dosa. Tawa kadang mencipta “surga-surga” bagi orang-orang ingin mengesahkan misi bahagia selama di dunia.

Orang-orang diajak tertawa di halaman-halaman novel, tak selalu tertawa saat menonton film, mendengarkan lagu, atau menatap Dono di panggung. Di hadapan pembaca, novel itu mengenalkan Dono sebagai pencerita dengan kata-kata dituliskan.

Hari-hari berlalu, novel mendapat penghormatan di majalah Tempo, 10 Juni 1989. Novel diresensi oleh pengarang ampuh: Putu Wijaya. Para pembaca cerita pendek dan novel garapan Putu Wijaya masih membawa kesan komedi atau kelucuan. Di sastra Indonesia, Putu Wijaya masuk daftar sebagai pengarang lucu tapi berhak diakui suka pamer absurditas.

 Ia tampil sebagai pembaca novel gubahan Dono. Resensi pendek dicetak dalam satu halaman, dilengkapi foto Dono dan sampul novel. Judul resensi sederhana saja, sulit dianggap lucu: “Bila Dono Bercinta”.

Sejak mula, Putu menghadapi novel persembahan Dono dengan ingatan pernah mengetahui novel gubahan Ashadi Siregar berjudul Cintaku di Kampus Biru. Persamaan dua novel bercerita dengan latar kampus, tempat para mahasiswa belajar dan menjalin asmara.

Putu membaca cermat, membuat catatan-catatan. Ia ikhlas memberi pujian. Ia gamblang memberi kritik. Dono pantas mendapat kritik saat tampil sebagai pengarang. Ia datang “belakangan” setelah ribuan orang dimanjakan novel-novel gubahan Ashadi Siregar, Marga T, Mira W, dan lain-lain. Dono telanjur tenar sebagai pelawak, tak ada jaminan ia tetap dipuja sebagai pencerita dalam novel.

Putu mengungkapkan: “Dono memang fasih bercerita dan romantis. Bahasanya mengalir, banyak ungkapan spontan yang segar karena ugal-galannya. Persis sebagaimana kalau ia bicara di panggung.” Dono memang hebat. Para pembaca menghendaki “hiburan” atau “amanat ringan” tak bermasalah untuk khatam Cemara-Cemara Kampus.

Di sastra Indonesia, Putu sudah mendapat tempat dan penghormatan. Ia mengerti sastra, berpengaruh saat membaca novel gubahan Dono. Ia meresensi dengan enteng tapi tetap mengikutkan pengalaman sebagai novelis dan pengamat sastra.

Dono dinilai “amat memanjakan tokoh utama”. Sikap itu berakibat tokoh buatan Dono kurang manusiawi. Tokoh dalam urusan asmara, keluarga, kuliah, dan organisasi itu “terlalu” untuk memberi jawab atas hidup. Dono tak lucu lagi saat menjadikan tokoh utama bernama Kodi tampil “berlebihan”.

Perkara menggelitik bagi Putu: halaman akhir atau penutup. Di novel, Dono memberi penutup: “Udah, ah! Segini aja gue capek nih!” Pengarang mengaku capek. Cerita pun berakhir. Dono tak memilih diksi “tamat”. Ia malah bergurau agar sisa-sisa tawa tetap dimiliki pembaca. Tanggapan Putu: “Kalimat terakhir ini benar-benar kejutan, kurang ajar, dan bagus.”

Kini, kita menganggap resensi di majalah Tempo sebagai dokumentasi penting atas kehadiran Dono sebagai novelis di Indonesia. Resensi dari pengarang ampuh turut meninggikan derajat Dono. Resensi itu bukti bahwa Dono mendapat perhatian meski menderetkan sekian kritik. Konon, buku-buku berhasil diresensi di Tempo sering buku-buku “pilihan” atau “tak sembarangan”. Orang-orang terbiasa membaca berita-berita mengenai Dono mendapat kesempurnaan dengan ikut mengoleksi kliping resensi di Tempo.

Kita membuka halaman-halaman novel, mengutip cara Dono ingin membuat pembaca tertawa. Kita memilih kutipan: “Gila! gedorannya berirama dangdut lagi. Kodi enggan bangun sebenarnya, tetapi kalau tidak cepat dibuka gedoran itu pasti semakin kencang. Ini pasti Anton, kawannya yang selalu berbuat onar setiap kali datang.”

Kefasihan bercerita bisa kita buktikan dengan sejenis renungan agak puitis ditulis Dono: “Senja yang manis berwarna kekuning-kuningan, tapi tak semanis hati Kodi. Toh, ia berusaha memantapkan hatinya. Tak ragu-ragu lagi, setelah seharian berpikir, kemungkinan-kemungkinan kalau ia jadi ayah yang tak punya apa-apa. Ia akan terus kuliah dan bekerja!” Ia berani memanggul nasib. Ia mengerti konsekuensi asmara. Kodi sedang berada dalam lakon hidup penuh kejutan setelah ia mencoba ikhlas dan berani. Kodi dijadikan Dono sebagai tokoh mengajarkan pasang-surut hidup. Begitu. []


Penulis:

Bandung Mawardi. Kuncen di Bilik Literasi. Penulis buku Silih Berganti (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Titik Membara (2021), dan Persembahan (2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *