Cerpen
Penunggu Pohon Randu

Penunggu Pohon Randu

Mereka mengambil jalan pintas agar lebih cepat tiba di lapangan afdeling. Baru saja beberapa langkah menapaki jalan setapak itu, Pingi mulai berjoget dengan memutar-mutar senter di atas kepalanya seraya menirukan penggalan lagu dangdut yang terdengar semakin jelas dari pengeras suara. Cahaya senter itu berputar-putar dan berpendar di antara daun-daun dadap, rimbun pohon-pohon kopi, dan sesekali menyorot ke langit malam.

“Jangan senang-senang dulu!” ujar Waris. “Nanti kalau kita ndak bisa masuk, apa yang mesti kita lakukan?”

Jogetan Pingi semakin menjadi-jadi. Bahkan suaranya dimerdu-merdukan agar cengkoknya bisa mendekati Rhoma Irama, pemilik lagu aslinya. “Suaraku sudah mirip Oma Irama, kan?” ujarnya.

Waris tidak menjawab, meski di dalam hati mengakui, suara Pingi memang mirip dengan si Raja Dangdut itu.

“Tenang saja, yang begini-begini itu gampang. Kapan itu aku bisa masuk. Bisa nonton gratis. Mau beli karcis? Memangnya mau bayar pakai uang nenekmu! Hahaha!”

“Katanya, Lik Matsani mau belikan kamu karcis?” tanggap Waris.

“Halah! Lebih baik aku mbobol gedek saja, ketimbang dibelikan karcis sama orang itu. Sialan Lik Matsani itu!”

Pingi terus bersungut-sungut, seolah tidak ada kebaikan sedikit pun dalam diri Matsani. Sepengetahuan Waris, Matsani orangnya lumayan juga. Ia laki-laki yang cukup dikenal di kampung tempat mereka tinggal. Siapa pun yang membangun rumah, biasanya akan membutuhkan tenaga dan pikiran Matsani. Menurut orang-orang tua di kampung itu, hasil pekerjaan Matsani selalu memuaskan—ia adalah seorang tukang bangunan yang cukup laris, bukan sekadar di kampung sendiri, Matsani juga sering bepergian ke kampung-kampung yang jauh berkat keahliannya itu.

“Oh, aku tahu sekarang,” ujar Waris kemudian. “Nanti kalau kita ndak bisa masuk, kita tunggu saja di sekitar pintu masuk. Siapa tahu ketemu Lik Matsani.”

“Terus, kamu mau minta dibelikan karcis, begitu?” tanggap Pingi. “Ya sudah, sana! Langsung pergi ke sana saja. Aku bisa melakukannya sendiri.”

Waris tergelak pendek melihat reaksi Pingi. Ia tidak serius dengan apa yang baru saja diujarkannya. Waris hanya iseng menggoda Pingi yang selalu marah setiap kali ada orang yang menyinggung nama Matsani di dekatnya.

 “Memangnya ada apa? Kamu kok benci sekali sama Lik Matsani?” tambah Waris.

 “Aku pernah lihat Lik Matsani merangkul emakku di dapur,” tanggap Pingi. “Ngawur saja!  Aku benci sama orang yang pegang-pegang emakku sembarangan.”

 “Hah, benar begitu?” Waris tampak penasaran. “Terus, kamu lempar dia pakai gunting, kan?”

Pingi mendengus dan mengabaikan rasa penasaran teman sekolahnya. Ia memang pernah melempar Matsani dengan sebilah gunting cukur. Waris pernah mendengar cerita itu dari sejumlah tetangga. Menurut mereka, kejadian itu akibat dari kesembronoan Pingi saja sebenarnya. Suatu siang yang gerimis, Matsani bertandang ke rumah Pingi. Ia berniat untuk mengambil sebuah tang yang pernah dipinjam Rohana—orangtua Pingi—seminggu sebelumnya. Ketika Matsani datang, Rohana sedang duduk di sebuah kursi kayu panjang yang teronggok di dapur, mengeluhkan rasa sakit di pundaknya seraya memijatnya dengan tangannya sendiri. Rohana sempat bertanya perihal seorang tukang pijat yang barangkali bisa menyembuhkan penyakit kambuhannya itu. Matsani menyebut nama seorang perempuan dari kampung tetangga dan bersedia mengantarkan teman kecilnya itu jika diperlukan. Namun, sebelum itu terjadi, Matsani iseng menawarkan bantuan yang lainnya—dan Rohana menerimanya dengan pikirannya yang lurus.

Maka mulailah kedua tangan Matsani yang hangat dan kuat, menyentuh pundak Rohana. Ia tahu cara menjamah pundak sakit seorang perempuan. Sementara, di luar gerimis semakin rapat, dan petir mulai menyambar-nyambar. Pada saat itulah, seorang anak usia 12-an dengan seragam sekolah yang nyaris kuyup oleh hujan, merangsek masuk. Pingi yang lapar, nanar melihat pemandangan yang tidak biasa itu. Bahkan ia tidak menggubris Matsani yang berusaha menyapanya dengan manis. Menghindar ke ruang tamu, dilihatnya sebilah gunting tergeletak di atas meja. Ia tidak bisa menerima punggung ibunya disentuh-sentuh begitu saja oleh Matsani. Disambarnya gunting itu sebelum kemudian bergegas kembali ke dapur. Lalu, dari ambang pintu yang mengarah ke dapur, Pingi melemparkan gunting itu dengan amarah yang meluap-luap. Sayangnya, mata gunting itu justru menyasar lengan kiri Rohana. Peristiwa itu membuat Pingi harus kabur ke rumah kakeknya dan mengadu bahwa Matsani telah berbuat kurang ajar terhadap ibunya. Sang Kakek sempat mempercayainya, meski kemudian merasa lebih masuk akal menerima penjelasan Rohana, bahwa Matsani hanya membantu mengurangi rasa sakit di pundaknya.

 “Ndak mungkin emakmu berbuat seperti itu,” ujar sang Kakek ketika itu. “Emakmu perempuan yang setia, tetap ndak menikah meskipun sudah bertahun-tahun ditinggal pergi bapakmu. Lagi pula, Matsani itu bukan orang lain. Dia sudah seperti keluarga sendiri.”

Di hadapan orang-orang dewasa itu, Pingi tidak bisa membantah. Namun, ia tetap tidak berubah: membenci siapa pun yang mencoba mendekati Rohana.

 “Aku ndak mau pergi ke dekat pintu masuk, karena takut ketahuan emakku. Emakku ndak suka kalau aku ikut nonton Yurike,” ujar Pingi tiba-tiba.

Waris menepuk pundak Pingi, seolah tidak percaya. “Memangnya malam ini emakmu nonton?”

“Siapa yang tahu?” jawab Pingi. “Malam ini yang main Beri Prima, kan? Emakku suka karena Beri Prima pintar main silat. Tapi sepertinya ndak suka sama Yurike.”

“Tapi emakmu nonton, kan? Malam ini yang main Beri Prima dan Yurike Prastika.”

“Mungkin saja. Aku juga ndak tahu.”

Pingi menghentikan langkahnya. Ia mengarahkan senter ke arah pohon dadap yang tumbuh berjarak sepanjang jalan setapak di tengah kebun kopi itu. Terdengar bunyi gemerisik seperti sepasang kaki yang menggilas ranting kayu atau menapaki dedaunan kering. Mungkin saja seekor bengkarung atau malah seekor luwak yang kebetulan melintas. Namun, bukan seperti yang mereka duga. Cahaya senter hanya menyorot gerumbul semak jambean di bawah pohon-pohon dadap atau serakan dedaunan kering di bawah barisan pohon kopi.

“Kamu sendiri bagaimana? Emak sama bapakmu nonton, kan?”

Waris berdeham. “Ndak mungkin. Bapakku lagi jagong bayi di rumah paklikku. Paling-paling dia main ceki sampai pagi. Kalau emakku, paling suka nonton Oma Irama. Apalagi kalau mainnya sama Yeti Oktapia.”

“Berarti emakmu kurang suka sama Yurike?”

“Emakku juga kurang suka sama Beri Prima. Orang itu ndak bisa nyanyi, katanya.”

Pingi langsung tergelak. “Bukan cuma ndak bisa nyanyi, dia juga ndak bisa joget. Hahaha! Ada-ada saja emakmu itu.”

Waris pun turut tergelak. Sepanjang jalan menuju lapangan, kedua teman karib itu saling bercerita perihal larangan para orangtua di kampung yang menurut mereka tidak adil. Pada akhir pekan bulan-bulan tertentu, di lapangan afdeling itu diadakan pemutaran film layar tancap. Kalau sudah begitu, anak-anak kampung akan merengek, meminta kepada orangtua mereka agar diperbolehkan menonton. Masalahnya pertunjukan layar tancap itu seringnya tidak gratis. Namun, adakalanya mereka bisa menonton gratisan. Pertunjukan layar tancap yang seperti itu biasanya diselingi dengan menjual jamu atau rokok, tidak jarang pula dibarengi dengan penyuluhan Keluarga Berencana.

“Kenapa orangtua kita itu selalu melarang, ya?” ujar Pingi. “Ndak boleh nonton bintang pilem ini, bintang pilem itu. Padahal sama-sama pilem, kan?”

“Emakku bilang karena aku masih kecil,” sahut Waris.

“Memangnya kalau masih kecil ndak boleh nonton pilem?”

Waris tidak menjawab. Ia memasang telinganya baik-baik. Lagu dangdut itu—yang selalu diperdengarkan tidak peduli film apa yang akan diputar—sudah tidak terdengar lagi, berganti sebuah pengumuman bahwa film sebentar lagi akan dimulai. Tepat pada saat itu, mereka sudah tiba di ujung timur lapangan.

“Sebentar lagi mulai,” ujar Pingi. “Ikut aku ke sebelah sini!”

Waris mengekor Pingi mencari tempat yang lebih gelap. Areal pemutaran layar tancap itu dikelilingi oleh pagar gedek yang membentuk empat persegi panjang, dan menempati lapangan bagian timur yang berdekatan dengan kebun kopi. Beberapa depa sebelum kebun kopi, sebatang pohon randu alas tugur dari waktu ke waktu; malam itu bebunganya tampak merah-remang di bawah cahaya bulan susut. Sesekali bebunga itu bergoyang oleh embusan angin kering dan dingin yang membuat kedua teman karib itu merapatkan sarungnya ke bahu.

“Kamu jaga di sini saja, Ris. Kalau ada Hansip lewat, cepat beritahu aku. Nanti kita pura-pura cari jangkrik,” ujar Pingi seraya merapat ke pagar gedek.

Pingi menyalakan senter dengan hati-hati dan mulai memeriksa. Senjata pamungkas pun dikeluarkan dari saku celana kolornya—sebuah tang yang tak pernah benar-benar diambil oleh Matsani, selaku pemiliknya. Dengan alat itu, Pingi membongkar simpul tali-tali kawat. Tali-tali kawat itu tidak cukup kencang mengikat pagar gedek, sehingga Pingi berhasil melucutinya dengan mudah, semudah melepas tali sepatunya sendiri.

“Gampang sekali,” ujar Pingi seraya melangkah mendekati Waris. “Sudah selesai. Tinggal ditarik sedikit saja gedeknya, baru kita bisa masuk. Tapi sebentar dulu, aku kebelet kencing ini. Tunggu di sini dulu ya, Ris!”

“Hah, cepat sekali!” tanggap Waris seolah tidak percaya dengan kemampuan Pingi.

Pingi tampak tidak peduli. Ia langsung menggeloyor ke arah kebun kopi, mencari tempat yang aman untuk menuntaskan hajatnya. Berhenti tidak jauh dari pohon randu alas, Pingi memelorotkan celana kolornya. Air kencingnya lancar mengguyur semak teki yang telah basah oleh embun malam. Sesekali ia bergidik. Sesekali tengkuknya merinding ketika penciumannya yang tajam mulai mengendus aroma wangi. Namun, ia segera merasa lebih tenang ketika aroma itu mengingatkannya pada wangi handbody—wangi yang sangat dikenalnya dan biasa melekat pada semua perempuan dewasa di kampungnya. Ia melayangkan pandangan ke sekitar, mencari-cari sumber aroma. Ketika pandangannya terantuk pada batang pohon randu tua, terdengar suara-suara seperti orang yang sedang bercakap, tertawa kecil, bahkan sesekali merintih. Suara-suara itu terdengar samar, tapi jelas-jelas terasa dekat, timbul-tenggelam ditimpa suara-suara lain dari pengeras suara. Antara gentar dan penasaran, Pingi mengendap-endap mendekati pohon randu. Semakin dekat, suara-suara itu semakin jelas. Lalu matanya menangkap sesosok bayangan yang bergerak-gerak, melekat pada batang pohon randu.  Pingi semakin gentar, tapi tidak bisa menghindar. Kepalang basah, disorotkannya senter. Sosok itu pun tersentak, melepaskan kedua tangannya yang seolah membelit batang pohon randu. Jantung Pingi nyaris berhenti berdetak ketika mengetahui siapa yang tengah tersorot lampu senter.

“Lik Matsani!” ujar Pingi dengan geram. “Sampean memang asu!”

Matsani gelagapan. Dan dia tidak sendirian. Seorang perempuan yang baru saja lepas dari belitannya, berdiri salah tingkah, berusaha menutupi rasa malunya. Pingi tidak percaya bahwa perempuan itu Sumirah, ibu dari teman karibnya, Waris.

“Jangan salah sangka. Aku tadi cuma mengantarnya kencing dan dia diganggu penunggu pohon randu. Aku berusaha mengusir roh jahat itu. Tolong, ini ndak seperti yang kamu lihat,” jelas Matsani

Penjelasan Matsani itu justru mengingatkan Pingi pada peristiwa di dapur rumahnya—peristiwa yang semakin mengobarkan kebenciannya kepada laki-laki itu. Seketika Pingi ingin melontarkan makian paling busuk di depan wajah Matsani, apalagi ketika Matsani membujuknya agar tidak menceritakan apa yang baru saja terjadi itu kepada siapa pun.

 “Lihat saja, nanti kuceritakan sama orang-orang kampung. Lik Matsani memang orang tua cabul. Cabul!” ujar Pingi seraya berlalu.

Matsani cemas sekaligus salah tingkah. Dan Sumirah hanya bisa pasrah. Pingi bergegas menemui Waris yang telah menunggunya dengan tidak sabar.

“Kenapa lama sekali? Jangan-jangan kamu kesambet penunggu pohon randu. Itu, pilem-nya sudah dimulai,” ujar Waris menyambut kemunculan Pingi.

Pingi merapat ke pagar gedek. Tangannya menarik-narik bagian sambungan gedek yang sudah direnggangkan. Setelah cukup longgar untuk ukuran tubuhnya, ia meminta agar Waris masuk terlebih dahulu.

“Benar yang kamu bilang. Tadi aku ketemu penunggu pohon randu,” ujar Pingi.

Waris menahan gelak. Ia tak tahu mesti percaya atau menyangsikan ujaran teman karibnya itu. Dalam pikirannya, ia hanya ingin segera menikmati bintang film kesukaannya berlaga. Sementara, kepala Pingi masih dipenuhi kebimbangan: memilih bungkam atau menceritakan apa yang dilihatnya di bawah pohon randu itu kepada Waris. []

Ampenan, 12 Oktober 2022

Catatan
Afdeling : istilah berasal dari Bahasa Belanda (afdeeling). Dalam bidang perkebunan afdeling berarti pembagian administratif dari suatu kebun.
Yurike Prastika : seorang pemeran dan model Indonesia keturunan Tionghoa dan Filipina.
Beri Prima : mengacu pada nama Barry Prima (Hubertus Barry Knoch Prima), adalah seorang aktor laga berkebangsaan Indonesia.
Yeti Oktapia :  mengacu pada nama Yati Octavia, adalah seorang pemeran berkebangsaan Indonesia.
Kesambet (Jawa) : sakit atau mendadak pingsan karena gangguan roh jahat.


Penulis:

Tjak S. Parlan, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Sejumlah bukunya telah terbit, antara lain Kota yang Berumur Panjang (Basabasi, 2017—Kumpulan Cerita Pendek), Berlabuh di Bumi Sikerei (Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, 2019—Feature Perjalanan), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Rua Aksara, 2020—Kumpulan Cerita Pendek), Cinta Tak Pernah Fanatik (Rua Aksara, 2021—Kumpulan Puisi). Saat ini mukim di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *